Terimakasih untuk kiriman informasi artikel mengenai pak Liem Tiang Gwan, 78th pakar Radar Jerman (EADS) yang tinggal di Ulm, yang ternyata kelahiran Indonesia. Beliau lulusan TU Delft, setelah sebelumnya menempuh pendidikan tinggi di Indonesia, a.l. di THS/ITB s/d tahun 1955.
saya juga pernah bertemu dg bbrp tokoh tua Indonesia yang pernah bekerja di industri/lembaga riset teknologi tinggi, sayangnya umumnya "hanya" level teknisi, tapi Oom Liem yang ini kelihatannya memang tenaga pakar ... kalau kelahiran tahun 1930, berati sekarang usianya sudah 78 tahun, pasti sudah pensiun. harusnya kalo pas Oom Liem liburan ke Indonesia/cuti (mungkin keluarga/famili nya masih banyak yang di sana), harusnya di "tanggap" buat ngasih ceramah/kuliah tamu ... :-)) ( paling-paling saya bayangkan, kalo Oom Liem liburan ke Indonesia mungkin akan "dibayang-bayangi" agen-agen jerman /BND, takut dia akan membocorkan rahasia negara ... :)) ) noch mal danke ... ---( Ihsan hm )---------- --- In muhkito <muhk...@...> wrote: > > Menyambung thread mengenai radar buatan Indonesia, > kebetulan beberapa hari yang lalu saya membaca posting > di kaskus, mengenai seorang ahli radar asal Indonesia. > Dikutip dari Kompas Kompas, Selasa, 29 Juli 2008. Ahli > Radar Dunia, Putera Indonesia <foto: http://tinyurl.com/liem-tiang-gwan> > Liem Tiang Gwan, putera Indonesia kelahiran Semarang, > 20 Juni 1930, ini seorang ahli Radar (radio detection > and ranging) yang mendunia. Radar rancangannya banyak > digunakan untuk memantau dan memandu naik-turunnya > pesawat di berbagai belahan dunia. Bahkan militer di > banyak negara Eropa menggunakan jasanya untuk merancang > radar pertahanan yang pas bagi negaranya. > > Liem Tiang-Gwan, sudah puluhan tahun bergelut dan malang > melintang dalam dunia antena, radar, dan kontrol lalu > lintas udara. Namanya sudah mendunia dalam bidang radar, > antena, dan berbagai seluk-beluk sistem gelombang > elektromagnetik yang digunakan untuk mendeteksi, > mengukur jarak, dan membuat peta benda-benda, seperti > pesawat, kendaraan bermotor, dan informasi cuaca. > > "Sekolah saya dulu berpindah-pindah. Saya pernah di > Jakarta, lalu di Taman Siswa Yogyakarta, kemudian > menyelesaikan HBS (Hoogere Burgerschool) di Semarang > tahun 1949. Setelah itu, saya masuk Institut Teknologi > Bandung dan meraih sarjana muda tahun 1955. Saya melanjutkan > studi di Technische Universiteit (TU) Delft, lulus tahun > 1958," ujar pria yang kini bermukim di kota Ulm, negara > bagian Bavaria, Jerman. > > "Lalu saya ke Stuttgart dan bekerja sebagai Communication > Engineer di Standard Elektrik Lorenz, yang sekarang dikenal > dengan nama Alcatel," kata Liem. > > Meskipun sudah bekerja dan mendapatkan posisi yang lumayan, > Liem muda masih berkeinginan untuk kembali ke Tanah Air. > Ia masih ingin mengabdikan diri di Tanah Air. Maka, tahun > 1963 ia memutuskan keluar dari tempatnya bekerja di Stuttgart > dan kembali ke Indonesia. "Apa pun yang terjadi, saya harus > pulang," ujarnya mengenang. > > Hidup berubah > ------------- > Niat untuk kembali ke Tanah Air sudah bulat. Barang-barang > pun dikemas. Seluruh dana yang ada juga dia bawa serta. Liem > muda menuju pelabuhan laut untuk "mengejar" kapal yang akan > menuju Asia dan mengantarnya kembali ke Tanah Air. Kapal, > itulah sarana transportasi yang paling memungkinkan karena > pesawat masih amat terbatas dan elitis. > > Namun, menjelang keberangkatan, Liem mendapat kabar bahwa > Indonesia sedang membuka konfrontasi dengan Malaysia. Karena > itu, kapal yang akan ditumpangi tidak berani merapat di > Tanjungpriok, Jakarta. Kapal hanya akan berlabuh di Thailand > dan Filipina. Maka, bila Liem masih mau kembali ke Indonesia, > ia harus turun di salah satu pelabuhan itu. > > "Saat itu saya benar-benar bingung. Bagaimana ini? Ingin > pulang, tetapi tidak bisa sampai rumah, malah terdampar > di negeri orang. Saya memutuskan untuk membatalkan kepulangan. > Seluruh koper dan barang bawaan diturunkan lagi, padahal saat > itu uang sudah habis. Tetapi dari sinilah, seolah seluruh > hidup saya berubah. Saya kembali lagi bekerja di Stuttgart > sebagai Radar System Engineer di AEG-Telefunken. Perusahaan > ini sekarang menjadi European Aeronautic Defence and Space > (EADS)," katanya. > > Sejak itu, karier Liem di bidang gelombang elektromagnetik > dan dunia radar semakin berkibar. Setelah bekerja di EADS, > ia diminta menjadi Kepala Laboratorium Radarsystem-theory > tahun 1969-1978, disusul kemudian Kepala Seksi (bagian dari > laboratorium), khusus menangani Systemtheory and Design, untuk > sistem radar, pertahanan udara, dan Sistem C3 (Command Control > Communication). Sebelum pensiun pada tahun 1995, Liem masih > menjabat sebagai Kepala Departemen Radar Diversifications > and Sensor Concepts. > > "Meski sudah pensiun, hingga tahun 2003 saya masih diminta > menjadi consulting engineer EADS," tambahnya. > > > Paten > ----- > Perannya yang amat besar dalam bidang radar, sensor, dan > gelombang elektromagnetik membawa Liem untuk mematenkan > sejumlah temuannya. Puluhan temuannya diakui berstandar > internasional, kini sudah dipatenkan. > > "Yang membuat saya tergetar, ketika menyiapkan Fire Control > and Battlefield Radars, Naval Fire Control Radar dan sebagainya. > Ini kan untuk perang dan perang selalu membawa kematian. Juga > saat saya merancang MSAM Systems: Hawk Successor; Airborne > High Vision Radar dan sebagainya," kata Oom Liem. > > Dia menambahkan, "Saya sendiri sudah tidak ingat lagi berapa > rancangan radar, antena, dan rancangan sinyal radar yang sudah > saya patenkan. Itu bisa dibuka di internet." > Indonesia > > Secara sederhana, ilmu tentang elektro yang pernah ditekuni > selama belajar, coba dikembangkan oleh Om Liem. Dalam sistem > gelombang radio atau sinyal, misalnya, ketika dipancarkan, > ia dapat ditangkap oleh radar, kemudian dianalisis untuk > mengetahui lokasi bahkan jenis benda itu. Meski sinyal yang > diterima relatif lemah, radar dapat dengan mudah mendeteksi > dan memperkuat sinyal itu. > > "Itu sebabnya negeri sebesar Indonesia, yang terdiri dari > banyak pulau, memerlukan radar yang banyak dan canggih guna > mendeteksi apa pun yang berseliweran di udara dan di laut. > Mata telanjang mungkin tidak bisa melihat, apalagi dengan > teknologi yang semakin canggih, pesawat bisa melintas tanpa > meninggalkan suara. Semua itu bisa dideteksi agar Indonesia > aman," tambah Liem. > > Akan tetapi, berbicara mengenai Indonesia, Liem lebih > banyak diingatkan dengan sejumlah kawan lama yang sudah > sekian puluh tahun berpisah. "Tiba-tiba saja saya teringat > teman-teman lama, seperti Soewarso Martosuwignyo, Krisno > Sutji, dan lainnya. Saya tidak tahu, mungkinkah saya bertemu > mereka lagi?" ujarnya sambil menerawang jauh melalui jendela > kaca di perpustakaan pribadinya. > (Tonny D Widiastono, Kompas, Selasa, 29 Juli 2008) > >