Arah Perjuangan Sebenarnya 

dan Taktik Peleburan PRD-PAPERNAS Ke Partai Bintang Reformasi (PBR)

(Siapakah Sebenarnya kekuatan Anti-Neoliberalisme)[1]

 Oleh: Budi Wardoyo[2]

 

Seperti yang sudah di tulis oleh Rudi Hartono, dalam artikelnya Menyikapi 
Partai Yang Hanya Bisa Menjual Mimpi, jurnal online arahkiri2009.blogspot.com, 
ia mengambarkan situasi arena pemilu 2009 sebagai berikut:

1.      Bahwa GOLPUT yang terjadi di ajang-ajang PILKADAL bukan semata-mata 
persoalan teknis, namun persoalan politis, persoalan kesadaran rakyat yang 
bosan dengan janji-janji kosong partai dan elit politik, dan sangat mungkin 
GOLPUT dalam jumlah yang signifikan akan terjadi pada Pemilu 2009 nanti[3];

2.      Janji-janji (atau program-program) yang ditawarkan oleh Parpol atau 
Elit Politik, mengambil posisi politik yang membela rakyat, atau dalam bahasa 
Rudi, begitu luhur. 

3.      Ketidakkonsistenan[4] Partai Politik dan Elit Politik dalam kampanye 
dan praktek politik sehari-hari, menurut Rudi, disebabkan tiga hal, pertama, 
Partai tidak punya Ideologi, sehingga tidak punya pijakan dan arah untuk 
memenuhi kehendak kolektif rakyat. Kedua, belum ada instrumen politik rakyat 
yang mampu mengontrol para elit politik ini, Ketiga, persoalan budaya.[5]

Terlepas dari solusi yang ditawarkan Rudi, saya akan mengajak kita untuk 
menilai dulu situasi yang dijelaskan oleh Rudi, kemudian menganalisa posisi 
PRD-PAPERNAS yang meleburkan diri dalam PBR.

Saya akan mulai dulu dari kesimpulan Rudi: bahwa Partai-Partai di Indonesia 
tidak punya Ideologi. Kesimpulan ini menurut saya jelas salah besar. Justru, 
sebaliknya, Partai-Partai di Indonesia mempunyai Ideologi—dan bukan sembarang 
Ideologi, melainkan Ideologi yang sudah berumur sangat tua, yakni Ideologi 
Kapitalis. Dan seluruh praktek politik semua partai (peserta pemilu) 
dilandaskan pada keyakinan: bahwa ideologi yang berlandaskan pengusaan modal 
oleh segelintir orang, dan pengisapan terhadap mayoritas orang lainnya, 
merupakan satu-satunya ideologi yang bisa sangat baik buat rakyat Indonesia.

Cara pandang seperti itulah yang membuat kenapa semua partai dengan mudah 
melakukan program privatisasi, program pencabutan subsidi atau program 
penanaman modal  yang liberal. Dengan demikian, sesungguhnya, semangat 
kemandirian yang disebut-sebut dalam banyak statement Elit-Elit Politik 
Indonesia saat ini hanyalah retorika belaka; sebenarnya, dalam praktek (bahkan 
di benak mereka) tak pernah ada keberanian membangun, mensejahterakan rakyat, 
dengan kemandirian. 

Ketergantungan tersebut memang ada alasannya (tapi bukan untuk dimaklumi): 
karena secara material, secara manajerial dan, yang terpenting, secara  politik 
mereka tidak memiliki kapasitas untuk mandiri.[6] Padahal, selama masih ada 
swastanisasi oleh segelintir orang terhadap alat-alat produksi sosial, maka 
sudah jelas akan ada pengisapan (tidak perduli pemilik modalnya orang Asing 
atau Indonesia)—dan cilakanya, para pemodal Indonesia tak memiliki kapasitas 
(sekali lagi) material (terutama alat-alt produksi berteknologi tinggi), 
kapasitas manajerial, dan kapasitas politik untuk melepaskan diri (secara 
bertahap pun) dan mengembangkan diri (secara mandiri) dari modal Asing. 
Apalagi, setelah krisis 1997, hampir sebagian besar kapasitas mereka ambruk. 
Dan sekarang hanya sebagain kecil saja yang masih memiliki tersebut, itupun 
dalam arti kapasitas manajerial—Arifin Panigoro, Bakri; Jodi Setiawan, untuk 
menyebut sedikit contoh—bukan kapasitas
 material/alat-alat produksi berteknologi tinggi, dalam istilah ekonom Orde 
Baru: kandungan lokalnya terlalu rendah. Apakah bisa dibayangkan mereka berani 
melepaskan diri dari ketergantungan terhadap (modal) asing? Tidak, bagi 
pengusaha (bahkan politisi) “realistis[7]”; dan, walaupun mereka memiliki 
keberanian, kehendak politik, namun mereka tidak mengandalkan dirinya pada 
kekuatan rakyat yang sadar (ideologis), maka nasibnya sudah pasti, seperti juga 
terjadi pada rejim-rejim “nasionalis” yang pernah ada: ambruk.. Kenapa harus 
menyandarkan diri pada rakyat? Kekuatan rakyat harus dipandang dalam arti: 1) 
sebagai tenaga produktif; 2) pelindung dari gempuran/tekanan kapitalis/modal 
asing (yang sering menggunakan negaranya dan badan-badan internasional) untuk 
meruntuhkan bargain ekonomi-politik dalam negeri—apalagi bila kita masih harus 
berkompromi dengan modal asing (seperti di Venezuela) karena kita masih belum 
sepenuhnya memiliki kapasitas
 memproduksi tenaga produktif (terutama alat-alat produksi berteknologi 
tinggi), juga  belum sepenuhnya memiliki kapasitas manajerial.[8]

Berandai-andai, bila memang mereka mau mengandalkan, bersandar, pada rakyat, 
lalu apa bagian yang akan diberikan pada rakyat? Apakah imbalan (pada rakyat) 
seperti yang diberikan oleh “nasionalisme” fasis Jerman?; atau apakah imbalan 
(pada rakyat) layaknya sosial-demokrasi ala Eropa?; atau imbalan (pada rakyat) 
seperti yang dipersembahan oleh negeri (yang sedang menuju sosialisme) 
venezuela? Yang jelas, bila kita membangun kemandirian bersama (dari dan oleh) 
rakyat, maka secara obyektif bayarannya adalah: sosialisasi kekayaan (program 
darurat) dan alat-alat produksi.[9] Jadi, dengan demikian, kehendak kemandirian 
bukanlah sekadar retorika (normatif) layaknya bual-bualan partai-partai dan 
politisi-politisi (sipil dan militer) busuk itu; atau tipu-tipuan (tukang obat 
jalanan) menjelang Pemilu, bak Visi dan Misi PBR yang diajukan ke KPU, atau 
perubahan (bersolek) AD-ART PBR; kita harus melihatnya dari LANDASAN KAPASITAS 
mereka; jadi, dengan demikian,
 faktual, kehendak kemandirian mereka (sering digembar-gemborkan sebagai 
“nasionalisme”) adalah FIKTIF; jadi, dengan demikian, persatuan dengan mereka 
(dengan platform anti-neoliberalisme) adalah FIKTIF.[10] 

Sebenarnya, sangat jelas buat kita untuk memberikan penilaian terhadap ideologi 
apa yang dikandung oleh Partai-Partai Politik ini, bahkan terhadap PDIP yang 
saat ini mengambil posisi oposisi di nasional; Juga penilaian kita terhadap PKS 
yang membawa semangat Islam. Dalam konteks PDIP, kita sudah tahu bahwa selama 
PDIP berkuasa (sekarangpun PDIP masih menjadi salah satu partai yang paling 
banyak mendudukan anggotanya di DPR), program privatisasi sangat banyak 
disetujui, demikian juga dengan program pencabutan subsidi, atau secara umum, 
seluruh program neoliberalisme berjalan mulus pada zaman itu. Bahkan dalam 
posisinya sekarang pun, PDIP tidak pernah terlihat sungguh-sungguh berani dalam 
melawan neoliberalisme (paling jauh dari “keberanian” PDIP adalah melakukan  
walk out dalam sidang-sidang tertentu di DPR; mogok makan pun hanya dilakukan 
oleh seorang anggota parlemen dari PDIP.)

Sedangkan PKS: walaupun posisinya bisa dikategorikan sebagai sebagai salah satu 
partai besar, namun tidak mencerminkan sebagai kekuatan politik yang 
anti-neoliberalisme/kapitalisme. Kekuatan PKS di eksekutif dan parlemen, 
terutama kekuatan politik PKS di luar parlemen (jumlah massa dan simpatisan PKS 
yang sangat besar), tidak pernah dikerahkan untuk melawan program-program 
neoliberalisme/kapitalisme dengan sekuat-kuatnya. Sikap “hati-hati” yang 
ditunjukan oleh PKS sejatinya adalah sikap ketertundukan pada neoliberalisme, 
sebagai wujud pengakuan terhadap Ideologi kapiltalisme. Demikian juga dengan 
partai-partai baru yang karakter politiknya pun tidak berbeda, sekalipun dengan 
embel-embel kemandirian ( palsu).

Maka, wajar saja, bila rakyat menjadi tidak percaya terhadap partai-partai 
borjuis dan elit-elit politik borjuis—apalagi partai-partai dan elit-elit 
tersebut juga korup, sekorup-korupnya—dan memilih untuk GOLPUT dalam berbagai 
ajang pemilihan kepala daerah, pun kemungkinannya di Pemilu-2009 nanti. Sebelum 
rakyat memilih untuk GOLPUT, eksepresi ketidakpercayaan rakyat terhadap Partai, 
Elit Politik maupun Mekanisme Politik/Hukum, sudah meluas dan sangat jelas, 
dalam bentuk aksi-aksi mobilisasi menuntut massa. Tiap hari rakyat melakukan 
aksi-aksi massa, dari yang jumlah kecil hingga yang jumlahnya besar. Dari yang 
tuntutannya lokal, hingga yang tuntutannya nasional. Dari yang metodenya 
moderat hingga yang metodenya radikal. Setiap hari, ekspresi kemarahan rakyat 
itu terjadi, dan bahkan bisa dikatakan menyamai eksepresi kemarahan rakyat di 
tahun 1996-1997, tahun-tahun yang menentukan sebelum Suharto dijatuhkan pada 
tahun 1998 (bahkan mungkin kwantitasnya
 saat ini lebih banyak)

Dan situasi tersebut bukannya tidak diketahui oleh Partai-partai Politik, 
Elit-elit Politik dan militer. Mereka tahu dan sadar, bahwa rakyat sudah tidak 
lagi percaya pada mereka, sehingga mau tidak mau mereka harus 
membuat/mengembalikan citra yang “baik” mereka di hadapan rakyat—sejauh ini PKS 
lah yang paling berhasil membangun citra tersebut; atau dengan memilih nama 
partai yang baik seperti Hati Nurani Rakyat; atau dengan menjual empati (norak) 
di media massa—melalui iklan-iklan politik; atau dengan menjaring para aktifis 
gerakan sebagai pengurus partai dan/atau sebagai caleg; atau dengan cara-cara 
lainnya. Apakah upaya mereka untuk mengembalikan citra baik mereka akan 
berhasil? Jelas tidak. Bahkan untuk meningkatkan citra “baik”nya saja sudah 
sangat sulit. Bukankah upaya mengangkat citra mereka dengan memasukan 
calon-calon kepala daerah dari kalangan muda, dan bahkan dari kalangan artis, 
di berbagai daerah, tetap saja tak sanggup
 menurunkan jumlah GOLPUT?[11]

Jelas situasi tersebut sangat mengawatirkan mereka[12], namun kekawatiran 
tersebut belum sebesar kekawatiran jika ada alat politik yang sanggup bergerak 
bersama rakyat. Itulah yang menjadi alasan utama mengapa PAPERNAS (juga PRD di 
masa sebelumnya) dihambat keikutsertaannya dalam Pemilu, dan diserang secara 
brutal—sayangnya PRD-PAPERNAS (sekarang) bukannya mengambil jalan untuk tetap 
teguh berjuang bersama rakyat (dengan segala resikonya), melainkan justru 
mengambil jalan lain, yakni bersekutu dengan para kapitalis dan agen-agennya 
itu (antara lain PBR).

PBR, yang sekarang menjadi alat politik PRD-PAPERNAS, sejarahnya adalah pecahan 
dari Partai Persatuan Pemabangunan (partai yang menunjukan loyalitas tinggi 
terhadap rezim Orde Baru-Suharto) sehingga wajar, ketika PBR terbentuk, tidak 
ada prestasi PBR dalam memperjuangkan demokrasi, kesejahteraan rakyat, dan 
KEMANDIRIAN BANGSA. Bahkan, dalam pemilu 2004, PBR adalah salah satu Partai 
yang mendukung pasangan SBY-JK, sehingga SBY-JK bisa menjadi Presiden-Wakil 
Presiden.

PRD-PAPERNAS Tidak Membangun Persatuan Yang Berlandaskan Program 
Anti-Neoliberalisme

PRD-PAPERNAS menyimpulkan bahwa PBR adalah partai yang tepat untuk dijadikan 
kekuatan utama (bahkan saking yakinnya, PRD-PAPERNAS secara “taktis” rela 
meleburkan dirinya secara Ideologi-politik-organisasi ke PBR) karena, katanya, 
PBR memiki platform kemandirian bangsa—platform yang abstrak, seperti halnya 
platform kesejahteraan rakyat, keadilan sosial atau yang lainnya. (Dalam hal 
ini, saya sepenuhnya sepakat dengan Data, bahwa platform itu harus kongkrit 
bukan abstrak.) Tentu saja, platform PBR tersebut bisa jadi “benar”[13]. Namun, 
dalam situasi menjelang pemilu 2009 nanti, maka bukan hal yang aneh bila 
partai-partai peserta pemilu kemudian mengambil posisi demikian. Rudi, dalam 
artikelnya, juga sudah menyimpulkan hal tersebut, sehingga platform PBR 
(termasuk partai-partai lain) tidak bisa dijadikan ukuran dalam menyimpulan 
apakah sebuah partai benar-benar akan membela kepentingan rakyat. Yang harus 
dinilai justru praktek politik partai
 selama ini, apakah sungguh-sungguh memperjuangan rakyat atau tidak. Seharusnya 
PRD-PAPERNAS jauh lebih jeli ketimbang massa rakyat, yang sudah menyimpulkan 
untuk tidak lagi percaya.

PRD-PAPERNAS mungkin sadar bahwa PBR bukan partai yang membela rakyat, namun 
dengan hadirnya PRD-PAPERNAS secara organisasi[14] maka ada kemungkinan PBR 
bisa berubah. Seberapa besar kemungkinan PBR itu bisa berubah? Membayangkan PBR 
akan berubah secara signifikan, jelas mimpi kosong. Sejarah kelahiran PBR, 
komposisi pembentuknya dan praktek politiknya selama ini sangat jelas 
menunjukan siapakah PBR itu: dalam pengertian ideologis, PBR adalah partai 
dengan ideologi borjuis, sehingga sulit membayangkan PBR, yang berideologi 
borjuis itu, akan berubah menjadi partai dengan ideologi (kerakyatan) atau 
mati-matian meperjuangkan platform anti-neoliberalisme, seperti yang diharapkan 
oleh PRD/PAPERNAS, seperti yang diharapkan Data (sehingga beraninya dia secara 
idealis mengajak bersatu, mengajak bersatu dengan PBR, dengan platform 
anti-neoliberalisme).

Sungguh, menggelikan membandingkan ceramah Data dengan praktek politik 
PRD-PAPERNAS. Namun, agar lebih jelas, baiknya kita mengambil kutipan dari 
tulisan Data Kesepakatan Tuntutan Minimum Kongkrit Anti-Neoliberal Dalam 
Perjuangan Elektoral; Sebuah Sumbangan Pemikiran Untuk Pembangunan Persatuan 
Pro-Rakyat; ketika memberikan contoh soal program minimum: “….Misalnya, dalam 
tujuan strategis mengembalikan penguasaan kekayaan alam ke tangan rakyat, 
pertama-tama harus ditentukan sasaran dan tujuan taktis yang harus dihadapi. 
Satu contoh sasaran taktis yang merupakan salah satu pertahanan musuh adalah UU 
Migas.” Tentu saja kita tidak akan menolak logika tersebut, bahwa dalam 
persatuan ada hal-hal yang bisa di kompromikan—bedakan kompromi dengan 
kapitulasi—sehingga bisa saja, dalam membangun persatuan gerakan, kita hanya 
mengangkat tuntutan pencabutan UU Migas sebagai tuntutan persatuan atau 
tuntutan bersama. Dan, sebenarnya, pengertian pembangunan
 persatuan seperti itu sudah lama dikerjakan, yang justru sekarang mulai 
ditinggalkan oleh PRD terutama ketika memulai pembangunan PAPERNAS. Sedangkan 
konsekwensi kata-kata “Dalam Perjuangan Elektoral” dalam tulisan Data, akan 
menimbulkan pertanyaan: 1) apakah makna “dalam perjuangan elektoral” itu 
menggunakan alat PBR?; 2) apakah makna “dalam perjuangan elektoral” itu 
menggunakan Partai Perserikatan Rakyat (PPR)—yang juga mendaftarakan diri dalam 
Pemilu 2009, tapi gagal? 3) Atau persatuan kaum gerakanlah (dengan platform 
minimum kongkrit anti-neoliberal) yang membentuk partainya sendiri untuk ikut 
dalam ajang elektoral? Dan apakah Data tahu bahwa jawaban terhadap 
masing-masing pertanyaan tersebut memiliki konsekwensi ideologisnya sendiri?

Mengutip kembali kata-kata Data, dalam artikel yang sama, yakni soal persatuan 
perlawanan kaum buruh: “…Dalam beberapa tahun terakhir kaum buruh juga 
menunjukkan potensi kesatuan dan militansi tinggi dalam menentang UU 
Ketenagakerjaan 13 yang semakin menancapkan kuku neo-liberalisme dalam bidang 
perburuhan, di mana peran negara dalam mengatur kesejahteraan buruh dan 
keberlangsungan industri semakin dipersempit.“ Apaka Data tidak tahu—atau 
mungkin pura-pura tidak tahu—bahwa, pada saat itu, PRD yang tengah membangun 
PAPERNAS, tidak mau melibatkan diri dalam penolakan Revisi UU 13 itu, dengan 
alasan (yang bertolak-belakang dengan apa yang di sampaikan Data): yakni, 
gerakan penolakan Revisi UU 13 tidak ada kaitannya dengan Pemilu, sehingga 
tidak perlu di-intervensi. Tidak ada (bahkan) satu selebaran pun atas nama 
PRD-PAPERNAS yang bertujuan mengintervensi perlawanan kaum buruh tersebut. 
Malah Aliansi Buruh Menggugat (ABM), yang merupakan satu
 aliansi (yang lebih permanen), yang KEMUDIAN memiliki platform 
anti-neoliberalisme—platform ABM sangat mirip dengan platform PAPERNAS—sebagai 
buah perlawanan menolak Revisi UU 13. Dan PRD-PAPERNAS tidak pernah menganggap 
ABM sebagai calon sekutu potensial untuk melawan neoliberalisme di Indonesia. 

Alasannya sangat sederhana (tapi bodoh): karena ABM belum mengambil posisi 
untuk mengikuti pemilu 2009. Alasan, posisi, seperti itu dipakai terus sampai 
sekarang—tentu Data sudah tahu: bahwa FNPBI, salah satu organisasi massa yang 
tergabung dalam PAPERNAS, menarik diri dari ABM pada saat buruh sedang 
mati-matian melakukan perlawanan terhadap Revisi UU 13 (termasuk menarik diri 
pada momentum May Day kemarin). Entah mendapatkan wahyu dari mana, FNPBI, 
bersama PAPERNAS dan ormas PAPERNAS lainnya, merayakan May Day pada tanggal 29 
april, 2009, dan sama sekali tidak terlibat dalam aksi persatuan tanggal 1 Mei, 
2009. Lalu, sekarang, Data mencoba menceramahi kita tentang platform minimum, 
tentang persatuan. Sudahlah, jangan membuat kami lebih tergelak-gelak, dan anda 
jangan terus mempermalukan diri sendiri.

