ane heran, koq bs orang liberal radikal menyebut dirinya sbg kaum cerdik-pandai?
iklan emang banyak bohongnya..
kaya'na gembar-gembor keintelektualan mereka harus segera direvisi dech :)
menggelikan membaca gonggongan profesor liberal radikal, klo profesornya 
standarnya rendah bgini, gmana mahasiswanya ya? :p


“Antara Usman Bin Affan dan Faraq Fouda”
Oleh:Adian Husaini


Tampaknya, ada sifat yang khas dari kaum liberal di Indonesia. Mereka senang 
dengan hal-hal yang nyeleneh dan asal beda dengan umat Islam pada umumnya. 
Orang Jawa bilang: yang penting Waton suloyo alias WTS atau asal beda. Jika 
umat Islam menolak Ahmadiyah, mereka
malah mendukung Ahmadiyah. Umat Islam mendukung RUU Anti-pornografi,
mereka justru menolaknya. Jika umat Islam mengecam perkawinan sesama
jenis, mereka justru mendukungnya. Umat Islam menolak perkawinaan
antar-agama, tapi mereka malah mempromosikannya. 

Umumnya
umat Islam membanggakan sejarahnya yang gemilang. Tapi, kaum liberal
senang tampil beda. Mereka senang jika umat Islam malu dengan
sejarahnya sendiri. Yang penting beda! Jika ada hal yang dianggap baru,
dan datang dari kaum liberal di luar, lalu ditelan begitu saja. Yang
penting liberal, dan  sok kritis terhadap Islam.
Ketika muncul seorang lesbian seperti Irshad Manji, maka mereka sambut
dengan gegap gempita. Nong Darol Mahmada, aktivis liberal alumnus
Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta menulis artikel di Jurnal Perempuan
(nomor 58) berjudul: “Irshad Manji, Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan 
Ijtihad.”  


Kita
pernah membahas, bagaimana naifnya pujian yang berlebihan terhadap
Irshad Manji. Tapi, mereka tidak peduli. Setelah mempromosikan Irshad
Manji, kini kaum liberal di Indonesia sedang gandrung dengan idola baru
bernama Farag Fouda. Yayasan Wakaf Paramadina menerbitkan edisi kedua
karya Farag Fouda berjudul Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik 
dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslimin. Judul aslinya adalah al-Haqidah 
al-Ghaibah.
 
Tampaknya,
buku Fouda sedang digandrungi oleh kaum liberal. Di berbagai forum
mereka mempromosikan buku ini. Katanya, ini buku yang hebat, yang
menunjukkan “kebenaran” yang  selama ini disembunyikan
oleh para sejarawan Muslim. Di negara asalnya, Fouda memang sempat
membuat berita besar, saat ia mati terbunuh pada 8 Juni 1992. Lima hari
sebelumnya, 3 Juni 1992, sejumlah ulama al-Azhar menyatakan Fouda telah
murtad karena banyak menghujat Islam.

Menyambut
kampanye penyebaran buku Fouda tersebut, Jumat (17 Oktober 2008) lalu,
bertempat di Masjid al-Furqan, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia
menggelar Tabligh Akbar. Tampil sebagai pembicara utama adalah Asep
Sobari Lc, peneliti bidang sejarah di INSISTS. Sebelumnya, Asep Sobari
sudah meluncurkan analisis kritisnya terhadap karya Fouda ini di situs 
www.hidayatullah.com. Tapi,
dalam acara Tabligh Akbar, alumnus Universitas Madinah itu mengupas
lebih tajam lagi berbagai kecurangan dan kesalahan Fouda dalam mengutip
kitab-kitab rujukan dari Thabari dan Ibn Saád.. Sejumlah bagian dari
naskah edisi Indonesia, dibandingkan langsung dengan naskah asli karya
Fouda serta kitab-kitab rujukan Fouda. Dengan cara seperti itu, tampak
jelas dimana letak kecurangan dan kelemahan buku Fouda tersebut.

Karena
itu, kita kemudian memang cukup keheranan dengan berbagai pujian
terhadap buku ini. Khususnya yang dilakukan oleh orang yang bergelar
guru besar bidang sejarah.  Prof. Dr. Azyumardi Azra, Guru
Besar Sejarah dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
ini, memuji-muji buku Fouda: 
“Karya Farag Fouda ini secara kritis dan berani mengungkapkan realitas sejarah 
pahit pada masa Islam klasik. Sejarah
pahit itu bukan hanya sering tak terkatakan di kalangan kaum Muslim,
tapi bahkan dipersepsikan secara sangat idealistik dan romantik. Karya
ini dapat menggugah umat Islam untuk melihat sejarah lebih objektif,
guna mengambil pelajaran bagi hari ini dan masa depan”.

