Jumat, 2009 Januari 23 
PEMILU DAN KEADILAN BAGI PAPUA 
Oleh: Arkilaus .B
Tiga
hal yang krusial dan menyatukan beragam pandangan berbeda dalam sikap
terkini bagi pilihan rakyat di Tanah Papua terus menyatakan
keberpihakan atas ketidakadilan yang terus dialami tanpa sebuah
perubahan positif. Kenyataan pahit diantaranya diawali dengan masuknya
Perusahaan Amerika yang ter-jebloskan oleh Rezim Otoriter Orde Baru
diawal tahun 1967 sampai sekarang belum terasakan keadilan atas
kehadiran PT. Freeport Indonesia. Rantai kemiskinan, Pemblokiran
hak-hak masyarakat Papua dalam kebebasan dan kemerdekaan secara politik
dan kekuasaan atas tanah tak lagi seperti dahulu sebelum masuknya FI.
Konflik berkepanjangan menjadi barometer terkini, Timika adalah salah
satu medan konflik terbesar yang tiap tahunnya tak luput dari bencana konflik. 
Tragis,
rasa ketidakadilan orang Papua yang telah terkoyak akibat ekspansi
multinasional kooporat Amerika, kemudian belum juga menemui rasa
keadilan dan kedamaian, kini tuntutan kebebasan rakyat Papua
diperhadapkan lagi dengan BOM waktu pemusnahan peradaban Orang Papua.
Ya, Delapan Tahun perjuangan menjalankan Otsus di Tanah Papua tatkala
menyuburkan praktek ketertindasan pasar ( kapital ) atas suprastruktur
peradaban orang Papua yang telah hidup sejak leluhurnya. Bayangkan,
keberpihakan Otsus sudah faktanya meniadakan elemen roh Bangsa Papua
dan Otsus Papua menyelenggarakan sistem pasar modern. Suatu keniscayaan
murahan yang terus dianggap sebagai bentuk solusi mengatasi
ketertinggalan orang Papua. Wacana Otsus bagi putra Papua hanlah
sentimen murahan yang tak dapat dibuktikan. Adalah pembunuhan ruang
kebebasan orang Papua murni praktek-praktek otsus selama ini. Peradaban
Papua terus dihancurkan “terpukul mundur” oleh sabotase keberpihakan
birokrasi Indonesia atas kaum borjuasi modal. Supermarket berdiri megah di 
Papua, penduduk
Asli Papua merana di pinggiran dan samping supermarket guna menjajakan
jualan hasil pertaniannya.
Begitu juga, partisipatif rakyat Papua sejak di caplok kedalam Negara Kesatuan 
Republik Indonesia,
sudah banyak keikutsertaan orang Papua dalam proses Pemilihan Umum.
Dari proses pemilihan umum yang diikuti rakyat Papua sudah secara aktif
ikut memilih lima kandidat presiden. Apa yang didapat? Suharto meniadakan hak 
orang Papua
untuk menentukan hak secara bebas terkait proses penambangan di Timika
oleh Freeport Amerika. Tat kala juga Daerah Operasi Militer ( DOM )
berlaku di Papua. Era Gusdur memulai babak baru Papua dengan
mengembalikan Irian Jaya menjadi Papua. Sayang, komunitas Indonesia anti atas 
keberpihakan Demokrasi bagi orang Papua. Era Megawati, Tokoh
Papua, Alm. Theys Hiyo Eluay terbunuh berbarengan dengan terbunuhnya
aktivias HAM Indonesia-Alm. Munir. Susilo Bambang Yudhoyono kemudian
menang telak suara di Papua. Sudah ada satu Peraturan Presiden “
PERPRES No.77” menjadi kado penanganan Papua selain Otsus. SBY kemudian
menyelenggarakan prospek pendekatan persuasif dimana supratsruktur
demokrasi rakyat Papua ter-blokade atas rentetan rekayasa instrumen
hukum yang benar-benar bertentangan dengan semangat demokrasi
universal. 
