dah kliatanlah belangnya JIL :p
br ajah dijajanin di sono, orang zionis disembah hehe
hebat orang JIL, sembahannya tergantung sapa yg byr


Beberapa Catatan dari Israel

Saya
baru saja melakukan perjalanan ke Israel. Banyak hal berkesan yang saya
dapatkan dari negeri itu, dari soal Kota Tua yang kecil namun penuh
memori konflik dan darah, Tel Aviv yang cantik dan eksotis, hingga
keramahan orang-orang Israel. Saya kira, siapapun yang menjalani
pengalaman seperti saya akan mengubah pandangannya tentang Israel dan
orang-orangnya.

Ketika transit di Singapore, seorang diplomat
Israel mengatakan kepada saya bahwa orang-orang Israel senang
informalities dan cenderung rileks dalam bergaul. Saya tak terlalu
percaya dengan promosinya itu, karena yang muncul di benak saya adalah
tank-tank Israel yang melindas anak-anak Palestina (seperti kerap
ditayangkan oleh CNN and Aljazira). Tapi, sial, ucapan diplomat itu
benar belaka. Dia bukan sedang berpromosi. Puluhan orang yang saya
jumpai dari sekitar 15 lembaga yang berbeda menunjukkan bahwa
orang-orang Israel memang senang dengan informalities dan cenderung
bersahabat.

Saya masih ingat dalam sebuah dinner, seorang rabbi
mengeluarkan joke-joke terbaiknya tentang kegilaan orang Yahudi. Dia
mengaku mengoleksi beberapa joke tapi kalah jauh dibandingkan Gus Dur
yang katanya “more jewish than me.” Dalam jamuan lunch, seorang
diplomat Israel berperilaku serupa, membuka hidangan dengan cerita
jenaka tentang persaingan orang Yahudi dan orang Cina.

Tentu
saja, informalities adalah satu bagian saja dari cerita tentang Israel.
Pada satu sisi, manusia di negeri ini tak jauh beda dengan tetangganya
yang Arab: hangat, humorous, dan bersahabat. Atau semua budaya
Mediteranian memang seperti itu? Tapi, pada sisi lain, dan ini yang
membedakannya dari orang-orang Arab: kecerdasan orang-orang Israel di
atas rata-rata manusia. Ini bukan sekadar mitos yang biasa kita dengar.
Setiap 2 orang Israel yang saya jumpai, ada 3 yang cerdas. Mungkin ini
yang menjelaskan kenapa bangsa Arab yang berlipat jumlahnya itu tak
pernah bisa menandingi Israel.

Kecerdasan itu seperti
kecantikan. Ia memancar dengan sendirinya ketika kita bergaul dengan
seseorang. Tidak yang laki-laki, tidak yang perempuan, semua orang
Israel yang saya ajak bicara memancarkan kesan itu. Patutlah bahwa
sebagian peraih nobel dan ilmuwan sosial besar adalah orang-orang
Yahudi.

Yang membuat saya terkesima adalah bahwa orang-orang
Israel, paling tidak para pejabat, pemikir, budayawan, diplomat,
penulis, dan profesional, yang saya jumpai, semuanya lancar dan fasih
berbahasa Arab. Mereka senang sekali mengetahui bahwa saya bisa
berbahasa Arab. Berbahasa Arab semakin membuat kami merasa akrab.
Belakangan baru saya ketahui bahwa bahasa Arab adalah bahasa
formal/resmi Israel. Orang Israel boleh menggunakan dua bahasa, Ibrani
dan Arab, di parlemen, ruang pengadilan, dan tempat-tempat resmi
lainnya.

Kebijakan resmi pemerintah Israel ini tentu saja sangat
cerdas, bukan sekadar mengakomodir 20 persen warga Arab yang bermukim
di Israel. Dengan menguasai bahasa Arab, orang-orang Israel telah
memecah sebuah barrier untuk menguasai orang-orang Arab. Sebaliknya,
orang-orang Arab tak mengerti apa yang sedang dibicarakan di Israel,
karena bahasa Ibrani adalah bahasa asing yang bukan hanya tak
dipelajari, tapi juga dibenci dan dimusuhi. Orang-orang Israel bisa
bebas menikmati televisi, radio, dan surat kabar dari Arab (semua
informasi yang disampaikan dalam bahasa Arab), sementara tidak demikian
dengan bangsa Arab.

Bahwa Israel adalah orang-orang yang serius
dan keras, benar, jika kita melihatnya di airport dan kantor imigrasi.
Mereka memang harus melakukan tugasnya dengan benar. Di tempat2
strategis seperti itu, mereka memang harus serius dan tegas, kalau
tidak bagaimana jadinya negeri mereka, yang diincar dari delapan
penjuru angin oleh musuh-musuhnya.

Saya sangat bisa memahami
ketegasan mereka di airport dan kantor2 imigrasi (termasuk kedubes dan
urusan visa). Israel dibangun dari sepotong tanah yang tandus. Setelah
60 tahun merdeka, negeri ini menjadi sebuah surga di Timur Tengah.
Lihatlah Tel Aviv, jalan-jalannya seperti avenues di New York atau
Sydney. Sepanjang pantainya mengingatkan saya pada Seattle atau
Queensland. Sistem irigasi Israel adalah yang terbaik di dunia, karena
mampu menyuplai jumlah air yang terbatas ke ribuan hektar taman dan
pepohonan di sepanjang jalan.

Bangsa Israel akan membela setiap jengkal tanah mereka,
bukan karena ada memori holocaust yang membuat mereka terpacu untuk
memiliki sebuah negeri yang berdaulat, tapi karena mereka betul-betula
bekerja keras menyulap ciptaan Tuhan yang kasar menjadi indah dan
nyaman didiami. Mereka tak akan mudah menyerahkan begitu saja sesuatu
yang mereka bangun dengan keringat dan darah. Setiap melihat keindahan
di Israel, saya teringat sajak Iqbal:

Engkau ciptakan gulita
Aku ciptakan pelita
Engkau ciptakan tanah
Aku ciptakan gerabah

Dalam
Taurat disebutkan, Jacob (Ya’kub) adalah satu-satunya Nabi yang berani
menantang Tuhan untuk bergulat. Karena bergulat dengan Tuhan itulah,
nama Israel (Isra-EL, orang yang bergulat dengan Tuhan) disematkan
kepada Jacob. Di Tel Aviv, saya menyaksikan bahwa Israel menang telak
bergulat dengan Tuhan.

Orang-orang Israel akan membela setiap
jengkal tanah yang mereka sulap dari bumi yang tandus menjadi sepotong
surga. Bahwa mereka punya alasan historis untuk melakukan itu, itu
adalah hal lain. Pembangunan bangsa, seperti kata Benedict Anderson,
tak banyak terkait dengan masa silam, ia lebih banyak terkait dengan
kesadaran untuk menyatukan sebuah komunitas. Bangsa Yahudi, lewat
doktrin Zionisme, telah melakukan itu dengan baik.

Melihat
indahnya Tel Aviv, teman saya dari Singapore membisiki saya:
“orang-orang Arab itu mau enaknya saja. Mereka mau ambil itu Palestina,
setelah disulap jadi sorga oleh orang-orang Yahudi. Kenapa tak mereka
buat saja di negeri mereka sendiri surga seperti Tel Aviv ini?” Problem
besar orang-orang Arab, sejak 1948 adalah bahwa mereka tak bisa
menerima “two state solution,” meski itu adalah satu-satunya pilihan
yang realistik sampai sekarang. Jika saja orag-orang Palestina dulu mau
menerima klausul itu, mungkin cerita Timur Tengah akan lain, mungkin
tak akan ada terorisme Islam seperti kita lihat sekarang, mungkin tak
akan ada 9/11, mungkin nasib umat Islam lebih baik. Bagi orang-orang
Arab, Palestina adalah satu, yang tak bisa dipisah-pisah. Bagi
orang-orang Israel, orang-orang Palestina tak tahu diri dan angkuh
dalam kelemahan.

Sekarang saya mau cerita sedikit tentang Kota
Tua Jerussalem, tentang al-Aqsa, dan pengalaman saya berada di sana.
Percaya atau tidak, Kota Tua tidak seperti yang saya bayangkan. Ia
hanyalah sekerat ladang yang berada persis di tengah lembah. Ukurannya
tak lebih dari pasar Tanah Abang lama atau Terminal Pulo Gadung sebelum
direnovasi. Tentu saja, sepanjang sejarahnya, ada perluasan-perluasan
yang membentuknya seperti sekarang ini. Tapi, jangan bayangkan ia
seperti Istanbul di Turki atau Muenster di Jerman yang mini namun
memancarkan keindahan dari kontur tanahnya. Kota Tua Jerussalem
hanyalah sebongkah tanah yang tak rata dan sama sekali buruk, dari sisi
manapun ia dilihat.

Sebelum menuruni tangga ke sana, saya sempat
melihat Kota Tua dari atas bukit. Heran seribu heran, mengapa tempat
kecil yang sama sekali tak menarik itu begitu besar gravitasinya,
menjadi ajang persaingan dan pertikaian ribuan tahun. Saya
berandai-andai, jika tak ada Golgota, jika tak ada Kuil Sulayman, dan
jika tak ada Qubbah Sakhra, Kota Tua hanyalah sebuah tempat kecil yang
tak menarik. Berada di atas Kota Tua, saya terbayang Musa, Yesus, Umar,
Solahuddin al-Ayyubi, Richard the Lion Heart, the Templer, dan para
penziarah Eropa yang berbulan-bulan menyabung nyawa hanya untuk
menyaksikan makam, kuburan, dan salib-salib. Agama memang tidak masuk
akal.

Oleh Guide kami, saya diberitahu bahwa Kota Tua adalah
bagian dari Jerussalem Timur yang dikuasai Kerajaan Yordan sebelum
perang 1967. Setelah 1967, Kota Tua menjadi bagian dari Israel. “Dulu,”
katanya, “ada tembok tinggi yang membelah Jerussalem Timur dan
Jerussalem Barat. Persis seperti Tembok Berlin. Namun, setelah 1967,
Jerussalem menjadi satu kembali.” Yang membuat saya tertegun bukan
cerita itu, tapi pemandangan kontras beda antara Jerussalem Timur dan
Jerussalem Barat dilihat dari ketinggian. Jerussalem Timur gersang dan
kerontang, Jerussalem Barat hijau dan asri. Jerussalem Timur dihuni
oleh sebagian besar Arab-Muslim, sedangkan Jerussalem Barat oleh
orang-orang Yahudi.

Saya protes kepada Guide itu, “Mengapa itu
bisa terjadi, mengapa pemerintah Israel membiarkan diskriminasi itu?”
Dengan senyum sambil melontarkan sepatah dua patah bahasa Arab, ibu
cantik itu menjelaskan: “ya akhi ya habibi, kedua neighborhood itu
adalah milik privat, tak ada urusannya dengan pemerintah. Beda
orang-orang Yahudi dan Arab adalah, yang pertama suka sekali menanam
banyak jenis pohon di taman rumah mereka, sedang yang kedua tidak.
Itulah yang bisa kita pandang dari sini, mengapa Jerussalem Barat hijau
dan Jerussalem Timur gersang.” Dough! Saya jadi ingat Bernard Lewis:
“What went wrong?”
Ada banyak pertanyaan “what went wrong” setiap
kali saya menyusuri tempat-tempat di Kota Tua. Guess what? Kota Tua
dibagi kepada empat perkampungan (quarter): Muslim, Yahudi, Kristen,
dan Armenia. Pembagian ini sudah ada sejak zaman Salahuddin al-Ayyubi.
Menelusuri perkampungan Yahudi sangat asri, penuh dengan kafe dan
tempat-tempat nongkrong yang cozy. Begitu juga kurang lebih dengan
perkampungan Kristen dan Armenia. Tibalah saya masuk ke perkampungan
Muslim. Lorong-lorong di sepanjang quarter itu tampak gelap, tak ada
lampu, dan jemuran berhamburan di mana-mana. Bau tak sedap terasa
menusuk.

Jika pertokoan di quarter Kristen tertata rapi, di
quarter Muslim, tampak tak terurus. Ketika saya belanja di sana, saya
hampir tertipu soal pengembalian uang. Saya sadar, quarter Muslim bukan
hanya kotor, tapi pedagangnya juga punya hasrat menipu.

Namun,
di antara pengalaman tak mengenakkan selama berada di perkampungan
Islam adalah pengalaman masuk ke pekarangan al-Aqsa (mereka menyebutnya
Haram al-Syarif). Ini adalah kebodohan umat Islam yang tak
tertanggulangi, yang berasal dari sebuah teologi abad kegelapan. You
know what? Saya dengan bebasnya bisa masuk ke sinagog, merayu tuhan di
tembok ratapan, dan keluar-masuk gereja, tanpa pertanyaan dan tak ada
penjagaan sama sekali.

Tapi begitu masuk wilayah Haram
al-Syarif, dua penjaga berseragam tentara Yordania dengan senjata
otomatis, diapit seorang syeikh berbaju Arab, menghadang, dan mengetes
setiap penziarah yang akan masuk. Pertanyaan pertama yang mereka
ajukan: “enta Muslim (apakah kamu Muslim)?” Jika Anda jawab ya, ada pertanyaan 
kedua: “iqra al-fatihah (tolong baca al-fatihah).” Kalau hafal Anda lulus, dan 
bisa masuk, kalau tidak jangan harap bisa masuk.
Saya ingin meledak menghadapi mereka. Saya langsung nyerocos saja dengan bahasa 
Arab, yang membuat mereka tersenyum, “kaffi, kaffi, ba’rif enta muslim (cukup, 
cukup, saya tahu Anda Muslim).” Saya ingin meledak menyaksikan
ini karena untuk kesekian kalinya kaum Muslim mempertontonkan kedunguan
mereka. Kota Tua adalah wilayah turisme dan bukan sekadar soal agama.
Para petinggi Yahudi dan Kristen rupanya menyadari itu, dan karenanya
mereka tak keberatan jika semua pengunjung, tanpa kecuali, boleh
mendatangi rumah-rumah suci mereka.

Tapi para petinggi Islam
rupanya tetap saja bebal dan senang dengan rasa superioritas mereka
(yang sebetulnya juga tak ada gunanya). Akibat screening yang begitu
keras, hanya sedikit orang yang berminat masuk Haram al-Syarif. Ketika
saya shalat Maghrib di Aqsa, hanya ada dua saf, itupun tak penuh.
Menyedihkan sekali, padahal ukuran Aqsa dengan seluruh latarnya
termasuk Qubbat al-Shakhra sama besarnya dengan masjid Nabawi di
Madinah. Rumah tuhan ini begitu sepi dari pengunjung.

Tentu
saja, alasan penjaga Aqsa itu adalah karena orang-orang non-Muslim
haram masuk wilayah mesjid. Bahkan orang yang mengaku Muslim tapi tak
pandai membaca al-Fatihah tak layak dianggap Muslim. Para penjaga itu
menganggap non-Muslim adalah najis yang tak boleh mendekati rumah Allah.
Saya
tak bisa lagi berpikir. Sore itu, ingin saya kembali ke tembok ratapan,
protes kepada Tuhan, mengapa anak bontotnya begitu dimanja dengan
kebodohan yang tak masuk akal.


Jawaban Anggota DPR-RI Komisi I, Abdillah Toha, atas Catatan Luthfie

Bung Luthfie yang baik,
Membaca
catatan anda, saya juga terkesima. Bukan dengan Israel, tetapi dengan
catatan itu. Betapa seorang yang berpendidikan tinggi seperti anda bisa
membuat tulisan dan kesimpulan yang berbau propaganda setelah hanya
beberapa hari (?) berkunjung ke Israel, atas undangan dan kebaikan
mereka, Sampai-sampai anda meratap di tembok ratapan Yahudi. Seingat
saya, saya belum pernah membaca tulisan yang begitu memuja dan memuji
Israel seperti tulisan anda ini, termasuk tulisan oarng Israel yang
mendukung Zionisme. Kenapa saya sebut propaganda? Karena sebuah tulisan
yang memuja dan memuji ditambah mengecam lawannya, seolah-olah tak ada
aspek negatif dari subyek yang dipuji dan tak ada aspek positif dari
yang dikecam, adalah sebuah propaganda. Propaganda ini cukup berhasil,
melihat komentar-komentar di halaman Facebook anda. Namun, menurut
saya, proaganda ini kurang cerdas karena orang langsung akan dapat
menilai demikian. Seharusnya, anda bisa lebih cerdas dengan “pura-pura”
sedikit mengeritik Israel agar lebih kelihatan obyektif.

Pertama
saya harus jelaskan lebih dahulu bahwa saya dan kita semua harus
membedakan antara orang Yahudi dan negara Israel. Tidak semua Yahudi
mendukung Zionisme Israel dan sayapun punya cukup banyak kawan Yahudi
yang sangat kritis terhadap Israel. Bahkan belum lama ini saya sempat
bertemu dengan beberapa Rabbi Yahudi yang mengatakan bahwa pembentukan
negara Israel itu bertentangan dengan buku suci mereka. Kita tidak
boleh memusuhi Yahudi atau ras apapun, tetapi sikap mendukung negara
Israel berarti mendukung kebiadaban modern dan satu-satunya penjajah
yang tersisa di abad ke 21 ini (kecuali bila kita masukkan pendudukan
AS atas Iraq dan Afghanistan)... Saya tidak ingin berpanjang-panjang
membahas soal ini, tapi bila anda ingin membaca tulisan-tulisan
(termasuk oleh beberapa orang Yahudi seperti Dr Finkelstein dsb.)
tentang pelanggaran, kebrutalan dan kekejaman Israel, dengan senang
hati akan saya kirimkan.

Bung Lutfhi, anda memang tidak akan
melihat tank-tank Israel di Tel Aviv atau kota lain karena tank-tank
itu dikonsentrasikan di perbatasan untuk membunuh orang-orang
Palestina. Anda katakan ” Mereka tak akan mudah menyerahkan begitu saja
sesuatu yang mereka bangun dengan keringat dan darah”. Barangkali akan
lebih jelas kalau anda lebih spesifik, mereka itu siapa, darah Israel
atau darah Palestina. Alangkah naifnya komentar kawan Singapore yang
anda kutip: “orang-orang Arab itu mau enaknya saja. Mereka mau ambil
itu Palestina, setelah disulap jadi sorga oleh orang-orang Yahudi.
Kenapa tak mereka buat saja di negeri mereka sendiri surga seperti Tel
Aviv ini?” Orang ini pasti belum pernah ke Saudi, Kuwait, Dubai, Turki
dll. Atau anda yang sudah pernah kesana mungkin begitu terkesima oleh
Israel sehingga lupa di negara-negara Arab yang merdeka mereka juga
tidak kalah bisa membangun negerinya yang berpadang pasir. Bagaimana
Palestina mau membangun kalau tiap hari di bom, diserang, digusur,
dibatasi geraknya dengan ratusan chek points dan di blokade. Atau
mungkin anda tidak diajak oleh pengundang anda ke kawasan-kawasan itu.
atau anda tidak berpikir perlu menyempatkan melihat kesengsaraan warga
Gaza yang diblokir oleh Israel.

Anda katakan “setiap
2 orang Israel yang saya jumpai, ada 3 yang cerdas. Mungkin ini yang
menjelaskan kenapa bangsa Arab yang berlipat jumlahnya itu tak pernah
bisa menandingi Israel “. Saya kira anda harus lebih banyak
membaca, bung Lutfhi. Perang Yom Kipur, terusirnya tentara Israel dua
kali dari Lebanon (terakhir Juli 2006) adalah sebagian rentetan fakta
kekalahan-kekalahan Israel. Dluar itu, ketidak mampuan Palestina dan
Arab mengusir Israel dari tanah yang didudukinya sampai sekarang bukan
karena “kecerdasan” orang Israel tetapi nyata-nyata dukungan
satu-satunya negara adi daya di dunia yang menjadikan militer Israel
sebagai militer nomor tiga terkuat di dunia saat ini. Pejuang Palestina
hanya bisa melawan dengan batu dan roket primitif rakitan sendiri.Yang
dihadapai bangsa Arab itu sebenarnya Amerika, bukan sekadar
Israel.Saatnya akan tiba ketika semua kekuatan zalim ini akan punah.
Tanda-tanda itu sudah mulai tampak dengan adanya krisis global saat ini
dan gagalnya misi Amerika di Iraq dan Afghanistan.

Bung Luthfi,
saya tidak menutup mata terhadap kekurangan dan kebangrutan moral
banyak negara Arab yang otoriter dan korup. Inilah salah satu sebab
utama “kekalahan” Arab terhadap Israel karena mereka tidak menjalankan
kebijakan yang merepresentasikan kehendak rakyatnya. Karenanya, ketika
Sayyid Hasan Nasrullah dengan Hizbullahnya berhasil mengusir Israel
dari tanah Lebanon untuk yang kedua kalinya, beliau menjadi pahlawan
dan manusia terpopuler dikalangan rakyat Arab. Tetapi saya juga tidak
akan menggambarkan orang-orang Arab (muslim) Israel yang tinggal di
kampung-kampung kumuh dan membandingkannya dengan hunian orang Yahudi
dengan mengatakan “Lorong-lorong di sepanjang quarter itu tampak gelap,
tak ada lampu, dan jemuran berhamburan di mana-mana. Bau tak sedap
terasa menusuk” tanpa mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang miskin
dan terpinggirkan disana. Bukankah lorong-lorong orang miskin selalu
demikian dimana-mana? Dan tahukah kenapa warga negara Arab muslim di
Israel ini miskin dan terpinggirkan? Karena mereka adalah warga yang
memang dipinggirkan dan di diskriminasi. 
Orang-orang Arab warga
Israel harus membayar pajak lebih tinggi dari warga Yahudi karena
mereka tidak (boleh/qualified).menjadi anggota militer dan bentuk
diskriminasi lain(http://www.jfjfp.org/factsheets/arabsinisrael.htm). 
Mereka dilarang membeli atau menempati rumah atau flat di daerah-daerah 
tertentu yang dihuni warga Yahudi.( http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/co ... 
81_pf.html ), 
karyawan yang menggunakan bahasa Arab bisa dipecat ( 
http://weekly.ahram.org.eg/2004/680/re104.htm), 
dalam pendidikan mereka juga di diskriminasi ( 
http://www.hrw.org/legacy/reports/2001/israel2/ ), 
warga Arab Israel banyak yang dibunuh dan diperlakukan dengan semena-mena ( 
http://files.tikkun.org/current/article ... 7044518248), dan seterusnya. 

Anda
boleh lihat ratusan laporan berbagai organisasi Human Rights lainnya
tentang hal ini. Sebagai negara yang digembar gemborkan demokrasi
ditengah-tengah otoriterianisme dunia Arab, mereka telah memperlakukan
demokrasi dengan standar ganda.
Saya kira semua yang saya sampaikan
ini bukanlah hal baru. Hanya saja, entah kenapa, anda memilih menutup
mata dan hati bagi situasi yang demikian. Atau mungkin karena anda
mempunyai agenda tertentu dalam rangka me”liberalkan” Islam?
Wallahualam.

Abdillah Toha

Sumber : http://musakazhim.wordpress.com/2008/12 ... an-israel/



      

[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 
4. Satu email perhari: ppiindia-dig...@yahoogroups.com
5. No-email/web only: ppiindia-nom...@yahoogroups.com
6. kembali menerima email: ppiindia-nor...@yahoogroups.com
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:ppiindia-dig...@yahoogroups.com 
    mailto:ppiindia-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Reply via email to