Lebih “hebat” lagi pujian dari Prof. Dr. Syafi`i Maarif, Guru Besar Filsafat 
Sejarah, Universitas Nasional Yogyakarta (UNY): 
”Terlalu banyak alasan mengapa saya menganjurkan Anda membaca buku ini. Satu 
hal yang pasti: Fouda menawarkan ”kacamata” lain untuk melihat sejarah Islam. 
Mungkin
Fouda akan mengguncang keyakinan Anda tentang sejarah Islam yang lazim
dipahami. Namun kita tidak punya pilihan lain kecuali meminjam
”kacamata” Fouda untuk memahami sejarah Islam secara lebih autentik,
obyektif dan komprehensif”.

Dengan
gamblang, Asep menunjukkan bagaimana Fouda telah sengaja mengambil
sejumlah riwayat yang lemah dan tidak jelas sumbernya untuk mendukung
opininya. Lalu, dia katakan itu sebagai fakta sejarah. Padahal,
faktanya tidak begitu. Kecurangan yang sangat jelas, misalnya, dalam
kasus sahabat Utsman bin Affan r.a. Dengan mengutip riwayat-riwayat
yang lemah, Fouda telah membangun citra yang sangat buruk terhadap
menantu Rasulullah saw tersebut.

Karena
isinya semacam itu, tidak heran jika tokoh liberal, Goenawan Mohamad
pun bersorak gembira dengan terbitnya buku ini. Catatan Goenawan di
Majalah TEMPO dijadikan epilog buku ini. Ketajaman pena wartawan
kawakan ini digunakan untuk mempertajam lagi gambaran hitam fitnah
Fouda terhadap sahabat Rasulullah saw yang mulia ini. Simaklah uraian
Goenawan tentang Sayyidina Usman bin Affan r.a. dalam kolomnya: 
“Mereka
tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya
terpaksa “bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan.” Ketika
mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang menyalatinya. Jasad orangtua
berumur 83 tahun itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya
dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah
ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi. Tak
diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada
seorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda
mengutip kitab al-Tabaqat al-Kubra karya sejarah Ibnu Saád yang
menyebutkan satu data menarik: khalifah itu agaknya bukan seorang bebas
dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat
30.500.000 dirham dan 100.000 dinar.”

Tampaknya Goenawan tidak mengecek sendiri pada kitab al-Thabari dan Ibn Saád.  
Dia
taklid buta pada Fouda. Dengan penggambaran Goenawan Mohamad seperti
itu terhadap Usman r.a., kita dapat menangkap pesan, bahwa Khalifah
ketiga dari Khulafaurrasyidin itu adalah seorang yang hina,
sial, dan serakah. Goenawan seperti sedang mengejek umat Islam yang
senantiasa berdoa untuk Rasulullah saw dan para sahabatnya: “Wahai umat
Islam, orang yang kalian puja dan doakan itu adalah manusia brengsek.
Kalian selama ini telah tertipu. Ada kebenaran yang hilang; ada fakta
sejarah yang  selama ini disembunyikan!” Maka, judul yang ditulis untuk buku 
Fouda ini adalah “Kebenaran yang hilang”.

Kita paham, kaum liberal seperti Goenawan Mohamad ini sedang menertawai umat 
Islam melalui buku Fouda. Seolah-olah,  selama
ribuan tahun, umat Islam tolol semua. Para ulama Islam telah melakukan
kecurangan, menyembunyikan fakta sejarah tentang sahabat nabi.
Seolah-olah, para orang tua Muslim telah salah mengajar anak-anaknya
untuk mencintai Rasulullah saw dan para sahabatnya. Padahal, kata
mereka, sahabat Nabi yang diagung-agungkan dan senantiasa didoakan umat
Islam itu ternyata juga manusia serakah, manusia busuk!  


Pesan
penting lain yang disampaikan Goenawan melalui kolomnya adalah
pembelaan terhadap Fouda. Ia memuji Fouda. Ia menyesali kematian Fouda.
Sebab, Fouda termasuk jajaran kaum sekular-liberal.. “Ia mempersoalkan
keabsahan posisi khilafah. Ia pengganggu kemutlakan,” tulis  Goenawan
tentang Fouda. Tapi, penyesalan itu bukan untuk Usman r.a.. Goenawan
termakan cerita Fouda, bahwa Usman r.a. adalah manusia brengsek,
serakah,  dan haus kekuasaan. Karena menolak turun dari
jabatannya, maka Usman terbunuh. “Maka perkara jadi runcing dan mereka
mengepung Usman – lalu membunuhnya, lalu menistanya,” tulis Goenawan.

Usman
bin Affan adalah manusia hina. Itu fakta, kata mereka Sumber berita
untuk mencaci maki sahabat Nabi itu hanya satu: Farag Fouda. “Kaum
“Islamis” tak pernah menyebut peristiwa penting itu, tentu,” ejek
Goenawan.  Syafii Maarif juga cukup rajin mempromosikan buku Fouda ini. Seperti 
yang ditulisnya di sampul belakang buku ini:  Fouda telah memahami sejarah 
Islam secara lebih autentik, obyektif dan komprehensif.Azyumardi Azra juga 
menyebut apa yang disajikan oleh Fouda sebagai “realitas sejarah”.

Sebagai
Muslim yang beriman akan kejujuran Nabi Muhammad saw, tentu iman kita
tertantang dengan pemaparan tentang Sayyidina Usman versi kaum liberal
ini. Benarkah Usman r.a. memang manusia hina dan bejat seperti
digambarkan Fouda dan Goenawan Mohamad?  Padahal, begitu banyak hadits Nabi 
yang menyebutkan tentang keutamaan Usman  bin Affan. Maka, kita ditantang:  
percaya pada Nabi Muhammad saw atau percaya pada Farag Fouda?

Untuk
itu, cara terbaik adalah mengecek langsung sumber-sumber asli yang
dikutip Fouda. Hasil penelitian Asep Sobari menunjukkan, ada kelemahan
metodologis dan kecurangan yang sangat serius dari Fouda dalam mengutip
sumber-sumber aslinya. Misalnya, tentang riwayat keterlambatan
penguburan jenazah Usman bin Affan, Fouda hanya mengambil satu riwayat
yang lemah dalam karya al-Thabari.  Padahal, ada delapan versi lain yang juga 
disebutkan dalam kitab itu. Tapi, Fouda sama sekali tidak menyinggungnya. 
Bahkan, dalam al-Thabaqat al-Kubra, karya Ibn Sa’ad, disebutkan beberapa
riwayat dari `Amr bin Abdullah dan al-Waqidi yang jelas-jelas
menyatakan Usman dimakamkan langsung pada malam harinya di Baqi` (al-Thabaqat, 
3/77-78). Jadi,
dengan hanya menyebut satu riwayat yang lemah, Fouda jelas-jelas
melakukan upaya menipulasi data sejarah dengan membuat kesan
seolah-olah hanya ada riwayat itu saja.

Cara
penulisan sejarah seperti ini tentu tidak komprehensif. Maka, ajaib,
jika Profesor sejarah justru memuji-muji buku ini. Sama ajaibnya dengan
wartawan senior yang malas melakukan cek dan ricek terhadap
sumber-sumber referensi yang dipakai Fouda. Mungkin hanya karena cerita
picisan Fouda itu sesuai dengan seleranya, maka dia langsung menelan
begitu saja cerita tentang kebejatan Usman r.a..  
Dalam paparan slide-nya
saat Tabligh Akbar di Masjid Dewan Da’wah, Asep Sobari menampilkan
naskah asli dari al-Thabari yang sama sekali tidak menyebutkan areal
pemakaman Hasy Kaukab sebagai areal pemakaman Yahudi. Tapi, dalam
naskah asli buku Fouda, ada tambahan bahwa Hasy Kaukab (bukan Hisy
Kaukab) adalah areal pemakaman Yahudi. Ini juga merupakan tindakan yang
tidak etis dalam penulisan ilmiah. Apalagi ini menyangkut martabat
seorang sahabat Nabi yang sangat dihormati oleh Nabi Muhammad saw dan
juga umat Islam secara keseluruhan.

Apakah Usman bin Affan seorang yang serakah karena meninggalkan banyak uang 
seperti dikatakan Goenawan Mohamad?  Asep Sobari menunjukkan data yang menarik 
tentang kesuksesan bisnis Usman r.a. dan kedermawanannya. Sejumlah
riwayat yang dituturkan Ibn Hajar memberi gambaran kekayaan Usman. Di
antaranya, pada permulaan masa hijrah, kaum muslim di Madinah kesulitan
mendapat air bersih. Saat itu, hanya ada mata air Rumah yang tersedia dan 
itupun harus dibeli. Usman r.a. akhirnya membeli sumur itu dan mewakafkannya 
untuk umat Islam. Ketika ada rencana perluasan masjid Nabawi di masa Nabi 
sawdan dana kas negara tidak mencukupi, Rasulullah saw mengumumkan pengumpulan 
dana. Maka Usman r.a. segera
membeli tanah untuk perluasan tersebut seharga 25.000 dirham. Ketika
Nabi saw menghimpun dana guna membiayai perang Tabuk yang terjadi di
masa paceklik, Usman r.a. mendermakan 1000 dinar,  940 ekor unta dan 40 ekor 
kuda (al-Khilafah al-Rasyidah min Fath al-Bari, hlm. 453-458).