Kini,
membanjirnya partai baru-bercokol dengan partai lama, pemimpin
baru-ber-onani kebijakan dengan pemimpin lama, semua bersandiwara atas
penyelesaian Papua dan demokrasi di Indonesia dan Papua. Tetapi, tatkala 
perjuangan menyelesaikan konflik keadilan
dan martabat rakyat Papua atas berbagai belenggu ketidakadilan kemudian
menjadi tontonan biasa bagi para elite. Jakarta cenderung melempar batu ke alit 
lokal Papua, sedangkan elite Papua terus di penggal lehernya oleh Jakarta.
Bentuk kordinasi buruk semacam ini terus menjauhkan keberpihakan akan
keadilan bagi orang Papua. Mentalitas penyelenggaraan sistem kapitalis
di Indonesia benar-benar menyembah kaum imperialis semata dengan mengorbankan 
rakyat sebagai konsekwensi mempertahankan kedudukan nyata. 
Freeporttak mungkin menjajah Bangsa Papua dan Indonesia secara Keseluruhan jika 
aspek hukum bertaring. Kaum Otokrasi dari
kalangan militer, pemerintah dan intelektual ulung yang terus saja
menjual aset milik rakyat kepada kaum pemodal. Ikatan yang kokoh antara
pemodal, militer, intelektual dan politisi ber-mental mundur semakin
nyata menegaskan bahwa Otsus tak bisa berpihak bagi keistimewaan Papua
akibat didominasi kebijakan pasar internasional. Pemilu tak bisa
dijalankan, yang ujung-ujungnya menyedot energi rakyat semata untuk
mendukung antek-antek penindas. Begitu juga, Identitas orang Papua yang
kini menjadi demam otsus hanya akan menjadi sejarah, sebab privasi atas
Papua punya ruang bagi pasar internasional. Imperialisme atas Papua
menjadi musuh terkini yang terus menelan suprastruktur peradaban Papua.
Bayang-bayang kejahatan Freeport-Otsus dan Proses Pemilu, tiga hal yang
menonjol hari ini di Tanah Papua dan meyakinkan keberpihakan rakyat
Papua untuk tak lagi mampu menyatakan keberpihakannya. Pilihan atas
semuanya, adalah polemik dan jeritan getir orang Papua. Lumbung konflik
jangan dibiarkan, jawaban atas tuntutan perjuangan Nasional Papua
menjadi kebutuhan sekarang untuk di runding bersama demi
kemanusiaan-Demokrasi dan Kedaulatan Ekonomi maupun Politik sebuah
Bangsa..
Wilayah Baru hanya urus Pemekaran Birokrasi
Ada12 undang-undang pembentukan daerah baru pada 21 Juli 2008. Selain itu,
disahkan UU Nomor 35/2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1/2008 menjadi
UU tentang Perubahan atas UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua. Dalam regulasi itu disebutkan bahwa saat ini otsus
meliputi dua provinsi, Papua dan Papua Barat. Sebagai catatan, untuk
otsus di tiga provinsi (Papua, Papua Barat, dan Aceh), pemerintah
mengalokasikan dana otsus Rp 8,7 triliun pada 2009.
Berdasar hasil penelitian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan 
United Nations Development Program (UNDP) yang dirilis Juli 2008 menunjukkan 
kegagalan pemekaran. Sebab,
daerah-daerah hasil pemekaran tidak bisa berkembang, sebagaimana daerah
induknya. Riset itu dilakukan terhadap enam provinsi dan 72
kabupaten/kota di Indonesia selama 2002-2007. Terdapat empat bidang
kajian, yaitu ekonomi daerah, keuangan daerah, pelayanan publik, dan
aparatur di daerah.
Kenyataannya,
pertimbangan pemekaran sekarang menjadi bukan pertimbangan pelayanan
publik atau pemerataan pembangunan, tetapi kepentingan para pemodal
yang kemudian menggerakkan elite nasional dan elite lokal. Sebanyak 12
UU baru ditelurkan dalam sidang paripurna. Pada tahun ini, total telah
terjadi pembentukan 30 daerah baru. Dua kota dan 28 kabupaten.
