Refleksi : Sebuah negara yang dikusasi oleh kaum kleptokratik tak mungkin 
hutangnya tidak membengkak.  Ditambah lagi dengan misalnya salah urus dalam 
segala hal yang menjadi faktor dominan dalam sistem kleptokrasi  akan selalu 
dibutuhkan peminjaman untuk pembiayaan. Guna membersihkan Citarum dipinjam US$ 
500,-- juta, mungkin juga akan pinjam sekian banyak untuk pembetulan tanggul 
Situ Gintung, ini hanya untuk dua obyek di Jakarta, berapa banyak obyek di 
Jakarta yang perlu pembiayaan yang harus didanai oleh pinjaman? Dengan demikian 
 bisa diperkirakan pinjaman yang dibebani atas nama segenap rakyat, 
sebahagiannya besar adalah untuk Jakarta, tempat bersemayam raja-raja 
kleptokratik dan begundal-begundal mereka.  Kalau kebutuhan demikian ditambah 
lagi dengan keperluan melengkapi  APBN, maka  apabila tidak ada perubahan 
radikal dalam sistem ekonomi politik dan kebudayaan akan menjadi tugas utama  
bagi siapa pun yang berkuasa dalam waktu setengah  abad mendatang atau lebih 
harus senentiasa pandai jungkir balik salto mortal sambil menadah tangan dengan 
membungkuk sambil meminta belaskasihan kepada para donator  untuk memberi 
pinjaman yang lazim dalam bahasa politik manis disebut bantuan.  

  

http://www.sinarharapan.co.id:80/berita/0904/14/sh03.html

Tanpa Perubahan, Utang RI Menumpuk



Jakarta - Utang Indonesia, baik dari pinjaman luar negeri maupun penerbitan 
surat berharga negara (SBN/obligasi pemerintah), diperkirakan kian menumpuk 
jika tidak ada perubahan mendasar. Jebakan utang yang didesain oleh para ekonom 
pemerintah (ekonom Mafia Berkeley) selama 40 tahun terakhir ini akan membuat 
Indonesia kian terpuruk dalam lilitan utang.


"Siapa pun yang akan menjadi presiden di masa depan harus ada perubahan dalam 
menyelesaikan persoalan utang. Jika kebijakan ekonom masih setia pada Mafia 
Berkeley maka Indonesia terus dijajah melalui instrumen utang," kata Ekonom Tim 
Indonesia Bangkit Ichsanuddin Noorsy di Jakarta, Selasa (14/4).  Data 
menujukkan, selama lima tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 
jumlah nominal utang telah membengkak dari Rp 1.275 triliun pada 2004 menjadi 
Rp 1.667 triliun pada 11 Februari 2009. Tanpa perubahan kebijakan, utang luar 
negeri akan mencekik rakyat Indonesia dan para ekonom Mafia Bekeley akan 
bersukacita dengan situasi ini.


Ia menyatakan, pernyataan yang menegaskan tidak terhormat jika Indonesia tidak 
membayar utang merupakan statement tidak bertanggung jawab dan mengekalkan 
penjajahan asing melalui instrumen utang. "Seorang pemimpin harus melakukan 
terobosan besar terhadap persoalan utang. Tanpa ada perubahan kebijakan maka 
tidak ada yang bisa diharapkan dari pemimpin seperti itu," tandasnya.


Noorsy mengatakan, ekonom Mafia Berkeley telah menjalankan strategi jitu guna 
menjerat bangsa ini melalui utang-utang baru. Jadi sebenarnya ekonom Mafia 
Berkeley mengirim sinyal kepada siapa pun yang terpilih agar tunduk pada garis 
kebijakannya. Ekonom-ekonom seperti ini melihat IMF, Bank Dunia, ADB dan 
lembaga pemberi utang sebagai malaikat penolong, meringankan beban defisit APBN 
dan berperan positif bagi pencapaian kesejahteraan rakyat.

Ia menjelaskan. jerat utang terhadap pemerintah Indonesia terlihat dari 
pembayaran cicilian dan bunga atas utang lama yang lebih besar dari pencairan 
utang baru. Selisih keduanya hampir mencapai Rp 10 triliun. Ekonom Mafia 
Barkeley menggunakan privatisasi BUMN dan penerbitan SBN untuk menutup selisih 
Rp 10 triliun tersebut.


Menurutnya, Indonesia membutuhkan perubahan, yakni pemimpin yang berani 
melakukan terobosan. Pilihan kebijakan yang dilakukan yakni tidak membayar 
utang sama sekali karena utang tersebut menjadi sarang korupsi dan 
persekongkolan, restrukturisasi utang dan menolak utang baru sembari melakukan 
pengoptimalan penerimaan dalam negeri. "Prinsipnya, pemimpin baru harus setia 
pada konstitusi '45 dan mencintai rakyat melalui terobosan kebijakan," katanya. 
Bangsa ini tidak membutuhkan pemimpin yang sibuk pada popularitas, 
meninabobokan rakyat dan menyatakan kondisi perekonomian saat ini baik-baik 
saja.


Pembayaran utang berupa cicilan dan bunga menjadikan APBN tersandera dan tidak 
memiliki keleluasaan dalam membiayai program-program pendidikan, kesehatan dan 
peningkatan kesejahteraan rakyat. "Masyarakat adil-makmur hanya ilusi jika 
kebijakan ekonomi pemerintah memprioritaskan pada penumpukan utang," paparnya.
Sementara itu, ekonom dari INDEF, Imam Sugema, yang dihubungi SH secara 
terpisah menilai kalau saat ini visi ekonomi yang dijalankan oleh pemerintahan 
Yudhoyono-Kalla masih sangat liberal, sehingga berdampak pada semakin 
bertambahnya angka kemiskinan. 


Karenanya, siapa pun yang terpilih pada Pilpres mendatang, lanjut Imam, harus 
membentuk tim ekonomi yang jelas dengan visi ekonomi yang kuat dan tidak lagi 
berlandaskan pada sistem ekonomi liberal. "Kalau pemerintah yang akan datang 
tetap menerapkan sistem ekonomi yang liberal seperti saat ini, bisa dipastikan 
masa depan perekomian Indonesia akan semakin suram dan angka kemiskinan akan 
terus bertambah, sekalipun program BLT dan PNPM tetap dilanjutkan. Hal ini 
terjadi karena perekonomian kita sangat bergantung pada kepentingan asing," 
tukasnya.


Dia juga menambahkan, akibat sistem ekonomi leberal tersebut, bangsa Indonesia 
juga semakin terlilit utang luar negeri. "Karena hampir seluruh proyek-proyek 
yang sedang dijalankan pemerintah, pendanaannya memang bersumber dari sana. 
Kalau bisa pola-pola semacam itu harus dibatasi oleh pemerintahan mendatang. 
Demikian juga dengan pengelolaan fiskal yang saat ini masih sangat boros, 
sehingga total utang pemerintah saat ini telah mencapai Rp 1.695 triliun," 
tandasnya


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to