Seiring dengan geliat kemajuan ekonomi di masa Umar, bisnis Usman bin Affan pun 
semakin berkembang dan asetnya bertambah besar, jauh di atas rata-rata kaum 
musliminlainnya.  Imam
Bukhari (hadits no. 3059) menggambarkan, ketika kekayaan negara berupa
hewan ternak semakin banyak, Umar terpaksa membuat lahan konservasi
eksklusif (al-Hima), dan berkata kepada pegawainya, “Izinkan para pemilik 
ternak untuk menggembala di al-Hima, tapi jangan sekali-kali mengizinkan 
[Abdurrahman] bin Auf dan [Usman] bin Affan. Karena jika seluruh ternak mereka 
berdua binasa, mereka masih punya kebun dan ladang”. 
Jadi, Usman r..a. memang seorang pengusaha sukses, kayaraya
dan sangat dermawan. Jangankan hartanya, nyawanya pun telah
dipertaruhkan untuk Islam. Ia terjun langsung dalam berbagai
peperangan. Tidak masuk akal, manusia mulia seperti ini lalu menjadi
orang yang serakah terhadap dunia. Tidaklah sepatutnya pribadi mulia
seperti Usman bin Affan itu disejajarkan dengan seorang Farag Fouda.
Jika ada sebagian sisi lemah Usman r.a. dalam kebijakan politiknya,
maka Usman memang seorang manusia.   Tapi, tidaklah
komprehensif melihat kepemimpinan Usman hanya dari sebagian sisi
lemahnya saja. Berbagai prestasi besar – dalam politik, ekonomi, dan
pendidikan – telah dicapai dalam masa 12 tahun kepemimpinan Usman bin
Affan r.a.

Selama
ratusan tahun, para sejarawan Muslim telah mencurahkan segenap tenaga
untuk menulis sejarah tentang para sahabat Nabi Muhammad saw. Tidak ada
kebenaran yang disembunyikan, seperti tuduhan Fouda yang diamini begitu
saja oleh sejumlah tokoh liberal di Indonesia. Sebab,  sumber-sumber
sejarah itu tetap terbuka untuk diteliti, oleh siapa saja. Silakan
Goenawan Mohammad, Azyumardi Azra, dan Syafii Maarif menelitinya
sendiri. Jangan bertaklid begitu saja kepada Fouda. Jangan mengerdilkan
keilmuan Anda sendiri!  Aneh, jika kematian Fouda
disesali, tetapi kematian Usman bin Affan justru dianggap wajar. Sebab,
Fouda adalah pejuang HAM, sedangkan Usman r.a. adalah manusia hina dan
serakah!

Semestinya,
para ilmuwan dan cendekiawan ini membaca juga banyak buku lainnya
tentang cerita seputar konflik diantara sahabat Nabi. Thaha Jabir
Ulwani, misalnya, dalam bukunya Adabul Ikhtilaf fil Islam,
memaparkan data-data perbedaan bahkan konflik diantara sahabat Nabi.
Mereka adalah manusia. Tapi, yang sangat indah adalah bagaimana cara
mereka menghadapi dan menyelesaikan konflik.. Umat Islam justru bisa
belajar dari sejarah semacam itu. Sebab, dalam kehidupan manusia, ada
saja orang-orang yang berbuat jahat dan mengeruhkan suasana. Terjadinya
kekacauan dan pembunuhan terhadap Usman bin Affan r.a. tidak bisa
begitu saja ditimpakan kesalahannya kepada Usman r.a. Begitu juga,
martabat Ali bin Abi Thalib r.a. tidak kemudian menjadi rendah karena
di masanya terjadi pergolakan.

Sebagai
Muslim, kita tentu tidak sudi mengikuti jejak orang-orang yang mudah
menghina sahabat Nabi saw. Mereka adalah manusia-manusia pilihan yang
sangat disayangi oleh Nabi kita, Muhammad saw. Kita pun tak suka
sahabat kita dicaci maki. Kaum liberal juga tidak suka jika idolanya
diungkapkan keburukannya setelah kematiannya. Mereka katakan, itu tidak
etis. Tapi, jika penghinaan dan pelecehan itu dilakukan terhadap
sahabat Nabi, seperti Usman bin Affan r.a., mereka justru bertepuk
tangan. 
Maka,
kita tak akan bosan-bosan mengimbau kepada semua pihak yang telah
semena-mena mencaci maki sahabat Nabi yang mulia: beristighfarlah dan
bertobatlah sebelum terlambat! [Yogyakarta, 18 Oktober 
2008/www.hidayatullah.com]

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke