Sekadar Renungan di bulan Syawal

 

 

 

Membaca pemikiran para 'ulama dan cendekiawan Muslimin yang sudah dibuka untuk 
publik dalam edisi: buku, essay, makalah, desertasi akademik, risalah 
interpretasi (tafsir) dan dakwah verbal serta terbitan majalah dan terbitan 
website maupun maillist, seolah-olah para pembaca dipersilahkan menengok 
kembali plot waktu di sekitar aktivitas Sang Rasulullah Muhammad saw 
menyampaikan Wahyu Qurani kepada Bangsa Arab dan manusia pada umumnya. Di 
sekitar plot waktu tersebut telah berlangsung suatu pergumulan ideologi, 
politik, ekonomi sekaligus kekuatan fisik yang realistik yang selama kurun 
waktu sejarah perkembangan maju masyarakat manusia menghasilkan suasana 
masyarakat Muslimin global sebagaimana yang kita temui dan alami di saat 
sekarang. 

 

Sudah barang tentu bagi generasi Muslimin saat ini pola fikir dan miksasi 
(campuran) perasaan sebagai Muslim sudah sangat jauh berbeda dengan para 
pendahulu generasi Muslimin pertama. Sitkon budaya masyarakat manusia secara 
umum telah jauh berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan pola fikir 
dan miksasi perasaan individu manusia biologis dan saling keterkaitan dan 
interaksi yang sudah berlangsung hampir lima belas abad lamanya. Realitas waktu 
tenggang 15 abad semenjak Wahyu pertama diturunkan dan keberlangsungan 
kerasulan Muhammad saw sebagai salvo pertama dalam periode ahir zaman jahiliyah 
Arabia gerak perkembangan masyarakat manusia menuju suatu budaya modern dewasa 
ini hingga hiruk-pikuk krisis ekonomi pasar uang Wallstreet dan "political 
catastrophy" White House yang tak tertolong lagi merupakan saat-saat kaum 
Muslimin berkesempatan dan perlu melakukan INTROSPEKSI diri atas lembaran 
kesejarahan, ideologi, politik dan kebudayaan masyarakatnya sendiri dengan 
mempergunakan kemampuan inferensi dan referensi sejarah perkembangan masyarakat 
manusia secara umum.

 

Pemecahan problematika pemahaman ummat terhadap Al-Dinu al-Islam, polah laku 
politik dan ekonomi serta pembangunan budaya masyarakat Muslim yang menjadi 
kiprah studi dan analisis teoretik selama ini pada umumnya didasarkan kepada 
pendekatan kerangka kerja ilmu keagamaan yang tidak diajarkan oleh wahyu 
Qurani. Justru Wahyu Qurani telah dan akan terus melakukan kritik tegas 
terhadap rekayasa ilmu keagamaan dalam memahami maksud dan tujuan penciptaan 
alam semesta dan penciptaan "kholifatan fii al-ardh". Permasalahan mengenai 
Yang Maha Pencipta dengan ciptaan-ciptaan-NYA tidak akan dapat difahami melalui 
ilmu keagamaan sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Mulk (67) ayat 1-5. Para 
sahabat rasulullah Muhammad saw dan para intelektual Muslimin sudah semenjak 
rasulullah Muhammad saw masih hidup tidak mampu memahami dan menjelaskan 
ayat-ayat tersebut secara meyakinkan dengan mempergunakan kerangka kerja 
ilmu-ilmu teologi, kecuali hanya meng"imani"nya secara dogmatik. Keimanan 
dogamtik sedemikian inilah yang menyebabkan terbukanya jurang diantara "iman" 
dengan praktek kemasyarakatan setiap pribadi Muslim, sehingga tidak terdapat 
persesuaian diantara "iman" ke-Islaman pribadi dengan praktek hidupnya dalam 
keseharian bermasyarakat dan berkeluarga. Pada lazimnya penjelasan-penjelasan 
teologis sangat cenderung kepada dugaan-dugaan (al-dzhonu) imajinatif,fantasi 
dan mistik daripada suatu pemahaman yang memiliki dasar-dasar faktual. 
Penjelasan demikian itu pernah banyak dikemukakan oleh seabreg-abreg pemikir 
dan pemerhati tafsiran dan pemahaman Al-Dinu al-Islam yang berkaitan dengan 
nasib umat Muslimin dalam ribuan karya-karya litrerair dan essay serta tulipen 
(tulisan pendek). 

 

Kemunculan berbagai alur pemikiran interpretatif (tafsir) atas Al-Quranu 
al-Karim dan Sunnah rasulullah Muhammad saw yang selanjutnya menimbulkan 
perpecahan organisasi masyarakat di atas dasar kerangka perbandingan teologi, 
politik dan ideologi di dalam masyarakat Muslim adalah suatu proses alami yang 
wajar bagi perkembangan masyarakat manusia sebagaimana yang pernah terjadi pada 
masa-masa sebelumnya yang difirmankan Allah swt sebagai kisah para rasul dan 
nabi serta masyarakat berbagai bangsa. Di mana pada setiap peningkatan kwalitas 
masyarakat manusia, Allah swt selalu mengirmkan utusan dan nabi serta para wali 
yang ditugaskan menyampaikan wahyu, bimbingan dan peraturan hidup bagi manusia 
yang mengimani Allah swt. Bahkan realitas sejarah perkembangan masyarakat dan 
budaya manusia difirmankan Allah swt sebagai wahyu kepada rasulullah Muhammad 
saw yang dimuat di dalam Al-Quranu al-Karim. Dalam hampir semua usaha 
memberikan jawaban jitu atas pertanyaan-pertanyaan tersebut secara umum dan 
masaal para 'ulama Muslimin meletakkan titik pandangnya dan titik tolak 
pemikirannya pada satu batu granit tua dan keras yang sudah muncul semenjak 
munculnya jenis Homosapiens: ritualisme teologis. Dalam Wahyu Qurani dikisahkan 
sebagai peristiwa pembunuhan pertama yang terjadi dalam perselisihan ritual 
teologis antara bani Adam.

 

Sebagaimana dijelaskan di dalam firman Allah swt: 

"Wa idz akhodza robbuka min baniiii Aadama min dhuhuurihim dzurriyyatahum wa 
asyhadahum 'alaaaa anfusihim alastu birobbikum Qoolu balaa syahidnaaaa an 
taquuluu yauma al-qiyaamati innaa kunnaa 'an haadza ghoofiliin - Dan (ingatlah) 
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan 
mengambil kesaksian terhadap nafs-nafs mereka: 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' 
Mereka menjawab: 'Benar (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi'. (Kami lakukan yang 
demikian itu) agar di hari kiamah kamu tidak mengatakan: 'Sesungguhnya kami 
(bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap hal ini (ke-Esaan Allah)' " 
(QS.7:172), 

permasalahan realisnya bukan terletak kepada titik tolak pemahaman ritualisme 
teologis tetapi pada pemahaman ideologis yang tidak mungkin dipisahkan dari 
realitas pewahyuan wahyu Qurani. Wahyu pertama yang diturunkan sebagai lima 
buah ayat Surah Al-'Alaq (96) yang pertama (ayat 1-5) merupakan kritik tajam 
kepada manusia Arab dan masyarakatnya yang secara ideologis menafikan 
baca-tulis. Dan selanjutnya wahyu yang diturunkan pada permulaan kerasulan 
dengan tajam mengkritik ideologi materialistik dalam konteks pemujaan kekayaan 
material, kehormatan politik-ekonomi, kepahlawanan kriminal (tradisi ghozwu), 
ketidak-pedulian sosial kekeluargaan dan kemasyarakatan dll. Dan wahyu Qurani 
memberikan solusi dengan pemugaran masyarakat jahiliyah  bangsa Arab melalui 
perangkat pembaharuan ideologis: pembersihan, pensucian, pemurnian, tuhan 
bangsa Arab yang disebut Allah dari celupan religi, agama, teologi Arab klasik 
menjadi Allah swt yang saintifik (empirik, rasional, logis, dialektis), 
realistik, tanpa embel-embel dan atribut imago kemanusiaan. 

 

Dari titik tolak ideologi demikian, manusia tidak dapat tidak akan menerima dan 
memahami bahwa dirinya berada (eksis) setelah alam semesta berada dan tidak 
sebelumnya. Oleh karena itu keberadaan (eksistensi) Tuhannya adalah suatu 
realitas mandiri yang tidak bergantung kepada adanya manusia. Hanya saja dengan 
kebebasan terbatas yang merupakan salah satu ciri fitroh manusia, maka manusia 
sering menafikan realitas obyektif dan menggantinya dengan kontemplasi, fantasi 
dan imajinasi pribadi yang simplistik dari hasil olah logis fikir formal dan 
olah filtratif "rasa" qolbu yang fluktual tanpa studi yang menyeluruh. Gerak 
informasi logis formal jaringan kerja neuron pada sel-sel otak dan gerak 
photonic atom inferensial, refernsial dan filtratif medan "rasa" (sensor) 
elektro magnetik qolb dari manusia menghasilkan suatu peristiwa holografis yang 
seolah-olah realistik dan ada dalam ruang-waktu 4 dimensi (simak sebaik-baiknya 
pengalaman sufiyah Jalaluddin Rumi, Ibn al-'Arobi, Al-Ghozali, Abdul Qodir 
Jaelani, Al-Hallaj, Syeh Siti Jenar, Sunan Kudus dll). Dan hal inilah yang 
lebih diakui oleh para 'ulama Muslimin dan teolog Muslimin sebagai realitas 
azali dari pada realitas mandiri yang bebas dari kebergantungannya terhadap 
manusia sebagai mahluk biologis tertinggi (sempurna - menurut firman Qurani). 
Pada titik hal-ihwal inilah manusia yang ber"iman" terperosok ke dalam suatu 
sumur tak berdasar yang berdinding dogma-dogma kontemplatis, fantastis, mistis, 
transendental dan imajinatik yang kini dikenal secara popular dengan sebutan 
teologi atau ilmu agama.