Pemekaran paling banyak terjadi di Papua. Selama 2008 telah lahir delapan 
daerah baru. Disusul Sumatera Utara sebanyak lima daerah. Kemudian tiga daerah 
baru lahir di Lampung dan dua daerah
masing-masing di Sulawesi Utara dan Maluku. Provinsi-provinsi yang
memiliki satu daerah baru adalah Jambi, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, Kepulauan Riau,
Maluku Utara, Papua Barat, serta Bengkulu dan Banten. Dengan demikian,
di Indonesia sekarang terdapat 33 provinsi, 396 kabupaten, dan 93 kota.
Konsekuensi
pemekaran dengan mengutamakan pelebaran birokrasi ketimbang
mengutamakan kebijakan pasti atas masalah sosial dan ekonomi yang
dihadapi rakyat adalah membenarkan adanya infiltrasi kolonialis baru
bernama pemekaran. Peradaban Papua yang terang dan bertabat diharapkan
mampu di majukan dan peradaban Globalisasi nyata saat ini agar tidak
kemudian membiarkan kebijakan globalisasi meniadakan identitas pribumi
dan melegalkan hubungan multi-kapital semata. Jika demikian, politik
kesejahteraan dan kemandirian Bangsa hanyalah jargon.
Rekayasa Suaka 43 Warga bukti kemenangan Imperialis
Kebebasan
orang Papua sudah menjadi cita-cita berbagai elemen Bangsa. Cita-cita
dan semangat mendorong dinamika demokrasi di Papua nyatanya terus
diperhadapkan dalam agen pemukulan dan penguburan gerakan rakyat
semesta. Ranting kemerdekaan universal juga bernama Papua Barat, maka
tidaklah manusiawi, gerakan Papua Merdeka menjadi pilihan luar yang
dapat di dorong secara baik. Mengakibatkan sejumlah suprastruktur
rakyat Papua hanya rapuh dalam tatanan dan semangat keberpihakan akan
kemerdekaan rakyat.
Indonesia,
salah satu Negara Islam terbesar di Asia Tenggara secara institusional
“ belum ada UU “ telah melancarkan gerakan mendukung pentingnya
kemerdekaan bagi rakyat Palestine. Tetapi gerakan Papua Merdeka dalam
Negara Indonesia tak mampu dihadapi Indonesia.
Demokrasi-Kemerdekaan dan kebebasan adalah perjuangan-Nya Susilo
Bambang Yudhoyono terhadap rakyat di Palestina. Maka, perjuangannya
Papua merdeka tak boleh dilarang SBY juga. 
Eksplorasi imperialis Internasional dan Jakarta atas Bumi Papua mengedepankan 
sejumlah alat. Rekayasa kebijakan Aturan
anti demokrasi di Papua adalah dominasi berbagai kebijakan riil atas
rakyat Papua. Tidak hanya di Jakarta,
Jayapura dan Manokwari tiga wilayah politik yang dalam penanganan
masalah kerakyatan mengedepankan pemekaran birokrasi disbanding
keberpihakan atas kedaulatan orang Papua. 
Kalangan
radikalis Papua kadang salah kaprah. Cita-cita mengedepankan identitas
orang Papua tetapi kemudian menutup dada atas kebingisan kaum
kolonialis nyata di Papua. Bicara entitas Papua, tetapi komitmen
menuntaskan kasus Freeport tidak dapat di rasio dimanakah entitas Papua dan 
dominasi Kapitalisme atas Papua. 
Imperialisme
atas Papua adalah baying-bayang menakutkan dan menggetarkan publik.
Demokrasi dicaplok, gerakan dibunuh dengan pengalihan isu dan provokasi
merdeka yang tak beralasan. Perjuangan menempatkan Perusahaan Freeport yang 
nyatanya meniadakan sejumlah hak rakyat Papua, kepentingan politik
dan ekonomi orang Papua menjadi merana dan tak dapat didudukan secara
baik oleh sejumlah kalangan pemerhati. Dominasi modal itu, pembiayaan
atas gerakan rakyat imitasi menjadi keharusan perjuangan kaum
imperialis Papua.
Rekayasa menakjubkan adalah, Suaka politik 43 Warga Papua. Orang Papua ini 
diperalat Kapitalis Freeport yang bergerak dalam baju Papua merdeka kemudian 
memobilisasi gerakan suaka untuk bertujuan mengalihkan isu dari masalah 
Freeport yang sedang diperjuangkan orang Papua. Kasus Freeport dalam usaha
penyelesaiaan yang bermartabat, kemudian terpukul dengan kerja-kerja
suaka politik. Dinamika suaka menjadi kenyataan kebohongannya. Tak ada
output politik bagi kepentingan orang Papua dalam reaksi suaka. Yang
ada hanya sejarah pengakuan pemaksaan yang dilontarkan peserta suaka
yang telah pulang. “kami di tipu katanya ke Australia tuk Papua Merdeka, 
padahal sampai disana trada apa-apa” . Rintihan
semacam begini sudah banyak terjadi dan sejumlah kubu tak karuan
menyebutkan Papua Merdeka.
Agen anti demokrasi, mereka berjya dalam suprastruktur kolonialisme Jakarta, 
imperialism Global. Tiga dari LSM Lokal di Papua disinyalir didanai oleh Divisi 
Lima Badan Intelejen Negara Indonesia.
Empat dari Gerakan rakyat Papua merdeka, telah terkooptasi dalam
usaha-usaha mem-proyekaan Papua secara sistematis. Papua merdeka
menjadi tunggang-menunggang. Papua medeka menjadi alasan pengoperasian
kemanan dan legitimasi kehadiran milter di Papua. Apa yang berbeda dari
pejuangan Papua Merdeka sehingga terus saja kehadiran militer di
setujui…?
Broker
demokrasi dan kemerdekaan di Tanah Papua berada dalam garis melakukan
sejumlah agenda provokatif saja, usaha-usaha menyatakan kemerdekaan
dengan landasan suprstruktur rapuh. Budaya meng-kanalisasi Papua bebas
dari penjajahan sudah mulai matang. Demokrasi hanya jargon…Kemerdekaan
hanyalah ilusi dan persatuan menjadi gelora gerakan yang tak punya
ilham kemerdekaan sejati.
Pernyataan
demokrasi harus dibarengi dengan sikap dan mentalitas yang kokoh.
Kerapuhan kemerdekaan berawal dari keberpihakan patriot dalam menyuplai
dan mendukung dilakukannya usaha-usaha kanalisme demokrasi. Gelora
rekayasa suaka orang Papua, kini dilakukan terulang dengan bombardir
isu referendum Papua. Gerakan bikin takut orang Papua, meniadakan
prospek perjuangan riel. 
Produksi Luar Negeri berbendera Papua Merdeka “WPNA-WPCNL-IPWP”
Mau atau tidak mau, tiga nama diatas adalah sejarah organisasi yang katanya 
untuk Papua tetapi lahir di Australia, Vanuatu dan Inggris. Papua adalah 
wilayah yang dengan begitu luasnya, kehidupan
politik maupun aktivitas demokrasi bisa diminimalisir untuk menciptakan
ruang yang baik bagi dinamika gesekan politik bagi pembebasan rakyat. 
Frame
ideology tak ditemukan dalam peluncuran organisasi dimaksud. Sensasi
demokrasi, pemerintahan dan bombardir aspek Politik Papua dengan
Perjuangan Timur Leste itulah alasan sensasional didirikannya
organisasi berbaju Papua merdeka di luar negeri. Aspek social orang
Papua yang patronize mampu di olah dalam situasi keinginan membebaskan
diri mereka. Masyarakat yang haus akan kemerdekaan tak bisa dibatasi
dalam ruang-ruang kampanye nasib mereka. Tetapi, ini namanya pembodohan
demokrasi dan eksploitasi cita-cita kemerdekaan. Tangan-tangan
pendukung imoerialisme, haru dibatasi dalam ruang dan gerakan hari ini.