Cara pandang yang sama juga digunakan oleh PRD-PAPERNAS pada 
organisasi-organisasi lainnya. Sebagai contoh, PRP, SMI atau organ-organ 
gerakan lainnya—yang jumlahnya semakin meningkat—yang juga mengusung platform 
anti Neoliberalisme, tidak dengan sabar dijadikan sebagai calon sekutu yang 
harus diajak dalam pembangunan persatuan gerakan rakyat. Itu karena, katanya, 
PRP, SMI atau organ-organ gerakan yang lainnya belum/tidak mengambil posisi 
untuk terlibat dalam pemilu 2009. Padahal, agar Data tahu (dan memang harus 
lebih banyak tahu, agar JANGAN CONGKAK): PRP dan organ-organ gerakan lainnya 
(termasuk kami) pernah melakukan diskusi/perundingan dengan PPR untuk mencari 
kemungkinan maju (terlibat) Pemilu 2009. 

Artinya, landasan utama PRD-PAPERNAS dalam membangun persatuan bukanlah 
platform anti-neoliberalisme atau platform kerakyatan lainnya[15], melainkan 
berdasarkan pada posisi organisasi/individu terhadap Pemilu 2009. Jika 
organisasi/individu tersebut bersepakat untuk mengikuti Pemilu 2009, maka 
merekalah calon sekutu PRD/PAPERNAS.  Posisi itulah yang menjelaskan kenapa 
PRD-PAPERNAS mau bergabung ke dalam PBR, sekalipun semua ORANG YANG WARAS 
MENGERTI bahwa PBR adalah partai borjuis pendukung neoliberalisme.[16]

Terpaksa, kita kembali mengutip kata-kata Data dari artikel yang sama, dengan 
lebih panjang:  “Sebagaimana disinggung di atas, neoliberalisme merupakan 
kapitalisme dalam krisis, yang mengutamakan kepentingan kapital monopoli 
transnasional. Dalam upayanya merebut pasar domestik dan menjual-belikan saham 
dan komoditas dalam negeri, terdapat beberapa pengusaha nasional yang 
dirugikan. Ini paralel dengan suatu konflik yang inheren dalam kapitalisme; 
yakni antara kapitalis besar dengan borjuasi kecil. Dalam konteks Indonesia, 
secara umum-bukan secara keseluruhan-keduanya terpisahkan oleh garis 
kebangsaan; yang kapitalis besar berupa kapital transnasional yang sebagian 
besar milik asing, cukup besar dan berkuasa untuk memindahkan operasinya ke 
berbagai negeri; yang kecil, berupa kapital lokal yang bergantung pada pasar 
domestik atau kapasitas produksi domestik.
…..Padahal pengusaha seperti ini sebenarnya dapat menjadi kawan potensial kaum 
pergerakan dalam tahap perjuangan anti-neoliberalisme.“ (cetak tebal oleh 
saya.)[17]

Kita kutip juga kata-kata I Gede Sandra (Kader PRD saat menjabat Pemimpin 
Redaksi Berdikari, Terbitan resmi PAPERNAS): “Pasang politik merespon 
pencabutan subsidi BBM telah mendorong sebagian besar spektrum gerakan 
demokratik beroposisi keras terhadap Negara.  Cukup keras karena (bagusnya) 
sebagian elit oposan Negara yang pro Kemandirian Bangsa ikut menggalang barisan 
bersama. Sebut saja: Rizal Ramli, Amin Rais, Drajat Wibowo, (serta di kalangan 
mantan perwira militer) Hendropriyono, Wiranto, Prabowo dll. (cetak tebal oleh 
saya.) Hanya saja, karena elit-elit tersebut masih ragu (terutama terhadap 
gerakan massa), polarisasi politik menuju pada sebuah persatuan nasional 
belumlah jelas.” Yang kemudian dilanjutkan dengan “Elemen lain di luar gerakan 
demokratik, seperti: militer (termasuk itu purnawirawan), pengusaha nasional, 
akademisi, polisi, elit politik, budayawan, dsb yang pro terhadap kemandirian 
bangsa adalah sekutu utama yang wajib dirangkul.
 (cetak tebal oleh saya.) [18] 

Jika apa yang disampaikan oleh Data maupun Gede adalah kebenaran yang obyektif, 
maka kita tidak akan bisa menolaknya, namun jika itu hanyalah bunga-bunga 
pembenaran taktik peleburan PRD-PAPERNAS ke PBR, maka sudah pasti harus 
ditelanjangi, agar keliahatan segala tipu dayanya.

Data mengambil contoh bahwa kenaikan harga BBM—yang merupakan salah satu agenda 
neoliberalisme di Indonesia—juga merugikan pengusaha nasional, sehingga 
pengusaha nasional punya potensi untuk melakukan perlawanan terhadap dominasi 
modal internasional. Saya tidak habis pikir, kenapa DATA ini selalu saja salah 
membaca DATA, apa DATA ini tidak pernah membaca koran, menonton berita-berita 
di TV atau di radio (dalam hal ini, mungkin kita patut memaklumi karena Data 
ini posisinya memang tidak di Indonesia, melainkan di Kanada). 

Sebagai bentuk pemakluman atas kesalahan DATA, baiklah kita ambil beberapa 
berita di koran, sebelum kenaikan BBM.

Suara Karya, 29/04/08: “Sejalan dengan pendapat Bambang Soesatyo, Ketua 
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sofyan Wanandi mengatakan bahwa sebagai 
solusi strategis mengurangi beban tambahan APBNP 2008 adalah dengan menaikkan 
harga BBM bersubsidi.” 

Koran Sindo, 02/05/08: “APINDO, menurutnya (Djimanto, Ketua APINDO), mendukung 
sepenuhnya langkah pemerintah untuk segera menaikkan harga BBM bersubsidi. 
Kenaikan harga BBM diperlukan untuk mengamankan ketahanan APBN-P 2008 dari 
ancaman terus berlanjutnya kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional. 
Tapi kenaikannya harus bertahap, 6% paling tidak setiap bulan.” 

Koran Sindo, 01/05/08: “Menurut Hidayat, Kadin berharap pemerintah menaikkan 
harga BBM maksimal 30% dan dilakukan sekaligus. Kenaikan harga BBM, kata 
Hidayat, telah dihitung secara matang dan sudah dibahas secara informal di 
antara para menteri terkait.” 

Antara, 07/05/08: “Kadin, menurutnya (Hidayat), sangat mendukung rencana 
kenaikan harga BBM bersubsidi ini, karena kesinambungan APBN bisa terus 
dipertahankan dan para investor tidak lagi mengkhawatirkan dananya yang sudah 
ditanam di Indonesia.” 

Kompas, 20/04/08: “Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kamar Dagang dan Indonesia 
(Kadin) Djimanto mendukung opsi pemerintah berencana menaikkan harga bahan 
bakar minyak (BBM) dengan catatan pemerintah diminta memerangi pungutan liar 
yang banyak membebani pengusaha.” 

Rapat Komite ekonomi Nasional Bidang Pengembangan Industri dan Perdagangan, 
15/05/08; Pada point pertama tercantum:  “Para pengusaha yang tergabung dalam 
Kamar  Dagang dan Industri Indonesia (Kadin Indonesia) mendukung kebijakan 
pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak( BBM).” 

Para Pengusaha, yang dikatakan oleh Data dan Gede sebagai calon sekutu 
potensial dalam melawan neoliberalisme, sayang sekali ternyata mendukung 
kenaikan harga BBM, bahkan bukan hanya Individu per individu melainkan secara 
organisasional, sehingga pikiran yang mengharapkan para pengusaha ini bisa 
menjadi sekutu dalam melawan neoliberalisme, harusnya dibuang jauh-jauh ke tong 
sampah yang paling busuk.

Dari sejarahnya, lahirnya para pengusaha “nasional” ini bukan dari hasil 
perjuangan mereka dalam meruntuhkan kekuasaan Feodal maupun Kekuasaan 
Penjajahan Kolonial, melainkan lahir dari hasil kolaborasi mereka dengan Modal 
Internasional, terutama semenjak Orde Baru. Mereka dari lahirnya sudah tidak 
punya kapasitas untuk membangun Industri dalam negeri, terutama dalam memajukan 
tenaga produktif (teknologi, kecakapan dan kesehatan tenaga kerja). 
Satu-satunya yang ada dalam benak mereka adalah bergantung pada modal 
Internasional: membangun berarti Investasi Modal Internasional; membangun 
berarti menambah Hutang Luar Negeri. Ketergantungan yang kuat terhadap Modal 
Internasional membuat mereka tidak akan berani melawan Dominasi Modal 
Internasional, bahkan akan saling berlomba untuk menjadi calo bagi Modal 
Internasional. Mereka mungkin hanya mengeluh ketika dengan cepat kekayaan alam 
kita dijarah Modal Internasional, namun dengan cepat pula mereka akan
 tersenyum ketika ceceran keuntungan Modal Internasional jatuh ke tangan 
mereka—berupa fee atau sebagai rekanan bisnis. Memang mereka belum memiliki 
mental borjuis atu industrialis, tapi masih mental calo (merchant 
capital/society).

Apa lagi yang bisa kita katakan mengenai para purnawirawan Jendral?  Mereka itu 
adalah para Penjahat HAM dan, selama ini (terutama bila sedang memegang 
kekuasaan), mereka adalah para pendukung setia kapitalisme Orde 
Baru-Neoliberalisme. Dan DATA harus tahu bahwa hampir semua perusahaan yang 
dipegang oleh militer itu AMBRUK atau merugi. Seperti juga “borjuis” dalam 
negeri, militer tak memiliki kapasitas untuk mengelola “nasionalisme” (berbeda 
sangat jauh dengan militer fasisme Jerman), atau tak memiliki kapasitas 
mengelola nasionalisasi aset-aset nasional.

Siapakah Kekuatan Utama Yang Harus Disatukan Dalam Melawan Neoliberalisme? 

Seperti telah di singgung di atas, dan sebagaimana juga Data menyetujuinya, 
bahwa buruh dan rakyat miskin (dengan berbagai ekspresi politik perlawanannya) 
telah bangkit menunjukan kekuatannya. Dan dari berbagai ekpresi politik yang 
semakin meluas itu, sebagian di antaranya telah menyadari bahwa persoalan utama 
kemiskinan, kemelaratan Mayoritas Rakyat Indonesia, adalah Neoliberalisme, yang 
dengan sepenuh hati dijalankan oleh seluruh kekuatan Politik Borjuis Indonesia 
(baik sipil maupun militer).

Beberapa contoh nyata dari ekspresi politik rakyat miskin yang bersandarkan 
pada kekuatan rakyat sendiri/mandiri adalah aksi May Day 2008 yang, bahkan, 
menghasilkan terjadinya polarisasi/kristalisasi antara kekuatan buruh yang 
non-kooptasi dengan gerakan buruh mau dikooptasi. ABM, yang pada mulanya 
berusaha menyatukan seluruh kekuatan kaum buruh Indonesia, menjadi semakin 
sadar bahwa, di antara pimpinan-pimpinan serikat buruh yang dicoba di satukan 
itu, banyak di antaranya merupakan bagian dari kekuatan pro-neoliberalisme 
(kooptasi). Hal tersebut dibuktikan dengan tindakan-tindakan beberapa pimpinan 
serikat buruh itu yang, bukan saja menghancurkan persatuan yang telah 
dibangun[19], namun juga mendorong ajang May Day menjadi ajang bagi para Elit 
Politik untuk semakin memperkuat pengaruhnya di kalangan buruh. 

Ribuan buruh dari berbagai kota dikerahkan dengan berbagai cara untuk terlibat 
dalam May Day Fiesta—sebuah ajang perayaan May Day yang di selenggarakan oleh 
SPN, FSPMI dan beberapa Federasi dari SPSI, dan awalnya berencana mengundang 
SBY (sebagai Presiden), Hidayat Nur Wahid (sebagai ketua MPR) dan Agung Laksono 
(sebagai ketua DPR). Acara tersebut dikenal sebagai May Day Fiesta, yang dalam 
kenyataannya bukan saja diarahkan untuk memperkuat pengaruh elit politik 
borjuis, namun juga meninabobokan para buruh dengan hiburan-hiburan yang tidak 
berkaitan dengan persoalan buruh dan perjuangannya.

Sontak, tindakan beberapa pimpinan serikat buruh tersebut mendapatkan reaksi 
yang keras dari ABM dan elemen-elemen gerakan lainnya (seperti Front Perjuangan 
Rakyat). ABM mengecam tindakan beberapa pimpinan serikat buruh itu—dan kecaman 
ABM bukan sekadar disampaikan secara langsung kepada beberapa pimpinan serikat 
buruh itu, melainkan juga dengan mencetak dan mendstribusikan puluhan ribu 
selebaran di Jabotabek dan kota-kota industri lainnya di Indonesia yang isinya: 
posisi kecaman ABM.

Dan, seperti yang telah diduga sebelumnya, beberapa basis dari serikat buruh 
yang terlibat May Fiesta kemudian membatalkan atau tidak bersedia melibatkan 
massanya dalam May Day Fiesta—mereka menjadi sadar: bahwa pimpinan-pimpinan 
mereka sedang berusaha memperalat mereka.

Saat May Day, semangat anti-neoliberalisme dan semangat anti elit 
pro-neoliberalisme begitu terasa di kalangan puluhan ribu massa yang bergerak 
menuju Istana Negara. Slogan Penggulingan Elit Penguasa berkali-kali diteriakan 
oleh massa aksi, demikian juga dengan slogan perlawanan terhadap kaum modal dan 
keharusan rakyat pekerja (rakyat miskin) untuk merebut kekuasaan.

Semangat itulah yang tetap bertahan (bahkan meningkat kadar programatiknya) 
pada momentum perlawanan kenaikan harga BBM. ABM bersama dengan banyak unsur 
pergerakan lainnya membangun satu wadah persatuan, yaitu Front Pembebasan 
Nasional, yang bukan saja terbangun di Jabodetabek, namun juga meluas hingga ke 
banyak kota di seluruh Indonesia—tercatat: terbentuk FPN di Labuan Batu, Medan, 
Lampung, Jabodetabek, Bandung, Jawa Timur,  Semarang, Solo, Bima, Samarinda, 
Bontang, Gorontalo, Manado, Kendari, Bau-Bau dan Luwuk. Di beberapa kota 
lainnya, yang yang masih kesulitan membangun FPN, tetap dibentuk wadah 
persatuan dengan karakter programatik yang sama seperti misalnya Komite Rakyat 
Bersatu (KRB) di Yogyakarta.

Tuntutan menolak (penggagalan) kenaikan harga BBM, diiringi dengan tuntutan 
Nasionalisasi Industri Migas di Bawah Kontrol Rakyat, Pengusiran Elit dan 
Partai Politik Antek Neoliberalisme, dan Keharusan Rakyat Pekerja (Rakyat 
Miskin) untuk berkuasa, menjadi tuntutan yang diusung oleh 
pengerahan-pengerahan massa FPN.

Pengerahan-pengerahan massa tersebut bukan hanya dilakukan oleh buruh dari 
industri manufaktur saja, melainkan juga dari buruh-buruh BUMN, antara lain 
dari Serikat Pekerja PLN, Serikat Pekerja Angkasa Pura I, Serikat Pekerja 
Kereta Api (Jabotabek) dan serikat pekerja BUMN lainnya, yang juga mempunyai 
pandangan yang sama terhadap persoalan mayoritas rakyat Indonesia.

 

Selain FPN, di banyak kota, juga terbangun persatuan-persatuan gerakan, baik 
yang berjejaring secara nasional maupun yang belum berjejaring secara nasional, 
dengan program-program tuntutan yang mirip dengan FPN. Hal itu menunjukan bahwa 
kesadaran dan kesanggupan rakyat miskin Indonesia untuk bersatu semakin 
menguat, bahkan mau bersatu dengan program-program anti-neoliberalisme yang 
progressif.

Mereka itulah yang seharusnya disatukan; kekuatan gerakan rakyat (baik yang 
sudah bergerak dengan program yang progressif maupun yang masih spontan atau 
lokal). Karena, sekalipun mempunyai kapasitas yang (potensial) kuat, namun jika 
tidak ada yang berusaha menyatukan, maka rakyat yang sudah berkendak untuk 
bersatu dan berjuang tersebut akan kembali tercerai berai dan kehilangan 
kekuatannya. Oleh karena itu, pekerjaan membangun persatuan ini tidak bisa di 
tunda-tunda; dan pekerjaan tersebut akan mengalami kesulitan jika hanya 
dikerjakan oleh satu atau dua organisasi saja, seharusnya dikerjakan 
bersama-sama.

Penutup

Akhirnya, jika PRD-PAPERNAS masih berkendak membangun (persatuan) perlawanan 
rakyat terhadap neoliberalisme, maka sekutu perjuangan yang (JELAS-JELAS) harus 
segera ditentukan adalah rakyat miskin (baik yang sudah terorganisir maupun 
yang belum), yang saat ini sedang sedang berjuang, di kampung-kampung, di 
pabrik-pabrik, di jalan-jalan—dan sejarah penggulingan Soeharto sudah 
memberikan kesimpulan bahwa kekuatan rakyat miskin yang bersatu dapat mengatasi 
musuh sekuat apapun. 

Bekerja sama dengan musuh rakyat miskin, seperti yang dilakukan oleh 
PRD-PAPERNAS, jelas akan mempersulit kemenangan perjuangan rakyat miskin—itulah 
sebabnya posisi PRD-PAPERNAS harus terus-menerus dikritik, ditelanjangi agar 
ilusi (preseden) rakyat terhadap partai-partai borjuis, elit-elit borjuis dan 
mekanisme borjuis, yang sudah semakin membusuk, tidak lagi menguat, bahkan 
seharusnya dimajukan sampai tahap yang lebih tinggi, yakni penggulingan 
kekuasaan borjuis dan pembentukan pemerintahan persatuan rakyat miskin.

 

 



--------------------------------------------------------------------------------

[1] Tanggapan terhadap tulisan Rudi Hartono, Data Brainanta dan I Gede Sandra; 
Kader-Kader PRD dan Pimpinan PAPERNAS.

[2] Koordinator Departemen Kampanye dan Penyatuan Gerakan Dewan Harian Nasional 
Persatuan Politik Rakyat Miskin; Pjs Wakil Ketua Gabungan Solidaritas 
Perjuangan Buruh; Mantan Koordinator Departemen Perjuangan Rakyat Dewan 
Pimpinan Pusat PAPERNAS; Mantan Staff Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat 
Demokratik.

[3] Hal di berikut ini jug harus dijelaskan pada rakyat oleh saudara Rudi. 
Seperti juga pada Pemilu yang lalu, partai-partai busuk itu (dengan tak tahu 
malu) tetap saja bisa mendapatkan kursi yang banyak walalu angka GOLPUT-nya 
tinggi, atau tanpa jumlah suara yang mencukupi: karena UU-Pemilu tidak 
memberikan batasan berapa besar presentasi suara pemilih/pencoblos yang menjadi 
ukuran syah-tidaknya pemilu; berapapun presentasi suara GOLPUT, berapapun 
presentasi suara pencoblos, pemilu tetap absyah;  jumlah kursi di masing-masing 
Daerah Pemilhan (DAPIL) ditentukan lebih dahulu sesusai dengan jumlah penduduk; 
Berapun suara yang masuk/mencoblos (atau berapapun GOLPUT-nya) jumlah kursi 
tidak berubah; sehingga bila GOLPUT-nya tinggi maka nilai kursi tidak akan lagi 
sesuai dengan BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) alias tidak akan sesuai dengan 
jumlah pemilih yang sudah terdaftar; bila penghitungan suara seluruh calon 
legislatif (caleg) yang sudah memenuhi syarat
 BPP (sama atau lebih tinggi dari BPP) sudah diselesaikan, dan masih ada sisa 
kursi, maka sisa kursi tersebut dapat diberikan kepada caleg yang mendapatkan 
suara terbanyak walaupun tidak memenuhi BPP, agar dia bisa masuk ke parlemen 
(memenuhi jumlah kursi), seolah-olah dipilih rakyat, demikian seterusnya sampai 
kursi habis terbagi. Dengan demikian, seperti juga pemilu yang lalu, Pemilu 
2009 nanti adalah Pemilu yang menipu rakyat, baik rakyat yang memilih maupun 
rakyat yang GOLPUT—yang memilih, suaranya bisa dimanipulasi menjadi milik orang 
lain (bahkan dari partai lain) yang tidak dia pilih; yang GOLPUT dimanipulasi 
seolah-olah suaranya sudah diwakili oleh orang-orang yang tidak dia pilih. 
Lalu, adakah orang-orang partai-partai busuk itu merasa malu, duduk di parlemen 
sebagai manipulator. Adakah PRD-PAPERNAS-PBR (Partai Bintang Reformasi) 
memiliki tanggung jawab moral terhadap sistim Pemilu bandit seperti itu?

[4] Bukan hanya tidak konsisten, melainkan bertolak belakang.

[5] Apakah analisa saudara Rudi tersebut berlaku untuk PBR? Bila jawabannya 
tidak, itu adalah suatu kebohongan besar; jika jawabannya ya, maka saudara Rudi 
harus mengatakan bahwa: 1) sekarang PBR sudah insyaf (taubat nasuhi)—akan 
memperjuangkan rakyat dan akan memperjuangakan (mati-matian) kemandirian bangsa 
(seperti tertera dalam AD-ART baru PBR dan tertera dalam Visi/Misi yang 
dihaturkan ke KPU; 2) PRD-PAPERNAS masuk ke PBR, akan menggunakan alat PBR 
dalam Pemilu 2009, guna membantu, mengawasi agar taubat nasuhi PBR tidak 
sekadar janji seperti yang sudah-sudah. Merubah dari dalam, istilahnya; 3) 
membantu citra PBR menjadi baik; 4) agar PRD-PAPERNAS bisa bicara secara luas 
kepada rakyat (bahwa PBR, yang ada PRD-PAPERNAS di dalamnya) akan benar-benar 
memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan kemandirian bangsa; 4) karena itu, 
rakyat dan kaum pergerakan harus mendukung kami secara ekstra-parlementer, 
mencoblos kami dalam pemilu 2009, karena dengan
 dukungan kalian maka unsur-unsur yang menghambat (perjuangan), baik di 
parlemen maupun di luar parlemen secara keseluruhan (terutama dari luar/asing; 
karena musuh dari dalam/militer bukan musuh yang pokok), dapat dengan mudah 
diatasi. Saudara Rudi harus mengatakan itu, kalau saudara jujur. Bila 
PRD-PAPERNAS tidak bisa kita sebut JAHAT, maka ada kata yang lain yang pantas: 
NAIF (sebenarnya kata itu adalah penghalusan dari kata BODOH).

[6] Seperti kita mahfum, kelemahan landasan material, manajerial, yang 
membebani pembangunan kerakyatan di venezuela, diatasi dengan kekuatan 
politik—baik di dalam negeri (bersandar pada rakyat yang sadar secara 
ideologis); maupun dalam persatuan internasional dengan platform progresif.

[7] Batas antara realisitis dengan pragmatis nampaknya setipis kulit bawang..

[8] Seperti saya jelaskan sebelumnya, faktor lain yang akan membantu, seperti 
juga yang dilakukan oleh pemerintah Venezuela, adalah bersekutu secara 
internasional dengan platform progresif—bukan saja demi kepentingan ketahanan 
dukungan politik internasional, propaganda internasional, namun juga untuk 
mempertinggi tenaga produktif dalam pertukaran internasional yang lebih adil.

[9] Pengertian obyektif maknanya adalah: disadari atau tidak disadari oleh 
rakyat, kita harus menjelaskan pentingnya sosialisasi kekayaan (program 
darurat) dan alat-alat produksi sebagai kebutuhan obyektif rakyat; kita tidak 
boleh menipunya.

[10] Atau kehendak “luhur” Rudi, Data, dan Gede saja; boleh saja anda-anda 
mengatakan bahwa persatuan (atau persekongkolan) tersebut hanyalah taktis 
sifatnya, demi bersatu melawan neoliberalisme (yang menjadi “musuh” 
bersama)—bahkan rakyat dikerahkan untuk persekongkolan taktis tersebut—karena, 
dalam tahap selanjutnya (masih adakah tahap selanjutnya), kita kemudian “bisa” 
saja secara sejati/strategis berperang dengan mereka (masih bisakah mengerahkan 
rakyat?), karena kita harus “realistis” menahapi jenjang revolusi itu. Boleh, 
boleh, boleh saja anda-anda mengatakan semua itu, karena logika formal memang 
nikmat—karena logika formal tak perlu bersusah payah membentur-benturkan posisi 
dengan realita (dalam hal ini realita pengusaha, elit politisi partai dan 
non-partai, dan militer “nasionalis” Indonesia. Sekali lagi bukan realita 
kehendak, retorika, normatif semata).

[11] Kasihan rakyat yang masih memilih partai-partai dan elit-elit politik 
busuk tersebut. Mereka tak bisa mendapatkan kesadaran alaternatif karena wadah, 
saluran dan agitator-propagandisnya belum bisa digapai rakyat—diperparah lagi: 
agitator-propagandis (aktivis)nya sekarang sudah dikooptasi dan menggunakan 
alat-alat/cara-cara partai-partai serta elit politik busuk itu, bahkan, Kata 
Martha Harnecker, praktisi politik kiri mengadopsi praktek-praktek yang 
hamper-hampir tidak berbeda dari yang biasa dilakukan partai tradisional 
(Martha Harnecker,  Gerakan untuk Partisipasi Kerakyatan, PEMBEBASAN, No.2, 
Tahun 1, Mei, 2008). 

[12] Sampai-sampai mereka menyetujui Undang-Undang yang dapat menyeret orang 
yang menyebarluaskan GOLPUT ke penjara.

[13] Secara historis dan kongkrit, coba periksa kapasitas PBR dalam 
memperjuangkan kemandirian bangsa; juga, secara historis dan kongkrit, 
unur-unsur “nasionalis” manakah yang akan didukung oleh PBR, dan bagaimanakah 
caranya PBR meningkatkan/mendapatkan kapasitas material, manajerial dan politik 
perjuangan kemandirian bangsa (bahkan bila secara bertahap sekalipun). Yang 
sangat sulit bagi mereka, tentu saja, adalah mendapatkan kapasitas politik 
(dukungan rakyat) karena, secara histories, PBR disangsikan kesungguhan dan 
kapasitasnya dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan kemandirian 
nasional. Orang-orang PRD-PAPERNAS  bisa saja mengatakan: “Ya, dengan adanya 
kami, maka rakyat akan lebih percaya kepada PBR karena, secara histories, kami 
sudah teruji dalam meperjuangkan kesejahteraan rakyat dan kemandirian nasional; 
nanti, apalagi bila kami memenangkan kursi di parlemen, dari atas/parlemen kami 
akan membangkitkan dukungan rakyat tersebut bahkah,
 bisa saja, kami akan mendapatkan dukungan dari militer dan kaum Islam” Boleh, 
boleh, boleh, anda-anda berkata demikian, bila ingin kembali disebut NAIF. 
Pertanyaannya adalah: bagaimana mungkin membangkitkan dukungan rakyat (bahkan 
militer dan kaum Islam) dari atas, sementara persiapannya belum dimatangkan. 
Apakah selama dari sekarang hingga (selesai) kampanye Pemilu 2009 cukup waktu 
untuk mempersiapkannya. Apakah itu yang dilakukan Chavez (seperti yang sering 
anda-anda sebutkan sebagai contoh revolusi dari atas, dari ajang parlementer)? 
Coba periksa kembali sejarah Chavez (tanpa ada manipulasi), dari mana dia dia 
dapat dukungan rakyat? Tolong beritahu kami agar kami tahu bahwa kami lah yang 
memang bodoh (atau mungkin anda-anda). Anda-anda bisa saja menjawabnya lagi: 
“Kita akan dengan sabar, secara gradualis, mempesiapkan dukungan rakyat 
tersebut. Kunci kami adalah, menang dahulu, masuk dahulu ke parlemen (dengan 
jalan kontradiktif, menggunakan alat
 partai busuk, sekalipun), karena itu dukunglah kami, kaum pergerakan.” Silakan 
perbanyak alasan-alasan lainnya—alasan-alasan yang berangkat dari situasi yang 
kontradiktif: APOLOGI.

[14] Ini tentu berbeda dengan Budiman Sudjatmiko yang, secara individual masuk 
ke PDIP (bahkan dia sudah di pecat dari PRD jauh sebelum bergabung ke PDIP).

[15] Bisa saja platform-nya mengangkat persoalan rakyat yang, secara tidak 
langsung, berkaitan dengan neoliberalisme secara sistemik.

[16] Untuk menutupinya—dan memang harus ditutupi—PRD/PAPERNAS harus mencari 
pembenaran, yakni: “Menurut kami, PRD-PAPERNAS, di Indonesia ada 
kekuatan-kekuatan anti-neoliberalisme di luar kaum pergerakan, seperti dari 
kalangan pengusaha nasional, militer maupun elit-elit politik lainnya.

[17] Seharusnya Data belajar dahulu makna-kata borjuis kecil secara ekonomi dan 
secara politik—apakah benar pemisahan borjuis kecil dan borjuis besar sekadar 
dipisahkan oleh kebangsaan? Modal Internasional ada yang juga kapasitas 
produksinya dikhususkan untuk pasar domestik; apakah borjuis kecil 
“berkebangsaan” Indonesia memiliki modal kecil, bergantung pada pasar domestik 
atau kapasitas produksi domestik?; apakah benar, sebagai calon sekutu 
potensial, borjuis kecil Indonesia sudah memasuki ranah kesadaran 
anti-neoliberalisme, atau kesadaran anti-neoliberalismenya masih dibelenggu 
ketergantungan terhadap tenaga produktif (juga pasar) internasional—kita tahu 
banyak para pemodal kecil sebenarnya memproduksi komoditi untuk untuk pasar 
intenasional, setelah dikumpulkan/digabungkan oleh para tengkulak besar 
pribumi; bahkan yang pasar dan kapasitas domestik pun tenaga produktifnya 
(terutama yang berteknologi menengah dan tinggi) masih tergantung pada
 produksi-produksi (modal) asing. Jadi, mereka itu tidak sepenuhnya MERASA 
dirugikan oleh modal asing, tapi TERGANTUNG, sehingga kesadarannya pun ambigu. 
(Data, hati-hati definisi anti-neoliberalisme anda bisa menjadi Xenophobia. 
Neoliberalisme, yang juga ada di negeri-negeri asalnya, negeri-negeri 
imperlisme, pun harus dilawan oleh rakyatnya sendiri dengan bersolidaritas 
dengan kita!) Dan makna potensial menjadi sekutu (pada tahap awal) 
anti-neoliberalisme adalah: setelah mereka yakin bahwa, dengan melawan 
neoliberalisme, kepentingan borjuisnya tidak terganggu; bahwa kapasitas 
borjuisnya bisa ditingkatkan tanpa neoliberalisme. Untuk MENGKONGKRITKAN 
unsur-unsur yang berkesadaran anti-neoliberalisme (pada tahap awal) itu saja, 
Data harus menyebutkannya SECARA KONGKRIT—apakah itu PBR (apa ada partai-partai 
lainnya lagi?), apakah itu KADIN, apakah itu HIPMI, apakah itu Amin Rais, 
Apakah itu Rizal Ramli, apakah itu Hendro priyono, (yang sebenarnya sudah
 ditanyakan pada Data oleh Pius, tapi dijawab oleh Data dengan abstrak dan tak 
memiliki etika akedemik: sudah saya jawab dalam tulisan/artikel saya 
sebelumnya), atau apakah itu pengusaha-pengusaha menengah (yang mempekerjakan 
buruh 20 sampai 99 orang, sebagaimana kategori United Industrial Development 
Organization/UNIDO); atau pengusaha-pengusaha kecil (yang mempekerjakan buruh 5 
sampai 19 orang, sebagaimana kategori UNIDO); atau pengusaha-pengusaha rumahan 
(home industries) (yang mempekerjakan buruh 1 sampai 4 orang, sebagaimana 
kategori UNIDO); atau, dalam pengertian budaya (politik): juga mereka yang 
punya semangat anti-neoliberalisme (pararel dengan makna kerakyatannya, tentu 
saja). Bila itu maknanya, berarti, dalam tahap sekarang, perjuangan untuk 
mempersatukan unsur-unsur anti-neoliberalisme dari kalangan seperti yang 
disebutkan Data, Rudi, Gede, dan PRD-PAPERNAS, baru sampai tahap berpropaganda 
(kepada unsur-unsur tersebut). Kecuali bila
 unsur-unsurnya bukan itu, tapi DARI kalangan pergerakan (termasuk beberapa 
LSM), DARI ratusan juta borjuis kecil (dalam makna rakyat miskin yang, 
POTENSIAL, anti-neoliberalisme). Apalagi bila kalangan pergerakan sekarang ini 
mau menggunakan kapasitasnya yang ada untuk bersatu—sebenarnya, kapasitas 
persatuan nasionalnya dalam platform anti-neoliberalisme sudah meningkat bila 
dilihat dalam wujud Front Pembebsan Nasional/FPN dan Front Perjuangan 
Rakyat/FPR (dalam kadar programatik yang lebih rendah, dapat dilihat pada wujud 
wujud Front Rakyat Menggugat/FRM, yang hanya mengangkat issue kenaikan harga 
BBM, bukan langsung anti-neoliberalsime, sehingga rakyat kesulitan menangkap 
hubungan kenaikan BBM dengan issue anti-neoliberalisme). Namun, PRD-PAPERNAS, 
sudah berkesimpulan bahwa mereka sudah bisa diajak bekerjasama untuk 
memperjuangkan anti-neoliberalisme. Yang benar aja!

[18] Sekadar pertanyaan saja untuk Gede: tolong sebutkan lebih kongkrit, yang 
mana yang kau sebut “menggalang barisan bersama” untuk kemandirian bangsa. 
Jangan suka manipulatif (baca: membohongi rakyat).

[19] Dari bulan Desember, 2007, sebenarnya telah dibangun komitemen persatuan 
di antara pimpinan-pimpinan serikat buruh termasuk Srikat Pekerja Nasional 
(SPN), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), dan Serikat Pekerja 
Seluruh Indonesia (SPSI), untuk melancarkan aksi-aksi mobilisasi menuntut 
beberapa persoalan buruh Indonesia secara bersama, termasuk melakukan aksi May 
Day secara bersamana tanpa keterlibatan Elit Politik.


--

Posting oleh  ARAH GERAK  ke  ARAH GERAK  pada  9/19/2008 01:46:00 AM


      

[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke