Puasa Ibadah Universal

Oleh: HM Muchoyyar HS
http://www.suaramerdeka.com/harian/0610/11/nas05.htm

IBADAH puasa hampir dijumpai di seluruh agama, baik dalam agama samawi
maupun agama ardhi (agama budaya). Oleh karena itu, puasa sudah
dilaksanakan oleh umat-umat agama terdahulu, beberapa ratus abad
silam. Seluruh agama di dunia telah mengakui bahwa usia puasa telah
begitu lanjut, hampir seusia dengan umat manusia di dunia.

Agama Zaratustra tercantum suruhan kepada para pendetanya untuk
melaksanakan puasa paling tidak lima tahun sekali. Puasa, pada agama
Nasrani, kini dianggap tidak begitu penting untuk melaksanakannya,
tetapi ternyata Yesus Kristus mengerjakan puasa empat puluh hari dan
juga puasa pada hari penebusan. Di samping itu, Yesus Kristus
memerintahkan anak muridnya (hawariyyun) untuk berpuasa (Injil Matius
6:16). Adapun pelaksanaan puasa pada agama Yahudi, jelas sekali
dinyatakan dalam kitab Taurat. Puasa tersebut dikenal puasa hari
Asyura (hari kesepuluh) dari bulan ketujuh. Memang ada agama seperti
Konghucu yang tidak mengenal puasa (Encycpaedia Britanica).

Dengan demikian, aturan puasa itu bersifat universal dan telah
dilaksanakan oleh berbagai umat sejak dahulu kala. Perbedaan
puasa-puasa tersebut terletak pada bentuk, motif, dan tekanan serta
tujuan pelaksanaannya. 

Puasa yang dilaksanakan oleh umat agama-agama terdahulu biasanya
dilakukan sebagai tanda berkabung, kemalangan, dan duka cita; maka
mereka berpuasa di saat tertimpa musibah. Hal itu tampak, misalnya,
pada agama Yahudi, saat Nabi Daud AS menjalankan puasa tujuh hari di
kala putranya yang masih kecil sakit (lihat Samuel 11,12:16).

Puasa Nabi Musa selama empat puluh hari bukan pertanda duka cita,
melainkan sebagai persiapan untuk menerima wahyu di Bukit Turisina.
Agama Nasrani tidak membawa warna baru dalam puasa, tetapi hanya
meneruskan apa yang ada pada agama Yahudi.

Konsep Baru
Islam membawa konsep baru tentang puasa. Puasa bukan pertanda duka
cita, kemalangan, atau berkabung, dan bukan pula untuk peredam
kemurkaan Tuhan dan mengharapkan kasih sayang-Nya. Puasa dalam Islam
mempunyai makna yang sangat mulia (khusus Ramadan) dan dilaksanakan
selama sebulan penuh pada setiap tahun. Puasa dilaksanakan sebagai
suatu pengabdian hamba dan rasa terima kasih atas seluruh anugerah
yang telah dilimpahkan oleh Allah kepada hamba-Nya. Puasa dilaksanakan
untuk mendapatkan derajat muttaqin.

Muttaqin adalah suatu konsep yang akan memunculkan tipe-tipe manusia
dunia yang berkualitas (insan kamil), derajat rohani yang tinggi,
akhlak yang terpuji, dan mempunyai sikap amar ma'ruf dan nahi munkar,
sedangkan di akhirat manusia muttaqin akan mendapatkan kasih sayang
Allah SWT (rahmah), ampunan dari segala dosa (maghfirah) dan
dibebaskan dari segala sesuatu yang memasukkan ke neraka ('itqun min
al-nar). Puasa dalam Islam merupakan arena dan metoda untuk melatih
disiplin tingkat tinggi bagi pembinaan jasmani, akhlak, dan ruhani
manusia.

Pelatihan tingkat tinggi itu memang sengaja diwajibkan kepada seluruh
hamba muslim, karena kasih sayang Allah dalam rangka keberhasilan
tugas kekhalifahan di dunia. Puasa melatih disiplin rohani dan jiwa
serta mengontrol hawa nafsu agar tidak sewenang-wenang melampiaskan
apa yang diingininya.

Tidak ada godaan yang lebih dahsyat daripada godaan makan/minum di
kala lapar dan dahaga. Sama halnya godaan untuk mengadakan hubungan
seksual di kala nafsu bergejolak. Puasa Ramadan juga mengandung nilai
dan hikmah tentang penanaman nilai akhlak (moral) yang mulia, seperti
sabar dalam menghadapi penderitaan dan cobaan, amanah (tanggung jawab)
terhadap kepemimpinan yang dipikulnya, sikap jujur dan disiplin dalam
melaksanakan tugas dan lain-lain. Maka dengan berpuasa akan
terpelihara kehidupan rohani dan jasmani seorang muslim, agar menjadi
manusia utama dan menjadi teladan bagi umat-umat yang lain.

Betapa agung nilai/hikmat puasa yang tertanam dalam jiwa umat islam.
Dalam keseharian, kita masih menemui orang-orang muslim berbuat
kejahatan, kezaliman, dan perilaku yang tidak terpuji. Latihan puasa
mungkin tampaknya tidak sanggup melindungi diri untuk tidak berbuat
jahat. Mereka kerjakan puasa, tapi tidak meningkat kualitas takwanya
dan tidak mendapatkan nilai dan makna rohani dan moral yang
diresapinya. Mungkin itu antara lain karena seorang muslim
melaksanakan kewajiban puasa tanpa iman yang mendalam, keikhlasan yang
jernih, dan pengabdian yang maksimal kepada Allah SWT. dan pelaksanaan
puasanya pun hanya mengharapkan kesehatan jasmani semata.(41a) 

Kirim email ke