Gerakan Universal mengiyakan kemerdekaan. Jamannya imperialism tak
dibolehkan bersetubuh dalam ranah kemerdekaan rakyat. Hentikan
perjuangan merdeka yang terus larut dalam ruang imperialis itu…
pastikan kemenangan rakyat secara mutlak, jauh dari imitasi demokrasi
dan kanalisasi merdeka. 
Globalisasi
sudah nyata meniadakan suprastruktur orang Papua-Supermarket berdiri
megah, Petani Papua merana dipinggiran Jalan dan dibawah pertokoan
tanpa ruang dan kesempatan baginya dengan penyediaan pasar tradisional.
Begitu juga, bombardier Refrendum bagi Papua pasca IPWP di Inggris
mengumpulkan sejumlah aktivis berkeliaran di Taman Makam Theys di
Sentani Papua. Pemerintahan Transisi oleh WPCNA di Australia sekian
aktivis ditahan di Manokwari. Dan perjuangan menggolkan rezim
pemerintahan di Vanuatu melahirkan WPCNL. 
Apa
yang terjadi?. Gerakan-gerakan produksi luar negeri meniadakan gerakan
dalam negeri Papua. Sejumlah gerakan Papua terkooptasi dengan agen-agen
imperialis internasional berwajah Papua. Freeport terus Berjaya dengan 
gagasan-gagasan kapitalisme atas Tanah Papua.
Terus menguasai pasar, menguasai lahan orang Papua, terus menguasai
emas dan tembaga orang Papua. Kantong-kantong kehidupan orang Papua
sudah bergeser dan berada dalam tangan kaum kapitalis internasional.
Papua begitu luas daerahnya, rakyatnya terpukul mundur mendiami
pedesaan dan pinggiran. Ruang-ruang perkotaan adalah asset dominasi
pasar “capital”. Kenyataan Negara yang berpihak pada kepentingan
imperialism menghancurkan suprstruktur rakyat. Dinamika ini sudah
dijalankan dalam periode pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Tujuh puluh Lima 
persen ( 75% ) penduduk Papua adalah tertinggal secara ekonomi dan
akses kebutuhan pasar. Negara merdeka adalah kebutuhan menumbuhkan
keberpihakan terhadap rakyat. 
Tatanan
ekonomi dan politik rakyat sebagai roh bagi kemakmuran dan keadilan
yang diperjuangakan negara. Dinamika sosial dan ekonomi menjadi pilhan
fital yang harus dibangun berdasarkan etika kemakmuran dan
kesejahteraan yang handal. Meniadakan proses akumulasi sosial sama saja
membuang bahkan memukul mundur keyakinan keadilan dan kemerdekaan yang
harus di gapai. Rakyat merdeka, mandiri dan makmur adalah tujuan dari
pendirian sebuah negara, pemerintahan dan teritori tertentu. Sehingga
Pemekaran, Otsus dan Tuntutan Papua Merdeka jika tidak punya landasan
kuat yang memiliki keyakinan keadilan ekonomi dan politik maka harus
diruntuhkan secara pasti. 
Arkilaus Arnesius Baho, Lahir 27 April 2982 di Yaksoro Kabupaten Sorong Selatan 
Tanah Papua
Diposkan oleh MEJA PAPUA BARAT
 
__________________________________

SATU LANGIT-SATU MATAHARI-SENASIB 
___________________________________

Email: 
Arki
Desk Papua Barat
Desk Gmail
Bloger

***

DIATAS BATU INI SAYA MELETAKAN PERADABAN ORANG PAPUA, SEKALIPUN ORANG MEMILIKI 
KEPANDAIAN TINGGI, AKAL BUDI DAN MARIFAT TETAPI TIDAK DAPAT MEMIMPIN BANGSA 
INI, BANGSA INI AKAN BANGKIT DAN MEMIMPIN DIRINYA SENDIRI.
( Pdt. I.S.Kijsne Wasior 25 Oktober 1925 )



      Terhubung langsung dengan banyak teman di blog dan situs pribadi Anda? 
Buat Pingbox terbaru Anda sekarang! http://id.messenger.yahoo.com/pingbox/

Reply via email to