http://www.republika.co.id/berita/34662/Islam_Pelopor_Revolusi_Hijau_Abad_Pertengahan


*Islam Pelopor Revolusi Hijau Abad Pertengahan*

Era keemasan Islam yang berlangsung dari abad ke-8 M hingga 13 M begitu
banyak meninggalkan warisan bagi peradaban manusia. Dalam masa kejayaannya,
umat Islam ternyata telah berhasil melakukan transformasi fundamental di
sektor pertanian yang kini dikenal sebagai Revolusi Hijau Abad Pertengahan
atau Revolusi Pertanian Muslim.

Kala itu, para saudagar Muslim di sepanjang 'dunia tua' yakni Eropa, Asia,
dan Afrika sebelum abad ke-15 M , mampu membangun perekonomian global.
Revolusi hijau telah memungkinkan beragam tanaman berikut teknik bercocok
tanamnya menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam. Pada era itu, berbagai
teknik serta penyebaran berbagai hasil pertanian dari luar dunia Islam dapat
dengan mudah diadopsi.

Umat Islam pada abad pertengahan juga telah menjadi pelaku utama globalisasi
hasil pertanian. Ketika itu, tanaman asal Afrika seperti gandum, buah jeruk
khas negeri tirai bambu Cina, serta sejumlah tanaman asli dari India seperti
buah mangga, beras, kapas, serta gula tebu ternyata dikembangkan dan
didistribusikan melalui tanah-tanah yang dikuasai Islam.

Lalu bagaimana globalisasi dan revolusi hijau itu berawal? Cikal bakal
globalisasi sudah mulai terbentuk ketika Dinasti Islam menjadi pusat
peradaban dunia dan Islam berada dalam era keemasan. Ketika itu,
pengetahuan, perdagangan dan perekonomian dari berbagai wilayah yang awalnya
terisolasi mulai menjalin kontak dengan para penjelajah, pelaut, sarjana,
saudagar, serta wisatawan Muslim.

Beberapa kalangan menjuluki periode itu sebagai Pax Islamica atau 'Era
Penemuan Afro-Asiatic'. Para saudagar serta penjelajah Muslim yang
mengarungi 'dunia tua' mulai membangun cikal bakal perekonomian global.
Jaringan perdagangan pun berkembang luas di Asia, Afrika, serta Eropa. Jalur
perdagangan kala itu sudah menyebar dari Samudera Atlantik dan Laut
Mediterania di bagian Barat, menuju Samudera India dan Laut Cina di bagian
Timur.

Berkembangnya perekonomian global pada abad pertengahan didukung oleh
berdirinya Dinasti Islam, seperti Khalifah Rasyidin, Umayyah, Abbasiyah,
serta Fatimiyah. Sebab, pada masa dinasti itu berkuasa, pemerintahan Islam
menjadi kekuatan ekonomi terkemuka dan terbesar dari abad ke-7 M hingga abad
ke-15 M.

Guru besar sejarah abad pertengahan Prof Thomas F Glick menuturkan, revolusi
pertanian Muslim ditandai dengan munculnya varietas tanaman-tanaman yang
baru serta dibangunnya jaringan irigasi yang luas dan intensif. ''Pada masa
itu, petani Muslim bisa menanam tanaman sebanyak tiga sampai empat kali
dalam setahun di atas lahan yang awalnya hanya bisa ditanami sekali
setahun,'' ungkap Glick.

Seiring berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di pusat-pusat pemerintahan
Islam, para sarjana dan petani Muslim mulai mengembangkan inovasi di bidang
pertanian. Seperti diungkapkan Glick, umat Islam pada era itu sudah
mengembangkan sistem rotasi tanam dengan cara modern. Dengan mengetahui
karakteristik tanaman serta tanah, para petani pada saat itu bisa memanen
hasil pertaniannya lebih banyak dan lebih sering. Dr Zohor Idrisi dalam
tulisannya berjudul The Muslim Agricultural Revolution mengungkapkan, para
saudagar yang menjelajah dunia selalu pulang membawa bibit tanaman.

''Kebanyakan tanaman yang bernilai guna, seperti tebu, pisang, dan kapas
membutuhkan air,'' papar Idrisi. Untuk menanam bibit tanaman yang dibawa
dari berbagai wilayah itu, para petani Islam ketika itu membangun sistem
irigasi buatan yang luas. Tak heran, jika irigasi buatan lebih dikenal di
dunia Islam, ketimbang di Eropa. Apalagi, pada era itu pemerintahan Islam
sangat mendukung pembangunan di sektor pertanian. Maka, jaringan dan saluran
irigasi pun dibangun untuk mengairi kebun dan sawah. Pembangunan pertanian
yang dilakukan umat Islam dikembangkan berdasarkan pendekatan ilmiah.

Hal itu terlihat dari tiga elemen utama penunjang pertanian yakni; sistem
pola tanam yang mutakhir, teknik pembangunan irigasi yang tinggi, serta
munculnya beragam varietas tanaman yang disertai dengan katalog berdasarkan
musim, tipe tanah, dan jumlah air yang dibutuhkan. Para sarjana pertanian
Islam juga mampu menyusun sejumlah ensiklopedia pertanian dan ilmu
tumbuh-tumbuhan atau botani. Salah seorang sarjana pertanian Muslim yang
banyak memperkenalkan dan menemukan tanaman baru adalah Ibn Al-Baitar.

Pada awal abad ke-9 M, sistem pertanian modern telah menjadi sentra
kehidupan ekonomi dan organisasi dalam dinasti Islam. Kekhalifahan Islam
menggantikan peran Roma sebagai eksportir produk pertanian. Selama revolusi
pertanian Muslim, pengolahan gula mulai diproduksi secara besar-besaran.
Penggilingan dan perkebunan gula dalam skala besar bermunculan.

Sejumlah kota di 'Timur Dekat' seperti Anatolia, Yordania, Syria and
Lebanon, Georgia, Armenia, Mesopotamia, Afrika Utara, dan Spanyol didukung
dengan sistem pertanian yang ditopang irigasi yang luas berbasis pengetahuan
hidrolik dan prinsip-prinsip hidrostatis. Sistem irigasi juga digerakkan
dengan sistem yang canggih seperti noria, pemutar air, dam, serta waduk.
Pada era keemasan Islam, penguasa juga memberikan insentif bagi para pemilik
lahan serta para petani penggarapnya. Dinasti Islam pada masa itu mengakui
kepemilikan pribadi dan hasil panen dibagi dengan para penggarapnya.
Sementara Eropa masih menerapkan sistem budak di pertanian dan perkebunan.

Pada zaman kejayaan Islam berlangsung transformasi sosial melalui perubahan
kepemilikan lahan. Setiap orang, perempuan atau laki-laki dari berbagai
etnis serta agama memiliki hak untuk membeli, menjual, menggadaikan, serta
menyewakan lahan untuk pertanian atau keperluan lainnya. Setiap kesepakatan
dalam pertanian, industri, perdagangan dan ketenagakerjaan harus disertai
dengan kontrak. Kedua belah pihak harus memegang kontrak itu. Demikianlah
Islam menjadi pelopor revolusi hijau dan globalisasi hasil pertanian di abad
pertengahan.



Islam dan Pertanian


Pertanian atau bercocok tanam mendapat perhatian penting dalam ajaran Islam.
Sejak 14 abad silam, Islam telah menganjurkan umatnya untuk bercocok tanam
serta memanfaatkan lahan secara produktif. Tak hanya itu, Rasulullah Saw
juga telah mengajarkan tata cara sewa lahan serta pembagian hasil bercocok
tanam.

Berikut ini adalah beberapa Hadits Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan
umatnya untuk bercocok tanam:
* Dari Jabir bin Abdullah RA, dia bercerita bahwa Rasulullah Saw bersabda:
"Tidaklah seorang Muslim menanam suatu tanaman melainkan apa yang dimakan
dari tanaman itu sebagai sedekah baginya, dan apa yang dicuri dari tanaman
tersebut sebagai sedekah baginya dan tidaklah kepunyaan seorang itu
dikurangi melainkan menjadi sedekah baginya." (HR Imam Muslim)
* Dari Anas bin Malik RA, Rasulullah Saw bersabda: "Tidaklah seorang Muslim
menanam pohon, tidak pula menanam tanaman kemudian hasil tanaman tersebut
dimakan oleh burung, manusia atau binatang melainkan (tanaman tersebut)
menjadi sedekah baginya." (HR Imam Bukhari). Kedua hadits itu menunjukkan
betapa bercocok tanam tak hanya memiliki manfaat bagi seorang Muslim saat
hidup di dunia. Bertani atau bercocok tanam juga memberi manfaat untuk
kehidupan di akhirat kelak. Sebab, tanaman yang dikonsumsi dan menjadi
sumber kehidupan bagi manusia, hewan dan burung akan menjadi sedekah bagi
orang yang menanamnya.



Kontribusi Petani dan Sarjana Pertanian Muslim


''Dengan penuh kecintaan terhadap alam dan kehidupan, masyarakat Islam
klasik telah mencapai keseimbangan ekologi,'' papar Lucie Bolens, ilmuwan
yang intens mempelajari sejarah pertanian Muslim. Sayangnya, keseimbangan
ekologi yang diciptakan umat Islam melalui Revolusi Hijau-nya dihancurkan
pasukan Mongol hingga tentara Perang Salib (Crusaders).

Invasi yang dilakukan Mongol hingga tentara Perang Salib telah menghancurkan
jaringan irigasi, memusnahkan tumbuh-tumbuhan serta tanaman serta menutup
rute perdagangan. Keseimbangan ekologi terus tergerus ketika era
kolonialisme melanda dunia. Ekologi pun semakin hilang keseimbangan,
terutama di era industri saat ini.

Sarjana pertanian dan petani Muslim di abad pertengahan tak hanya
mengajarkan bagaimana keseimbangan ekologi dibangun, namun juga banyak
memperkenalkan beragam inovasi di bidang pertanian. Mereka memperkenalkan
bentuk-bentuk baru kedudukan lahan, memperbaiki irigasi dengan beragam
metode irigasi yang mutakhir. Petani Muslim juga memperkenalkan pupuk serta
sistem irigasi buatan.

Para petani dan sarjana pertanian Muslim juga mengembangkan sistem irigasi
gravity-flow dari sungai dan mata air. Umat Islam pula yang pertama
menggunakan noria dan rantai pompa untuk irigasi. Industri gula tebu dan
perkebunan tebu juga merupakan rintisan petani dan sarjana pertanian Muslim.

Era kejayaan pertanian Islam juga telah melahirkan ilmuwan Muslim yang
meletakan fondasi ilmu pertanian, seperti agronomi, botani, serta ilmu
lingkungan. Salah satu ilmuwan pertanian Islam yang terkemuka adalah Abu
al-Abbas al-Nabati - gurunya Ibnu Al-Baitar. Ahli sejarah George Sarton
mengungkapkan, ''Catatan-catatan Al-Baitar adalah karya terpenting dalam
dunia tumbuhan dari seluruh periode kejayaan ahli botani, mulai dari masa
Dioscorides sampai abad ke-16." Catatan Al-Baitar menyerupai kamus atau
ensiklopedia lengkap tentang tumbuh-tumbuhan.

Dalam Kitab al-Jami fi al-Adwiya al-Mufrada, Al-Baitar menuliskan 1.400
macam tanaman, makanan dan obat-obatan. Sebanyak 300 di antaranya ditemukan
sendiri. Kitab itu begitu berpengaruh di Eropa setelah diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin serta masih digunakan hingga abal abad ke-19. Salah satu
tokoh lainnya adalah Al-Dinawari, ahli botani di abad ke-9 merupakan pendiri
botani Arab. Dia menulis sebuah ensiklopedia berjudul Kitab al-Nabat atau
Book of Plants, yang terdiri dari enam volume. Itulah sebagain kontribusi
Islam dalam bidang pertanian.


Penulis : heri ruslan
REPUBLIKA - Senin, 18 Februari 2008


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to