http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=7802:fatwa-mui-di-berbagai-perspektif&catid=77:tajuk-rencana&Itemid=138
Fatwa MUI di Berbagai Perspektif Oleh : M. Syukri Albani Nst, SH.I, MA Akhirnya ditetapkan juga Ijtima' ulama Indonesia di awal tahun 2009 ini tentang beberapa hal diantaranya fatwa tentang merokok, fatwa tentang aborsi dan fatwa tentang Golput dalam pemilu. Menarik sekali untuk dikritisi lebih jauh sebab, nuansa kelahiran ijtima ulama ini berkaitan erat dengan nuansa politik keindonesiaan. Tahun 2009 ini akan diadakan Pemilu legislative dan Presiden, di tahun 2009 ini pula isu krisis ekonomi global mencuat. Sehingga banyak analisis berbagai kalangan mendekatkan kelahiran ijtima' ulama Indonesia ini sarat dengan nuansa politik. Apapun pendekatan analisisnya, penulis lebih merasa penting melihat kontribusi yang dilahirkan pasca ijtima' ulama ini. Menghangatnya pembahasan tentang ijtima' ulama Indonesia ini juga tidak akan lekang dari peran ulama ditengah-tengah masyarakat, berkaitan pula dengan penilaian masyarakat terhadap kondisi ulama di Indonesia yang disandingkan dengan sejarah yang ada. Meski ada nuansa yang cenderung tidak sehat, namun, fatwa-fatwa ulama Indonesia ini tetap menjadi perhitungan dikancah politik dan ekonomi. Meskipun secara tegas dinyatakan bahwa fatwa ulama Indonesia ini bukan sebuah legislasi hukum yang mengharuskan rakyat Indonesia mengikuti dan mematuhinya. Bahkan fatwa ulama Indonesia ini juga tidak mengharuskan umat Islam Indonesia untuk mengikutinya secara konstitusional, karena ia tidak termasuk dalam hirarki hukum dan perundang-undangan. Kepatuhan masyarakat, khususnya umat Islam Indonesia hanya terkait dengan nilai-nilai kepatuhan dalam aturan keislaman. Jika kita kembali menggelitik pemahaman sejarah kita, bahwa Nahdlatul Ulama sebagai Organisasi masyarakat juga pernah " tergoda " untuk ikut serta dikancah politik praktis, hingga mencuatlah statement bahwa NU harus kembali ke-khittahnya sebagai organisasi kemasyarakatan dan keummatan. Begitu juga dengan situasi yang berkembang saat ini. Kekhawatiran yang mendalam menjadi timbul, manakala ijtima' ulama Indonesia ini didekatkan dengan nuansa politik yang berkembang. Seperti komentar yang menjelaskan tentang haramnya Golput. Pertanyaan yang timbul adalah mengapa baru sekarang difatwakan tentang golput ( tidak memilih). Padahal, jika kita lihat kecenderungan masyarakat Indonesia untuk golput sejak pemilu lalu di tahun 2004 memang sudah mencapai diatas 30 persen. Setelah itu, banyak pilkada yang diadakan di berbagai daerah di Indonesia yang juga tidak jauh angka golputnya disekitar 30 persen keatas. Apakah memang selama dari tahun 2004 MUI tidak melihat indikasi ini sehingga menganggap penting fatwa tentang Golput. Secara umum, isi ijtima' ulama Indonesia yang diadakan di Padang Panjang Sumatera Barat di awal tahun 2009 ini memiliki 3 materi bahasan. Pertama, fatwa tentang rokok. Yang akhirnya para ulama Indonesia mengeluarkan fatwa bahwa haram merokok bagi wanita hamil, anak-anak dan anggota MUI. Haram juga merokok di tempat umum. Kedua, fatwa tentang aborsi yang isinya, bahwa tidak boleh melakukan aborsi kecuali bagi kehamilan yang tidak dikehendaki (hamil korban perkosaan) dan aborsi tersebut juga dilakukan sebelum usia kandungan 40 hari. Ketiga, fatwa tentang golongan putih (Golput). Dalam hal ini MUI menyepakati bahwa haram golput dalam kondisi dan pertimbangan apapun. Meskipun yang akan dipilih itu tidak ada yang baik dan terpercaya, maka wajib juga memilih yang paling minimalis tingkat kesalahannya. Ada beberapa pendekatan yang bisa kita amati terkait dengan fatwa MUI ini. Dari sudut politik, mungkin bisa saja fatwa ulama ini sangat sarat dengan kepentingan (ini yang dikhawatirkan). Sebab politik pada akhirnya bisa membenarkan beberapa cara. Untuk meminimalisir kecenderungan golput melalui dongkrakan fatwa MUI. Isu golput yang disuarakan Gus Dur dan pengikutnya untuk pemilu 2009 ini diramalkan memang memiliki pengaruh yang besar bagi perjalanan pemilu yang efektif di Negara ini, bagaimana tidak, komunitas NU-nya Gus Dur yang sangat membludak di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Timur akan menjadi nominal besar yang akan hilang jika angka golput diminimalisir. Yang akan kebakaran jenggot adalah partai-partai besar yang sudah punya budget suara, dan sebagian partai kecil yang masih pede bisa mengemis suara berharap tumpahan suara dari partai partai besar itu. Analisis sederhana lainnya, bisa saja memang ada "calon" yang memang sudah dicanangkan untuk menjadi the next President. Sehingga dulangan suara harus maksimal dengan pendekatan keagamaan (semoga tidak). Bahayanya banyak pendekatan dalam menanggapi isu-isu yang dikeluarkan oleh lembaga keagamaan menjadikan posisi lembaga keagamaan sebagai doping dari partai atau golongan tertentu termasuk pemerintah yang sudah punya 'ramalan" siapa yang akan menjadi pemimpin Indonesia kedepannya. Semoga apapun dampak politik yang terjadi, tetap akan memberi nuansa positif bagi perjalanan bangsa dan Negara ini dengan pendekatan nasionalis dan kesejahteraan rakyat. Dari sudut ekonomi, bisa saja lahirnya penguatan fatwa rokok haram yang semula makruh, menjadi haram dengan syarat-syarat tertentu menjadi denyut resah tersendiri bagi pengusaha tembakau, dan itu juga akan berkaitan erat dengan kondisi ekonomi Indonesia, berkaitan dengan tenaga kerja Indonesia yang sudah berada dipabrik-pabrik rokok di Indonesia ini. Maka tak salah jika Yusuf Kalla mengingatkan MUI agar mempertimbangkan perekonomian Indonesia jika menetapkan fatwa tentang rokok. Lagi-lagi MUI dihadapkan dengan idealisme fatwa dengan kondisi objektif perjalanan bangsa. Meski dalam penetapan fatwa harus punya pertimbangan maslahat-mudharat, namun ukuran besar kecilnya mudharat harus juga dilihat dari berbagai perspektif Perspektif kesehatan, perspektif kemajuan perekonomian bangsa, dan perspektif kestabilan bernegara. Mungkin, pengharaman rokok dengan berbagai keadaan dan syarat tertentu itu bisa jadi fatwa yang sudah cukup arif, mengingat pengharamannya tidak mutlak, mungkin dengan pertimbangan perjalanan ekonomi bangsa juga. Dari perspektif sosial kemasyarakatan, fatwa MUI tentang aborsi haram kecuali bagi kehamilan hasil perkosaan tampaknya memang menyahuti kondisi objektif perkembangan kemasyarakatan kita ini. Mengingat pergaulan bebas cenderung sudah menjadi kebiasaan baru bagi remaja bangsa Indonesia. Penekanan keharaman aborsi harus bisa menyikut pada praktek seks bebas (free sex) di Indonesia, tidak hanya sebatas pada memutus praktek aborsi illegal saja. Efektivitas penekanan tingkat free seks di Indonesia akan diuji pasca lahirnya fatwa MUI tentang aborsi ini, terlebih lagi pemerintah akan diuji konsistensinya untuk menekan tingkat kemudharatan yang datang diakibatkan ada kecenderungan mengabaikan dan bahkan melegalkan tempat-tempat yang punya indikasi seks bebas. Kita patut mensyukuri lahirnya fatwa MUI ini, ada secercah harapan subtansial yang terangkum, agar kiranya fatwa ini bisa menjadi titik awal bagi masyarakat Indonesia untuk mementingkan keutuhan bangsa kita ini. Apapun yang dilakukan, tetaplah harapannya dengan landasan nasionalisme, tidak organisasi, tidak kelompok, dan tidak pula kepentingan politik belaka. Masyarakat masih terlalu merindukan penghematan keinginan. Dengan jalan merealisasikan keinginan masyarakat. Keutuhan bangsa yang memiliki beban minimalis, yang memiliki masalah minimalis dan kegagalan dan kemiskinan yang minimalis pula. Semoga kita menjadi lebih arif dalam menyikapi usaha MUI untuk membuat bangsa ini lebih baik lagi kedepannya. Amin. *** (Penulis adalah Penulis Buku dan Dosen LB di IAIN Sumut Medan, email; syukri_alb...@yahoo.co.id This e-mail address is being protected from spambots, you need JavaScript enabled to view it ) [Non-text portions of this message have been removed]