http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009012721504528
Rabu, 28 Januari 2009 Fatwa MUI, Golput Haram? Gugun El-Guyanie Sekjen Lembaga Kajian Keagamaan dan Kebangsaan (LK3) PWGP Ansor DIY dan Ketua Yayasan Hasyim Asyarie, Yogyakarta Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan golput, tidak menggunakan hak pilih dalam Pemilu 2009, haram. Dalam terminologi fikih, haram itu terlarang. Mungkinkah masyarakat akan tunduk patuh pada fatwa MUI yang terkesan politis ini? Golput (golongan putih), jika ditengok dari akar historis, sebenarnya merupakan gerakan moral (moral forces) melawan rezim dikatator Orde Baru yang mencederai demokrasi. Golput (non-voting behaviour) di Indonesia muncul pertama kali dikomandoi Arief Budiman tahun 1971 atau sebulan sebelum pemilu. Arief Budiman dan para aktivis muda dan mahasiswa dengan lantang melawan kediktatoran Orde Baru yang memaksakan kehendak pada rakyat memilih Golkar, selaku kendaraan politik Soeharto dan kroni-kroninya. Saat itu pula Orde Baru melarang berdirinya PSI dan Masyumi sebagai representasi parpol Islam. Gerakan golput ini harus dibayar mahal karena 34 eksponen ditahan pemerintah Orba; untuk selanjutnya golput divonis haram. Setelah keran demokrasi terbuka pada era reformasi, golput pun menjadi fenomena yang muncul kembali. Dalam logika demokrasi, memilih atau tidak memilih adalah hak. Dalam perspektif ilmu hukum, hak (right) adalah peranan seseorang yang mempunyai sifat fakultatif. Memilih adalah hak politik warga negara yang by nature, mengandung arti legal or moral entitlement (authority to act). Ini mengandung kebebasan pemilik hak menggunakan atau tidak menggunakannya. Bukan kewajiban (duty) yang mengandung makna moral or legal obligation. Berbeda dengan kasus di negara tetangga Australia yang menganggap pemilu sebagai kewajiban. Di Indonesia, pemilu yang disebut-sebut pesta demokrasi bukanlah pesta yang melibatkan dan mewajibkan warga berduyun-duyun menggunakan hak pilih. Bahkan, di Amerika Serikat, dalam catatan sejarah hanya sekitar 30 persen warga yang menggunakan hak pilih kecuali pemilu tahun ini dengan tampilnya Obama sebagai presiden yang mampu menjadi magnet bagi warga AS. Di negara adikuasa saja yang masyarakatnya paling modern, apatisme politik sangat tinggi. Apalagi negara semacam Indonesia yang kesadaran berpolitiknya terkalahkan oleh penderitaan dan bertumpuk kesengsaraan. Artinya, rakyat Indonesia tidak sempat berpikir tentang politik karena untuk berpikir cari makan saja susahnya minta ampun. Mungkinkah Pemilu Juli 2009 nanti golput akan menguat kembali? Pemilu 2004, jumlah golput mencapai 34 juta orang, jauh lebih tinggi dibanding dengan Partai Golkar selaku pemenang yang hanya memperoleh 24 juta suara. Jika berpijak pada fakta pilkada-pilkada di daerah, tentu kekhawatiran semacam itu bisa menjadi kenyataan. Pilkada Banten mencatat 40 persen golput. Pilkada Jawa Barat mencatat angka golput lebih dari 33 persen, Pilkada DKI Jakarta 35 persen, Kepulauan Riau 46 persen, dan yang paling fenomenal di Jawa Tengah, golput mencapai 69 persen (Hutabarat: 2008). Jika golput menjadi pemenang, yang terpilih adalah pemerintah yang tidak mendapatkan legitimasi dari rakyat. Dengan demikian, tidak memiliki kekuatan yang mengikat secara de facto, walaupun secara de jure sah-sah saja menjadi pemenang pesta demokrasi. Pemerintahan model inilah yang tidak stabil, berpotensi digoyang badai dahsyat, bahkan bisa diadang di tengah jalan oleh gerakan rakyat (people power). Lantas obat manjur apakah yang bisa dibiuskan pemerintah untuk mengadang golput? Pintu agama, melalui fatwa MUI yang mengharamkan golput, justru terkesan lucu. Bagaimana tidak, urusan politik yang sekuler mau dicampur adukkan dengan urusan-urusan agama yang transenden dan sakral. Bukan saatnya lagi pemerintah bertindak bodoh, juga para politisi yang berambisi dipilih, dipuja-puja, menggunakan dalil-dalil agama mencari legitimasi kepentingannya. Mungkin pendapat ini akan dituduh sebagai pendapat yang menjunjung tinggi nalar sekulerisme yang memisahkan agama dan negara. Namun harus disadari, dalam rangkaian panjang sejarah politik, ketika agama menjalin perselingkuhan konspiratif dengan kekuasaan, alhasil adalah kehancuran. Kepentingan kekuasaan yang dilegitimasi dalil-dalil agama, akan menjadi model teokrasi yang semena-mena. Sebaliknya, teologi keagamaan yang semula berdiri dalam posisinya yang sakral, yang melegitimasi kekuasaan dengan semena-mena, akan berubah menjadi agama palsu (pseudo-religion). Dalam konteks ini fatwa agama yang mengharamkan golput akan semakin dicaci maki banyak orang. Warga negara kita, perlahan-lahan akan mengalami pendewasaan. Baik agama maupun politik, minimal sudah bisa memilah dan memilih dengan cerdas. Tidak semua tokoh agama akan mendukung fatwa haram untuk golput. Hanya ulama-ulama yang berdekat-dekatan dengan kekuasaan yang berani lantang mengharamkan golput, apapun landasan naqliyah dan aqliyah-nya. Sementara itu, ulama yang berada dalam habitus yang murni, tetap menghargai bahwa golput adalah hak atau bagian kebebasan yang dijamin syariat agama juga. Sebagaimana juga agama menjamin kebebasan untuk memilih agama sesuai dengan keyakinan, walaupun Tuhan telah menunjukkan yang paling diridai di sisi Allah hanyalah Islam. Dalam konteks konstitusional, jika hukum negara mewajibkan warga memilih dalam pemilu, itu akan mencederai hak asasi manusia. Hak asasi yang paling asasi salah satunya adalah hak memilih ataupun tidak memilih. Memang demokrasi akan kehilangan legitimasi jika pintu pemilu sudah tidak lagi memberikan harapan. Demokrasi bukan hanya disimbolkan dengan adanya pemilu, ada parpol, atau ada wakil rakyat. Itu namanya demokrasi prosedural. Demokrasi yang substansial bukan semata-mata mementingkan prosedur, tapi juga substansi. Artinya jika ada pemilu, ada parpol, ada wakil rakyat, substansinya adalah keadilan, kesejahteraan, dan pencerahan baru. Buat apa ada pemilu, ada parpol, ada wakil rakyat, jika kehidupan bangsa masih tetap sengsara, tambah sengsara. Tenang sajalah bagi mereka yang sudah hakulyakin untuk memilih golput. Agama dan hukum negara sudah tidak ada masalah, sudah memberikan kebebasan. Hanya ada satu solusi untuk menarik kembali perhatian pemilih, yakni segera merubah moral politik para politisi yang berada di legislatif ataupun para pengurus parpol yang merepresentasikan partai politiknya. Rakyat sebagai konsituen bukan objek yang hanya dibutuhkan sebagai lumbung suara. Namun, ketika pemilu berlalu, suara tangisan rakyat yang menjerit karena BBM tak terjangkau, sekolah mahal, krisis pangan, tidak ada yang menghiraukan. Jika partai-partai peserta Pemilu 2009 hanya berorientasi kepentingan partainya atau calon anggota legislatif adalah aktor lama yang bejat moralnya, lantas partai mana dan calon mana yang harus dipilih. Maka golput menjadi pilihan di antara berbagai pilihan. [Non-text portions of this message have been removed]