http://www.sinarharapan.co.id/berita/0903/25/kesra03.html

"Hura-hura" Menebar Benih Lewat Udara l 



JAKARTA - Program penebaran bibit tumbuhan melalui udara (aero seeding) sekilas 
menimbulkan semangat penghijauan yang membanggakan. Namun bila dikaji secara 
mendalam, program tersebut menjadi seperti hura-hura jangka pendek saja. 

Akhir tahun lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengajukan program progresif 
mengenai penghijauan. Dengan memanfaatkan pesawat C-212 Cassa, bibit-bibit 
tanaman akan disebar melalui udara. Intinya dengan program tersebut, 
penghijauan secara besar-besaran akan terlaksana dengan cepat dan efisien. 
Tanggal 11 Desember 2008, Skuadron Udara 4 Wing 2 Lanud Abd Saleh melaksanakan 
tugas tersebut di daerah Pegunungan Wilis, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. 
Bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Nganjuk, lima ton benih trembesi dan sengon 
buto disebar, karena kedua jenis pohon tersebut memang dikenal memiliki 
kemampuan yang sangat tinggi dalam menyerap karbondioksida-penyebab pemanasan 
global. 


Hasilnya, pada 5 Maret 2009 Menteri Kehutanan MS Kaban menyatakan belum bisa 
memantau hasil penghijauan melalui udara tersebut. Namun dari sebaran di tiga 
petak lahan yang disurvei sekitar 350 meter persegi, ditemukan 22 batang pohon 
sengon yang tumbuh. Jadi dalam jangka waktu tiga bulan, dengan lima ton benih 
menghasilkan 22 batang sengon tumbuh. Upaya tersebut tak merinci berapa besar 
biaya pemakaian pesawat, harga benih dan kontrol penghijauan.  Meskipun tak 
menguraikan ukuran parameter keberhasilan dari program tersebut, Jusuf Kalla 
kemudian tetap memutuskan program aero seeding dilakukan di beberapa tempat. 
Dana sebesar Rp 50 miliar-100 miliar untuk menjangkau 150.000-200.000 hektare 
lahan kritis di seluruh Indonesia kemudian disiapkan. Sejumlah provinsi yang 
menjadi target program ini antara lain Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, 
dan Sulawesi Selatan. 


Dalam kajian ilmiah, program penebaran benih lewat udara seperti ini memang 
dimungkinkan. Endang Sukara, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati di Lembaga 
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyatakan metode seperti itu sebenarnya 
sudah dilakukan di Indonesia secara tradisional sejak zaman dulu. "Seperti di 
Kupang, orang-orang sering menebar benih pohon kenari dengan menggunakan 
ketapel," ucapnya usai menutup acara Ekspose Hasil Penelitian Bidang Biologi 
mengenai Antisipasi Perubahan Iklim Global dan Kepunahan Aneka Ragam Hayati di 
Cibinong Science Center Bogor, Selasa (24/3). 


Program tersebut makin dimungkinkan bila melihat potensi tanaman yang dimiliki 
Indonesia, yang mencapai sekitar 7.000 jenis. Tinggal bagaimana memilah jenis 
benih yang akan disebar supaya bisa menghasilkan nilai maksimal, tambah Endang 
lagi. Seperti untuk daerah kapur atau karst, sebaiknya benih yang disebar 
seperti jambu mete dan kemiri. Sementara untuk pesisir sebaiknya ditanami jenis 
pohon kelapa, pilung dan mangrove. 


Penyebaran bibit dengan nilai ekonomi tinggi seperti ini yang seharusnya 
diutamakan, mengingat sampai saat ini program aero seeding kurang maksimal 
lantaran benih pohon yang disebarkan kurang memiliki nilai ekonomi bagi 
masyarakat. Selain itu, sistem penyebaran melalui udara membuat masyarakat 
merasa tak diajak untuk membantu program penghijauan tersebut. 

Tak Libatkan Masyarakat
Alokasi dana untuk membayar sewa pesawat dan pelaksana teknis di lapangan, juga 
perlu dikaji efisiensinya. Sementara bila melibatkan masyarakat untuk penanaman 
pokok tanaman, maka diperlukan 10-15 orang per hektare. Biaya borongan per 
hektare Rp 300.000-450.000.  Cara ini dapat menghemat biaya hingga 20 persen. 
Di sisi lain, masyarakat akan lebih antusias untuk mendukung program pemerintah 
ini. Jadi, pemerintah akan mendapatkan dua keuntungan besar, yaitu tercapainya 
sasaran program reboisasi dan pemberdayaan rakyat secara nyata. 


Sementara itu di sisi lain, Sarjiya Antonius, peneliti pupuk organik dari LIPI, 
juga menyatakan perlunya kontrol terhadap upaya aero seeding tersebut. Karena 
untuk bibit kayu besar untuk penghijauan, perlu dilakukan juga penebaran pupuk 
usai pembibitan atau penebaran. "Tergantung kadar karbon dari tanah tersebut. 
Namun dengan pupuk organik bisa tumbuh lebih baik dan aman bagi lingkungan 
pula," ujarnya pada kesempatan yang sama. Sementara dalam program aero seeding 
yang telah dilakukan, tak pernah dipaparkan apakah ada upaya kontrol tersebut. 
Lalu apakah upaya aero seeding hanya bentuk hura-hura, tanpa mengajak 
masyarakat untuk menjaga dan bersama meraih keuntungan dari lingkungan yang 
lebih baik? (sulung prasetyo)


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to