Jawa Pos Selasa, 03 Maret 2009 ]
Setelah Pemilu, Bumi Nusantara Masuk ''ICU'' Caleg sebagai Produsen Sampah Oleh Suparto Wijoyo * PEMILU sebentar lagi. Tanggal 9 April 2009 begitu keramat bagi pendewasaan demokrasi dan saat yang mendebarkan bagi kontestan pemilihan umum. Partai politik dan para calon anggota legislatif (caleg) yang lazim disebut caleg berlomba kian kencang dalam menjajakan diri. Mereka menulis dengan terang memohon doa dan dukungan dari siapa saja yang membacanya. Parpol dan caleg dalam bahasa paling jujur sekarang ini adalah pihak yang tergolong sebagai para pemohon untuk tidak mengatakan sang peminta-minta. Dalam dimensi pemilu, para parpol dan caleg sedang mendegradasikan diri menjadi ''sang pengemis'' suara publik. Lacurnya adalah bahwa sang peminta-minta itu terlihat tidak cukup percaya diri dengan ''mengemis'' secara mandiri, tapi bergerombol dengan mengajak ''nenek'' maupun ''kakeknya'' berikut handai taulannya yang menjabat ketua (pengurus) partai. Ya... sudahlah dan biarlah. Yang penting, rakyat menyadari bahwa dalam pemilulah rakyat benar-benar berharkat sebagai ''sang penderma suara''. Dalam kosmopolitan sosial yang demikian, pemilu harus dihayati sebagai media ''sedekah suara'' dari rakyat kepada parpol dan caleg. Rakyat tentu tidak akan berkeberatan untuk berbondong-bondong ke TPS nanti dalam koridor sedekah. Bukankah kita selalu teringat ucap sakti keagamaan bahwa tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Hal ini jelaslah, rakyat yang mencoblos atau mencontreng adalah pemberi sedekah politik yang kedudukannya akan ditinggikan oleh Tuhan dalam kerangka pemilu. Karena itu, tidaklah pantas bila parpol dan caleg mencoba berani untuk menepuk dada atau meninggikan suara melebihi dari kelapangan dada serta suara rakyat. Pastilah soal memasang gambar partai dan caleg adalah masalah metodologi untuk memperkenalkan diri. Untuk itulah, jangan sampai metode mengubah substansinya dengan implikasi terjauh mendistorsi rona keelokan pemilu. Menyebalkan Nah, dalam hal soal memasang-masang gambar itulah ada cuatan ekologis yang ekosistemik yang harus dipahami parpol dan caleg. Kita pasti pernah melihat dan menyaksikan dengan seksama di seluruh sendi geografis Indonesia. Gambar-gambar partai dan potret-potret caleg menyapa kita dengan keanggunan yang artifisial yang dibarengi polesan akrobatik maupun hiperbolik bahasa. Tulisan yang terbaca dalam iringan gambar partai dan caleg begitu bagus dalam kemasan yang marketable, meski terkadang sangan menyebalkan. Gambar-gambar partai dan caleg itu secara material ternyata banyak terbuat dari plastik atau bahan-bahan lain yang sulit terurai secara alamiah. Gambar-gambar tersebut tentu saja pada akhirnya memberikan beban berat kepada lingkungan untuk menguraikan secara normal. Plastik-plastik gambar partai dan caleg pada posisi pascapemilu akan menjadi sampah yang mengotori lingkungan hidup republik ini. Lingkungan hidup yang pada takdirnya memiliki daya lentur self-purification, tampaknya, akan kelelahan juga. Sampah plastik yang berasal dari gambar partai dan caleg dapat diprediksi berukuran jutaan meter panjangnya dan jutaan kilogram bobotnya. Secara simplistik, gampar partai dan caleg akan mampu ''mem-perban'' bumi pertiwi. Masuk ICU Alhasil, usai pemilu 9 April 2009, bisa diduga bumi Nusantara seolah masuk ICU dan menjadi pasien yang penuh perban sampah plastik. Betapa sakit dan menyedihkannya nasib lingkungan hidup negeri ini setelah menjalankan demokrasi sejati (direct-general-election). Sampah menumpuk dan menjadi beban lingkungan hidup. Bila pemerintah pusat melalui Kementerian Negara Lingkungan Hidup pada 25 Februari 2009 mencanangkan hari bebas sampah plastik, pasti stop plastik itu tidak bisa diindahkan oleh partai dan caleg. Itu menandakan bahwa partai dan caleg tidak bisa mengusung isu lingkungan secara signifikan tatkala gambarnya berbahan dasar plastik. Parpol dan caleg pada titik demikian adalah produsen sampah yang menurut bahasa MK dalam kasus pilgub Jawa Timur bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Hal itu berarti dalam kerangka pemilu, bisa diberlakukan UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Selanjutnya, penyidikan terhadap kasus demikian akan menarik dalam kaitannya dengan penegakan hukum lingkungan (environmental law enforcement) maupun penerapan prinsip EPR alias extended produce responsibility. Dengan EPR, kita bisa memberlakukan tanggung jawab produsen atas sampah yang dihasilkan. Inilah solusi konsepsional yang dapat diimplementasikan untuk mengatasi kompleksitas permasalahan sampah pascapemilu. Setidaknya, maukah partai dan caleg menarik kembali sampahnya seusai pencoblosan (masa tenang) dan mendaur ulangnya sendiri? Langkah itu sangat ekonomis dan membuka lapangan kerja daur ulang sampah bukan? Salam. *. Dr Suparto Wijoyo, dosen hukum lingkungan di Universitas Airlangga [Non-text portions of this message have been removed]