Refleksi : Apa komentar Anda terhadap  pesan yang disampaikan oleh artikel ini?

http://www.republika.co.id:80/berita/43439/Kala_Islam_Memilih_Pemimpin

Kala Islam Memilih Pemimpin
By Republika Newsroom
Minggu, 12 April 2009 pukul 10:14:00 

Pada masa kekhalifahan sahabat yang empat, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali 
(Khulafa ar-Rasyidin), istilah khalifah belum digunakan sebagai nama atau gelar 
yang menunjuk kepada suatu jabatan kepala pemerintahan. Ketika Abu Bakar 
as-Siddiq ditetapkan untuk menggantikan Rasulullah SAW sebagai pemimpin umat, 
ia diberi gelar Khalifah Rasul Allah (pengganti Rasulullah SAW). Sebutan ini 
merupakan gelar khusus baginya sebagai pengganti yang melanjutkan tugas Nabi 
SAW memimpin masyarakat, dan bukan sebagai istilah yang menunjukkan pada 
jabatan.

Selanjutnya saat Umar bin Khattab ditunjuk sebagai pengganti Abu Bakar, Umar 
tidak bersedia menggunakan gelar khalifah. Dalam kehidupan sehari-hari ia lebih 
sering dipanggil dengan sebutan Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang beriman). 
Lambat laun panggilan ini menjadi istilah kepemimpinan di kalangan umat Islam 
di beberapa negeri Islam. Khalifah atau Amirul Mukminin atau kepala negara 
adalah pelayan umat sehingga dia mempunyai kewajiban kepada mereka seperti 
kewajiban seorang hamba kepada majikannya.

Pelaksanaan Pemilihan

Kepemimpinan negara dalam sistem Islam dengan sebutan apapun terlaksana dengan 
adanya ikatan antara umat dan penguasa, dan yang mewakili umat adalah majlis 
Syura atau majlis umat. Ikatan ini disebut baiat. Umat diharuskan memberikan 
baiat bila melihat adanya kemaslahatan umum. Imam Bukhari dan Muslim 
meriwayatkan dari Ibnu Umar, berkata: ''Ketika kami membaiat Rasulullah SAW 
beliau bersabda kepada kami: ''Dalam hal-hal yang aku mampu.''

Begitu pula umat berkewajiban memberi baiat untuk satu atau dua masa 
kepemimpinan itu tidak untuk masa yang panjang atau seumur hidup. Tidak ada 
larangan bagi umat untuk memberi persyaratan kepada penguasa pembentukan 
kementerian bagi partai atau kelompok yang meraih suara pemilih terbanyak dalam 
pemilihan bebas yang diawasi oleh badan yudikatif secara langsung dan 
sepenuhnya. Dapat dikatakan pemerintahan Islam adalah pemerintahan sipil bukan 
teokrasi.

Pemilihan dan penetapan Abu Bakar as-Siddiq sebagai khalifah dilakukan secara 
demokratis. Pencalonannya, dilaksanakan oleh perseorangan, yaitu Umar bin 
Khattab, yang ternyata disetujui oleh semua yang hadir pada saat itu. Karena 
Rasulullah SAW memang tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan 
menggantikan beliau sebagai pemimpin setelah beliau wafat. Beliau nampaknya 
menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya.

Ketika Abu Bakar sakit dan merasa kematiannya sudah dekat, ia bermusyawarah 
dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar bin Khattab sebagai 
penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan 
dan perpecahan di kalangan umat Islam. Para pemuka tersebut ternyata tidak 
keberatan dengan pilihan khalifah.

Setelah wafat, posisi Umar digantikan Usman bin Affan. Untuk menentukan 
penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk 
enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang 
diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman bin Affan, Ali 
bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqas, 
dan Abdurrahman bin Auf. Keenam sahabat ini mempunyai hak memilih dan dipilih. 
Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman sebagai 
khalifah.

Satu hal yang paling penting, kepemimpinan dalam pemerintahan Islam harus 
mengacu kepada Alquran dan sunnah Nabi SAW, sebagai undang undang tertulis. 
Tugas-tugas kepala negara sebagian besar terkait dengan masalah sipil. Untuk 
masalah yang tidak ditemukan hukumnya dari Allah atau tuntunan Nabi SAW, maka 
penguasa berhak mencari solusinya sesuai dengan kaidah-kaidah  Syura dan 
kaidah-kaidah umum dalam Alquran dan Hadis. dia/berbagai sumber


Sistem Multi Partai

Gerakan Islam pada dasarnya tidak melarang sistem multi partai selama hal 
tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan menyeru kepada  
amar makruf nahi munkar. Sebab kesemuanya ini bagian dari kewajiban bagi setiap 
muslim, bukan hanya sekedar hak.Secara spesifik, Islam tidak mengenal istilah 
multipartai. Islam hanya menyebutkan sistem musyawarah (demokrasi) dalam 
menentukan pemimpin masa depan. Namun demikian, dalam masa pemerintahan Islam, 
sempat muncul istilah sistem multipartai.

Terdapat perbedaan antara sistem multi partai dan persaingan tidak sehat yang 
sering terjadi pada partai-partai pada umumnya. Begitu pula terdapat perbedaan 
antara demokrasi dan sistem syura yang benar dan penggunaan demokrasi atau 
syura yang hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan pemerintahan 
diktator yang mana partai hanya menjadi alat untuk melegitimasi tindakan yang 
merugikan masyarakat.

Ikhwanul Muslimin gerakan Islam terbesar di Mesir adalah sebuah organisasi 
pertama yang mengenalkan sistem multipartai ini secara konkrit. Awalnya, 
Ikhwanul Muslimin, menolak sistem partai tunggal dan mempercayai sistem multi 
partai dalam masyarakat Islam. Dalam pandangan organisasi ini, masing-masing 
kelompok harus diberi kebebasan untuk mengumumkan misinya dan menjelaskan 
garis-garis yang ditempuh selama syariah tetap menjadi konstitusi tertinggi, 
yaitu undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga eksekutif yang bersifat 
otonomi yang dilindungi dan jauh dari kekuasaan atau pihak manapun.

Namun demikian, sistem multi partai ini tidak dengan sendirinya menjadi 
indikator bahwa penguasa mempunyai komitmen pada sistem musyawarah atau asas 
demokrasi.Sebenarnya, dunia Islam sudah mengenal sistem multi partai sejak 
zaman Khalifah Usman bin Affan. Sistem multi partai pada masa itu ditandai 
dengan muncul kelompok-kelompok oposisi terhadap penguasa. Oposisi terhadap 
pemerintahan Usman muncul setelah sepuluh tahun sejak ia menjadi khalifah dari 
warga Mesir dan Syam yang datang membanjiri Madinah dan melemparkan 
tuduhan-tuduhan.

Keberadaan kelompok oposisi ini terus berlanjut pada masa pemerintahan Khalifah 
Ali bin Abi Thalib. Tokoh oposisi yang paling menonjol pada masa itu adalah 
para sahabat kenamaan, seperti Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan 
Aisyah RA. Bahkan sekelompok sahabat tidak mau membaiat Ali.

Gerakan oposisi ini tidak melalui cara-cara damai dan cara dialog melainkan 
berkembang menjadi peperangan sengit seperti yang terjadi dalam perang Jamal 
(Unta) dan perang Shiffin yang berakhir dengan tahkim (arbitrase) antara 
Khalifah Ali bin Abi Thalib beserta pendukungnya dari penduduk Hijaz dan 
Muawiyah bin Abu Sufyan yang didukung oleh penduduk Syam.

Tahkim tersebut berakhir antara dua juru runding yaitu al-Asy'ari dan Amru bin 
Ash dari pihak Muawiyah, dengan keputusan melepaskan kepemimpinan Khalifah Ali 
serta mengembalikan kepemimpinan kepada umat untuk memilih lagi seorang 
khalifah baru yang akan memutuskan pertikaian dan menyelesaikan permasalahan 
serta ditaati oleh semua pihak. Keputusan ini pada akhirnya menimbulkan oposisi 
baru terhadap Ali dari kalangan pendukungnya sendiri. Mereka itulah kaum 
Khawarij yang dipandang oleh sebagian orang sebagai partai politik pertama 
dalam Islam.

Kemudian pada saat Thalhah, Zubair, dan Aisyah kembali memberikan dukungan 
mereka terhadap Ali, muncullah secara bertahap satu kelompok setelah itu di 
bawah nama Syiah. Kelompok ini mulai menampakkan bentuknya dengan warna yang 
paling dominan pada saat ini adalah sentimen kuat terhadap Ali dan ahlul Bait. 
Dalam perjalanannya kelompok Syiah ini berkembang menjadi satu ideologi bagi 
mereka yang diperjuangkan.

Keberadaan kelompok oposisi ini atau saat ini lebih dikenal dengan istilah 
partai terus berkembang pada masa sesudah al-Khulafa ar-Rasyidun. Beberapa 
diantaranya adalah kelompok ahlal-adl wa at-Tauhid pimpinan Washil bin Atha' 
dan kelompok Mu'tazilah di masa kekuasaan Dinasti Umayyah.  sya/dia/berbagai 
sumber

Hak Non Muslim 

Allah SWT mengutus Rasul kepada seluruh umat manusia dengan aturan yang cocok 
bagi individu maupun masyarakat. Sebab Allah menciptakan manusia, yang Maha 
Mengetahui apa yang baik bagi diri manusia ini. Dalam hal ini Allah berfirman: 
''Katakanlah; Berjalanlah di muka bumi lalu lihatlah bagaimana penciptaan 
(alam) ini berawal.'' (Al-Ankabut:20).

Syariah Allah yang berhubungan dengan sanksi hukum terhadap kejahatan dan yang 
berhubungan dengan muamalat, diturunkan bukan saja untuk kaum muslimin, 
melainkan juga untuk non-muslim, meskipun tidak dibenarkan memaksa mereka 
menerima Islam sebagai agama dan akidah. Mereka diharuskan menerima Islam 
sebagai aturan kehidupan sipil. Sebab bagi non-muslim, Yahudi dan Nasrani, 
mereka tidak mempunyai ajaran agama tentang sanksi hukum Ilahiyah serta aturan 
muamalat. Di sana tidak didapatkan aturan tentang urusan duniawi.

Akan tetapi undang-undang Islam, meskipun memberikan kebebasan bagi non-muslim, 
di sana terdapat ikatan-ikatan dan aturan yang harus dipatuhi. Antara lain 
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan sanksi  hudud dan  qishash, ini 
dipandang sebagai aturan umum yang tidak dibedakan antara muslim dan 
non-muslim, serta antara wilayah satu dengan yang lainnya.

Kemudian mengenai sanksi  ta'zir yaitu selain hukuman  hudud dan  qishash, 
Islam menyerahkan pada kondisi masa dan tempat. Dalam hal ini masing-masing 
daerah boleh menentukan sanksi hukuman yang sesuai.Aturan lainnya mengenai 
urusan muamalat, seperti jual beli, sewa menyewa, dan lain sebagainya. Untuk 
urusan ini Islam memberikan keleluasaan kepada non-muslim. Dalam kondisi ini 
Islam tidak mengharuskan mereka melarang apa yang halal bagi agama mereka 
meskipun haram menurut Islam.

Kemudian mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan urusan pribadi, 
seperti pernikahan, talak, wasiat, warisan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini 
warga non-muslim tidak diharuskan mengikuti syariah Islam. Pemberlakuan syariah 
Islam bagi non-muslim dalam masalah hudud dan muamalat merupakan hal yang 
diakui oleh seluruh undang-undang dunia modern. Meskipun bagi minoritas 
non-muslim mempunyai hukum sendiri, kecuali dalam masalah-masalah yang terkait 
dengan hukum keluarga.

Thomas Arnold dalam bukunya  Ad-Da'wah ila Al-Islam mengemukakan, bahwa tujuan 
dikenakan jizyah kepad kaum Nasrani bukanlah sebagai bentuk sanksi atas 
penolakan mereka untuk masuk Islam, melainkan mereka melaksanakan pembayaran 
jizyah ini bersama warga non-muslim di bawah pemerintahan Islam yang diberi 
kebebasan memeluk agama mereka tetapi tidak masuk dalam jajaran militer. Mereka 
membayar jizyah sebagai ganti jaminan perlindungan yang diberikan kaum muslimin.

Hak Politik Wanita

Perselisihan paham mengenai hak politik bagi wanita telah ada sejak lama. 
Terdapat anggapan bahwa hak politik berarti memberikan kewenangan membuat 
undang-undang kepada para wakil rakyat di parlemen. Padahal jika dicermati, 
nash-nash syariah, baik laki-laki maupun perempuan tidak dibenarkan membuat 
undang-undang kecuali dalam masalah-masalah yang tidak diatur oleh syariah.

Di kawasan negara-negara Arab terjadi perdebatan sengit mengenai hak wanita 
untuk ambil bagian dalam pergulatan politik yang diwakili dalam hak pemilihan 
dan hak duduk di parlemen. Sebagian aktifis wanita beranggapan bahwa hak untuk 
terlibat dalam politik adalah kunci yang akan dapat membukakan bagi kaum wanita 
semua kehormatan dan kemuliaan. Oleh sebab itu diadakan secara khusus berbagai 
konferensi dan pertemuan guna membicarakan masalah hak politik bagi kaum wanita.

Para ulama klasik dan modern berbeda pendapat mengenai hak-hak politik bagi 
wanita. Perbedaan pendapat ini kembali pada konsep mereka masing-masing 
mengenai sifat pekerjaan ini. Satu pendapat mengatakan bahwa wanita tidak 
dibenarkan menduduki jabatan menteri. Sebab Imam atau khalifah harus meminta 
pendapat dari para menterinya pada saat-saat tertentu.

Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita dilarang menjadi  Qadli (hakim) menurut 
syara. Sebab profesi ini menuntut kesempurnaan pendapat (olah pikir).Sementara 
di kalangan ulama modern ada yang berpandangan bahwa wanita mempunyai hak-hak 
politik sepenuhnya selain dari pimpinan negara. Pendapat ini dianut oleh Syekh 
Muhammad Rasyid Ridha, DR Yusuf al-Qaradlawi, Syekh Muhammad Shalthout, dan DR 
Muhammad Yusuf Musa.

Alasan lainnya, Islam tidak mencabut hak wanita dan tidak melarangnya 
mengutarakan aspirasi dan pendapatnya, melainkan memberinya kebebasan penuh 
seperti halnya kaum pria. Sementara kaidah fikih menegaskan bahwa pada dasarnya 
yang ada dalam adat istiadat itu boleh secara hukum selama tidak ada nash yang 
mengharamkan. dia/berbagai sumber/kem


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to