 

Solusi dari semua pertanyaan yang sudah diketengahkan kali ini tidak lain 
adalah pemindahan dan pengembalian pemahaman ideologis dalam model mindset 
manusia dari diri pribadi (nafsin) ke mindset realitas obyektif yang mandiri di 
mana manusia termasuk salah satu bahagian realitas obyektif yang mandiri 
tersebut - Allah swt - namun sangat sangat lembut, lebih lembut dari debu 
kosmik. Dengan demikian maka konsekwensinya adalah suatu aksi revolusioner 
pemindahan pemahaman teologis ke pamahaman sains atas alam semesta, dirinya dan 
masyarakatnya serta seluruh aspek kehidupannya. Sehingga pendekatan ke arah 
menemukan kebenaran hakiki, kebenaran mutlak, lebih dimungkinkan secara 
alamiyah dan praktis serta gampang, sebagaimana dianjurkan oleh firman-firman 
Quraniyah. Wahyu Qurani menganjurkan agar kita kaum Muslimin dan manusia secara 
umum berani dan bersedia mempelajari alam semesta seisinya dan mempelajari diri 
manusia biologis dengan cara memperhatikan gejala-gejala alam yang dapat 
ditanggap dengan penginderaan dan gejala-gejala yang berlangsung dalam diri 
biologis pribadi yang dapat ditanggap dengan penginderaan dan "rasa" organis. 
Dengan tingkat sains dan teknologi ruang angkasa dan informatika saat ini 
dimungkinkan secara ideologis, politis dan ekonomis kaum Muslimin kembali 
mengembangkan inisiatif saintifiknya dengan menjadikan firman-firman Allah swt 
sebagai Pedoman studi hidup dan kehidupannya sendiri. Konsekwensinya adalah 
meninggalkan angan-angan fantastik, kontemplasi holistik dan imajinasi 
nihilistik. Untuk perbaikan nasibnya kaum Muslimin harus berani meletakkan 
kedua telapak kakinya di atas permukaan bumi kehidupannya pribadi dan 
memecahkan permasalahan hidup pribadinya dengan mempergunakan sinar benderang 
Petunjuk-petunjuk (hudan) firman Qurani sebagai Pembimbing-nya dan pengalaman 
praktis sebagai peralatan nyata (instrumentasi wujud) yang dapat 
dipergunakannya di dalam merealisasi harapan dan doa yang dipanjatkan kehadiran 
ilahi. Kita harus selalu ingat firman Qurani: "Innalloha la yughoyyiru ma bii 
kaumin hatta yughoyyiru ma bii anfusihim" yang menjadi petunjuk metodologis 
dengan teguh memegang kedua tali yang telah diberikan oleh Allah swt dalam 
wujud model "hablu min Alloh wa hablu min al-Naas" agar hidup pribadi kita 
selalu memperoleh rohamh, hidayah dan taufiq dari Allah swt. 

 

Dengan pendekatan demikianlah akan terwujud dan nampak jelas kadar (qodar) 
keimanan, kesalihan, kemuhlisan dan keihsanan seorang Muslim. Hidup dan 
kehidupan manusia itulah padang masyhar yang luas sejauh mata memandang dimana 
manusia diuji, dicoba, dipahalai dan ditingkatkan kedudukannya di sisi Allah 
swt dan di daerah inilah manusia diadili, disiksa dan dimasukkan ke dalam 
jahannam. Di padang ini pulalah manusia difasilitasi, dianjurkan dan diijinkan 
berlomba-lomba berbuat baik dan kebaikan demi kemaslahatan bersama, membangun 
masyarakat manusia yang damai, tenteram, adil, makmur di bawah sinar benderang 
ideologi tungal Ketuhanan Yang Maha Esa, yang membuahkan sholat yang husuk bagi 
pribadi-pribadi.

 

Wa bii Allohi taufiqu wa al-hidayah wassalamu'alaikum wr wb,

 

A.M

 

 


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to