http://harianjoglosemar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=32094&Itemid=1
Kebut-kebutan Capres Tanpa Lintasan
  
  
  
 oleh Dwi Munthaha pada 21-01-2009
 

    
    



Wacana
kepemimpinan nasional (Presiden) saat ini, ibarat balapan mobil yang
saling kebut-kebutan. Beberapa orang peminat jabatan tersebut,
berlomba-lomba membentuk opini berikut dukungan yang mereka peroleh.
Menyikapi perkembangan ini, beberapa tokoh-tokoh masyarakat dan
kelompok intelektual yang punya kepedulian mencoba memfasilitasi proses
ini dengan menggelar uji kompetensi dan penerimaan publik. Suasana
menjadi semakin marak dengan aksi susul-menyusul perolehan suara calon
kandidat Presiden melalui polling-polling media massa dan
lembaga-lembaga survei. Bagi rakyat sendiri, selain bersandar pada
petunjuk tokoh, popularitas bersumber pada media massa. Semakin sering
seseorang diekspos media, maka akan semakin tinggi popularitasnya.
Sementara, syarat untuk dapat tampil di media massa, saat ini tidaklah
sulit. Dengan kekuatan uang, media memberi ruang untuk sang kandidat
beraksi di medianya. 
Lalu diumbarlah janji-janji, jika mereka
nanti terpilih. Mulai dari biaya pendidikan gratis, lapangan pekerjaan
yang luas, jaminan keamanan, hingga harga sembako murah.
Pernyataan-pernyataan membuai ini, diharapkan akan direkam dalam alam
bawah sadar rakyat. Terutama mereka yang menghadapi kesulitan hidup.
Rakyat dibuat memiliki harapan baru akan masa depan yang lebih baik.
Walau demikian sikap pesimistis juga cukup menonjol. Dari pengalaman
beberapa Pilkada di daerah besar, seperti di wilayah Jawa, angka Golput
mencapai 30-40 persen. Fakta ini oleh banyak pengamat politik akan
menuju pada jumlah Golput yang mencapai 30 persen pada Pemilu 2009.
Namun demikian antusiasme masyarakat dapat dilihat di mana-mana. Hampir
setiap hari pembicaraan tidak akan terasa lengkap, jika tidak terkait
dengan pemilihan Presiden. Mereka mendiskusikan dan memberi penilaian
tentang masing-masing calon. Pertanda apakah ini bagi proses
demokratisasi di negeri ini? 
Sejarah lembaga kepresidenan di
Indonesia memang cukup unik. Perolehan kekuasaan hingga jatuhnya,
didapat melalui peristiwa-peristiwa politik yang abu-abu.  Jika di
negara-negara lain, terpilihnya presiden berdasarkan Pemilu, atau
dengan jalan kudeta, maka di Indonesia sulit untuk mengatakan, bahwa
pemilihan Presiden selama ini berdasarkan kedua cara tersebut,
terkecuali pada Pilpres 2004. Benar adanya, pada masa Orba Pemilu rutin
dilakukan di negeri ini. Namun, saat itu pemilu hanyalah alat untuk
melegitimasi kekuasaan Presiden Soeharto. Jika hendak ke belakang lagi,
Soekarno bahkan dipilih berdasarkan konsensus beberapa orang yang
mempersiapkan acara proklamasi kemerdekaan. 
Demikian juga
Soeharto, dia membuat surat pengunduran diri sebagai Presiden tanpa
menyentuh pertanggungjawabannya. Bahkan, saat pengunduran dirinya
berikut penunjukan BJ Habibie sebagai Presiden pengganti dilakukan di
Istana Negara. Hal tersebut menjadi tidak lazim dan bertentangan dengan
konstitusi, karena yang berhak mengangkat dan memberhentikan Presiden
pada masa itu adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (Pasal 3 Ayat 1 dan
Ayat 2 Ketetapan (TAP) MPR Nomor III/MPR1978 tentang Kedudukan dan
Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara/atau Antara
Lembaga-lembaga Tinggi Negara). Dalam TAP yang sama Pasal 6, dinyatakan
bahwa untuk mengangkat Wakil Presiden menjadi Presiden dibutuhkan suatu
sidang istimewa.
Hingga saat ini, TAP MPR Nomor III/MPR 1978 masih
belum dicabut. Namun secara konstitusional menjadi rumit untuk
dilaksanakan mengingat telah terjadinya amandemen terhadap UUD 1945.
Pasal 3 UUD 1945, menyatakan Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
menurut Undang-Undang Dasar.  
Perangkat Hukum
Adanya amandemen
tersebut, membuat posisi Presiden menjadi sangat kuat. Ingat saat
ramai-ramainya unjuk rasa menuntut mundurnya Megawati-Hamzah Haz karena
akan memberlakukan aturan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL), tarif
telepon dan Bahan Bakar Minyak (BBM) pada awal tahun 2003. Saat itu MPR
tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengakomodasi tuntutan rakyat.
Terlebih saat itu, para elite politik sudah teken kontrak untuk tidak
menjatuhkan pemerintahan Megawati hingga Pemilu 2004. 
Dengan tidak
lengkapnya perangkat hukum yang mengatur lembaga kepresidenan, akan
membuat kekuasaan Presiden menjadi dominan. Ditambah dengan legitimasi
yang didapat dari pemilihan langsung, Presiden terpilih dimungkinkan 
melakukan rekayasa politik di tingkat elite untuk mempermudah kontrol
terhadap kekuasaannya. Walau, tidak terjadi dominasi perolehan suara
pada Pemilu legislatif, konsolidasi kepentingan lebih mudah dilakukan
di tingkat elite.   
Dalam mengampayekan diri, para kandidat
Presiden telah menunjukkan kejanggalan dan kekonyolan politik. Layaknya
orang yang berdeklamasi, janji-janji untuk membangun bangsa ini
dilontarkan. Namun, apa yang mereka katakan, bisa jadi hanya akan
berbentuk harapan kosong bagi rakyat. Setidaknya ada tiga faktor
penyebab. Pertama, lembaga kepresidenan tidak sendiri dalam merumuskan
dasar Presiden bekerja. Kedua, belum disahkannya Rancangan
Undang-Undang Lembaga Kepresidenan (RUU LK). Hingga saat ini legitimasi
formal dari lembaga kepresidenan masih melekat di UUD yang tidak
memperinci tugas dan kewenangan Presiden.
Faktor ketiga, dalam
mengampayekan diri, sebagian besar kandidat tidak memperlihatkan
keberpihakan yang jelas.  Keinginan untuk memperoleh suara yang besar
membuat mereka memberikan harapan pada semua pihak. Padahal realitas di
masyarakat, banyak terjadi pertentangan kepentingan. Misalnya antara
pengusaha dengan buruh, masyarakat tani dengan produsen bahan-bahan
input pertanian dan lain sebagainya. Sementara kampanye mereka selalu
mengakomodasi semua kepentingan kelompok yang ada. 
Berbeda dengan
kampanye Pilpres di Amerika Serikat. Calon dari Partai Republik
menunjukkan perbedaan yang tegas dengan Partai Demokrat. Partai
Demokrat biasanya mengangkat isu tentang berbagai hal yang terkait bagi
kehidupan masyarakat golongan menengah ke bawah seperti, jaminan
sosial, lowongan pekerjaan dan lain sebagainya. Sedang Partai Republik
lebih melayani kepentingan para pemilik modal antara lain pajak yang
rendah serta politik bisnis luar negeri yang menguntungkan kepentingan
mereka.  Dari sana akan dijumpai diskusi yang seru, saat diadakan debat
antara calon Presiden (Capres).
Sedang di sini kita sulit menemui
perdebatan yang berkualitas antara kandidat, karena semuanya berharap
seluruh komponen masyarakat memilih mereka. Jika pada kampanye mereka
kebut-kebutan mengumbar harapan dengan memaksa rakyat sebagai
suporternya, maka ketika muncul pemenang, bisa jadi suporter yang
tadinya bersorak-sorai memberi dukungan akan terlindas karena lintasan
dan arah tujuan yang tidak jelas. Oleh karenanya, menjadi agenda yang
sangat penting untuk mendesakkan aturan main atau sistem kepemimpinan
di negeri ini, termasuk eksistensi, tugas dan wewenang lembaga
kepresidenan. Aktivitas ini lebih punya makna penting bagi arah yang
benar dari proses demokratisasi. 

Penulis adalah Manajer 
Program Pendidikan Politik Petani, FIELD Indonesia 
         
        
        








        


        
        


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke