Pemilu Cek Kosong
(06 Apr 2009) 

Oleh: Saurip B Kadi

Di negara penganut paham demokrasi manapun, pemilu adalah sarana
transfer mandat untuk menjalankan kedaulatan (kekuasaan tertinggi dalam
mengatur negara) dari sang pemilik, yaitu rakyat kepada pihak yang
dipercaya. Maka prinsip dasar dalam pemilu, rakyat secara langsung
memilih dua hal yang dikemas dalam satu paket, yaitu program dan
kontestan/calon pemimpin. 

Sebagai program, sifatnya kuantitatif, terukur, lengkap dengan waktu
pencapaian, tidak hanya sasaran yang hendak dicapai tapi juga cara
mewujudkannya, sehingga rakyat bisa menagih. Bukan slogan-slogan apalagi
iklan-iklan seperti dagang shampo yang banyak kita saksikan di layar TV
akhir-akhir ini.

Di dunia ini, negara demokrasi memiliki dua model, yaitu sistem
parlementer dan sistem presidensial. Ada juga yang campuran seperti
Prancis, namun penggabungannya tetap menaati azas logika kedaulatan
rakyat yang tidak boleh didistorsi. Lain dengan Indonesia, yang
mencampur-adukkan keduanya, sampai logika kedaulatan rakyat jadi
semrawut dan alur pertanggungjawaban tidak jelas. 

Dalam sistem parlementer, program yang "dijual" dalam kampanye
pemilu adalah program partai. Program partai pemenang pemilu otomatis
dijadikan program kerja pemerintah. Karena dalam pemilu yang dipilih
rakyat adalah partai, maka partai pemenang pemilu yang membentuk kabinet
(kecuali tidak menang mutlak yaitu 50 persen + 1, maka kabinetnya
berbentuk koalisi agar dukungan suara di DPR menjadi mayoritas). 

Menjadi masuk akal, kalau dalam sistem parlementer Ketua Partai otomatis
menjadi calon Perdana Menteri. Karena mandat kedaulatan rakyat
diserahkan kepada partai, maka pengurus partai berhak mencopot anggota
DPR di tengah jalan dengan alasan politik sekalipun.

Sebaliknya dalam sistem presidensial, program yang ditawarkan dalam
kampanye adalah program sang Calon Presiden (Capres), bukan program
partai. Program Capres terpilih otomatis dijadikan program kerja
pemerintah. 

Dalam pemilu sistem presidensial rakyat langsung memilih Capres, maka
yang membentuk kabinet adalah Presiden Terpilih. Karena datangnya
legitimasi langsung dari rakyat, maka calon independen pun dalam sistem
presidensial juga diakomodasi. 

Dalam sistem presidensial, kabinet yang dibentuk adalah Kabinet Ahli
(Zaken), bukan kabinet partai apalagi gabungan partai warna-warni.
Menjadi wajar pula dalam sistem presidensial di manapun tidak dijumpai
Ketua Partai dicalonkan menjadi Capres, kecuali di Indonesia.

Begitu pula dalam sistem perwakilan. Pada sistem parlementer rakyat
memilih tanda gambar partai, maka status anggota DPR adalah wakil
partai. Sebaliknya pada sistem presidensial, dalam pemilu rakyat memilih
tanda gambar Calon Anggota DPR, bukan gambar partai. 

Di sanalah maka anggota DPR dalam sistem presidensial adalah wakil
rakyat, bukan wakil partai. Berdasar urut-urutan siklus kepemimpinan
nasional, dalam sistem parlementer anggota DPR dipilih lebih dulu baru
membentuk pemerintahan. 

Sebaliknya dalam sistem presidensial pemerintah dibentuk lebih dulu
(pemilihan Presiden dulu), baru pemilu anggota DPR. Yang pasti,
masing-masing model punya sejarah panjang yang dibarengi jatuhnya korban
manusia dalam jumlah yang tidak kecil, serta alasan dan logika
sendiri-sendiri. 

Cek Kosong untuk Partai

Bagaimana dengan di Indonesia? Demokrasi kita semrawut, tak terkecuali
soal pemilu. Lihat saja pemilu legislatif yang akan kita laksanakan pada
Kamis, 9 April nanti. Apa dasar bagi rakyat untuk menjatuhkan pilihan
dalam pemilu legislatif tersebut? 

Bila alasannya adalah memilih program partai, sudah barang tentu itu
bohong, karena dalam sistem presidensial yang dijadikan program kerja
pemerintah adalah program sang calon presiden pemenang pemilu, sama
sekali bukan program partai. 

Lantas bagaimana dengan kampanye pemilu, di mana partai-partai mengobral
janji tentang masa depan rakyat, bangsa dan negara? Bukankah hal yang
demikian itu adalah pembodohan dan sekaligus pembohongan publik yang sah
secara konstitusional?

Bila alasan pemilu legislatif untuk memenuhi amanat UUD, karena
diamanatkan Capres haruslah diajukan oleh partai atau gabungan partai,
maka pertanyaannya adalah: Siapa sosok yang dicalonkan oleh
masing-masing partai? Mari kita lihat. 

Di sini terjadi kebingungan di tingkat partai. Beberapa partai lama
mencantumkan berderet-deret wajah Capres yang diusungnya lebih dari
satu, karena tidak berani bersikap tegas, ditambah lagi tidak mau
ketinggalan bagi-bagi kekuasaan bila salah satu Capres yang
dicantumkannya menang. 

Model arisan kekuasaan ini membuat rakyat jadi tambah bingung. Ada
partai yang berani menyebut nama satu orang Capresnya, namun apakah
dapat dijamin bahwa partainya bisa melewati batas minimal perolehan
suara 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah di pemilu? Kalau
tidak mencapai 20 persen berarti suara rakyat yang memilih partai
tersebut karena alasan Capresnya, menjadi hilang.

Kesimpulannya, pemilu yang kita laksanakan tak ubahnya memilih kucing
dalam karung. Karena dasar rakyat memilih, tidak ada. Program bukan.
Capres pun bukan. Artinya, rakyat disuruh tanda tangan cek kosong,
kemudian diserahkan kepada partai untuk "dagang sapi" dalam
mencari capres. 

Maka, wajar dan sah secara hukum kalau partai-partai terlibat dalam
"politik uang" untuk mendapatkan harga tawar yang tertinggi dari
para calon presiden. Jadi semacam capres dagangan saja.

Solusi Negeri MERAK

Agenda mendesak bangsa adalah bagaimana menjadikan Pemilu 2009 sebagai
momentum untuk melaksanakan perubahan yang mendasar dan komprehensif.
Salah satunya adalah memformat ulang sistem kenegaraan secara
keseluruhan, termasuk persoalan pemilu. 

Perubahan tersebut tidaklah mungkin akan datang dari tatanan yang ada
saat ini, karena justru dengan kesemrawutan yang ada sangatlah
menguntungkan elite yang berkuasa di jajaran manapun. 

Untuk itu hanyalah mungkin bila kita semua yang peduli terhadap masa
depan diri sendiri, rakyat, bangsa dan negara bisa "memaksa"
agar partai-partai yang ada mengajukan capres masing-masing yang
memenuhi lima persyaratan utama, yaitu: Pertama, punya solusi untuk
menghentikan keterpurukan. 

Kedua, punya "platform" atau paradigma baru untuk mengubah
sistem kenegaraan dari otoriter menjadi demokrasi. Sistem yang menjamin
kedaulatan rakyat tidak menjadi mainan seperti sekarang ini. Ketiga,
punya keberanian lebih, termasuk berani berbuat salah sekalipun untuk
menghadirkan kebenaran karena selama ini terbelenggu sistem hukum yang
ada. 

Berani di sini termasuk berjanji kepada publik bahwa dirinya menyiapkan
satu peluru untuk menembak kepalanya sendiri kalau ia korupsi. Keempat,
punya integritas pribadi yang tinggi. Integritas bukanlah komitmen dan
janji ke depan setelah jadi presiden, tapi "track record" masa
lalu. Dan kelima, sosok yang tidak bermasalah atau bagian masalah yang
sedang dihadapi bangsa. Inilah persyaratan membangun Negeri MEngutamakan
RAKyat (MERAK). (**) 


Sumber:  http://cetak.fajar.co.id/news.php?newsid=89514
<http://cetak.fajar.co.id/news.php?newsid=89514>



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke