http://www.republika.co.id/berita/52731/Ibnu_Miskawaih_Bapak_Etika_Islam


Ibnu Miskawaih, Bapak Etika Islam


Guru ketiga setelah al-Farabi. Gelar itu ditabalkan kepada Ibnu Miskawaih, 
seorang ilmuwan agung kelahirkan  Ray, Persia (sekarang  Iran) sekitar tahun 
320 H/932 M. Ia merupakan seorang ilmuwan hebat, bahkan ia juga dikenal sebagai 
seorang filsuf, penyair, dan sejarawan yang sangat terkenal.

Ia terlahir pada era kejayaan Kekhalifahan Abbasiyyah. Ibnu Maskawaih adalah 
seorang keturunan Persia, yang konon dulunya keluarganya dan dia beragama 
Majuzi dan pindah ke dalam Islam. Ibnu Maskawaih berbeda dengan al-Kindi dan 
al-Farabi yang lebih menekankan pada aspek metafisik, ibnu Maskawaih lebih pada 
tataran filsafat etika seperti al-Ghazali.

Sejarah dan filsafat merupakan dua bidang yang sangat disenanginya. Sejak masih 
muda, ia  dengan tekun mempelajari sejarah dan filsafat, serta pernah menjadi 
pustakawan Ibnu al-‘Abid, tempat dia menuntut ilmu dan memperoleh banyak hal 
positif berkat pergaulannya dengan kaum elit.

Tak hanya itu, Ibnu Miskawaih juga merupakan seorang yang aktif dalam dunia 
politik di era  kekuasaan Dinasti Buwaih, di Baghdad. Ibnu Miskawaih 
meninggalkan Ray menuju Baghdad dan mengabdi kepada istana Pangeran Buwaih 
sebagai bendaharawan dan beberapa jabatan lain.

Dia mengkombinasikan karier politik dengan peraturan filsafat yang penting. Tak 
hanya di kantor  Buwaiah di Baghdad, ia juga mengabdi di Isfahan dan Rayy. 
Akhir hidupnya banyak dicurahkannya untuk studi dan menulis.

Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak (etika) walaupun 
perhatiannya luas meliputi ilmu-ilmu yang lain seperti kedokteran, bahasa, 
sastra, dan sejarah. Bahkan dalam literatur filsafat Islam, tampaknya hanya 
Ibnu Miskawaih inilah satu-satunya tokoh filsafat akhlak.

Semasa hidupnya, ia merupakan anggota kelompok intelektual terkenal seperti 
al-Tawhidi and al-Sijistani.. Sayangnya ia harus menghembuskan nafas 
terakhirnya di Asfahan 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M).

Menurut  Muhammad Hamidullah dan Afzal Iqbal dalam karyanya bertajuk The 
Emergence of Islam: Lectures on the Development of Islamic World-view, 
Intellectual Tradition and Polity, menjelaskan bahwa Ibnu Miskawaih merupakan 
orang pertama yang memaparkan secara jelas ide tentang evolusi.

Seperti ilmuwan lainnya pada era abad ke-4 H dan ke-5 H (abad ke-10 M dan ke-11 
M) Ibnu Miskawaih merupakan orang yang memiliki wawasan luas dalam bidang 
filosofi, berdasarkan pada pendekatannya terhadap filsafat Yunani yang telah 
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Walaupun filosofi yang diterapkannya khusus untuk masalah-masalah Islam, ia 
jarang menggunakan agama untuk mengubah filosofi, dan selanjutnya dikenal 
sebagai seorang humanis Islam. Dia menunjukkan kecenderungan dalam filsafat 
Islam untuk menyesuaikan Islam kedalam sistem praktik rasional yang lebih luas 
umum bagi semua manusia.

Neoplatonism Ibnu Miskawah memiliki dua sisi yakni praktik dan teori. Dia 
memberikan peraturan untuk kelestarian kesehatan moral berdasarkan pandangan 
budidaya karakter. Ini menjelaskan cara di mana berbagai bagian jiwa dapat 
dibawa bersama ke dalam harmoni, sehingga mencapai kebahagiaan.

Ini adalah peran filsuf moral untuk menetapkan aturan untuk kesehatan moral, 
seperti dokter menetapkan aturan untuk kesehatan fisik. Kesehatan moral 
didasarkan pada kombinasi pengembangan intelektual dan tindakan praktis.

Ibnu Miskawaih menggunakan metode eklektik dalam menyusun filsafatnya, yaitu 
dengan memadukan berbagai pemikiran-pemikiran sebelumnya dari Plato, 
Aristoteles, Plotinus, dan doktrin Islam. Namun karena inilah mungkin yang 
membuat filsafatnya kurang orisinal. Dalam bidang-bidang berikut ini tampak 
bahwa Ibnu Miskawayh hanya mengambil dari pemikiran-pemikiran yang sudah 
dikembangkan sebelumnya oleh filsuf lain.

Ibnu Miskawaih menulis dalam berbagai topik yang luas, berkisar sejarah 
psikologi dan kimia, tapi dalam filsafat metafisikanya tampaknya secara  umum 
telah diinformasikan oleh versi Neoplatonism. Dia menghindari masalah 
merekonsiliasi agama dengan filsafat dengan klaim dari filsuf Yunani yang tidak 
menayangkan fokus kesatuan dan keberadaan Allah.

Menurut Ibnu Miskawaih, Tuhan merupakan zat yang tidak berjisim, azali, dan 
pencipta. Tuhan adalah esa dalam segala aspek, tidak terbagi-bagi dan tidak ada 
sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak 
tergantung pada yang lain, sedangkan yang lain membutuhkannya. Tuhan dapat 
dikenal dengan proposisi negatif karena memakai proposisi positif berarti 
menyamakan-Nya dengan alam.

Ibnu Miskawaih menganut paham Neo-Platonisme tentang penciptaan alam oleh 
Tuhan. Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa entitas pertama yang memancar dari 
Tuhan adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Akal aktif ini bersifat kekal, sempurna, 
dan tidak berubah. Dari akal ini timbul jiwa dan dengan perantaraan jiwa timbul 
planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara 
tatanan di alam ini, menghasilkan materi-materi baru. Sekiranya pancaran Tuhan 
yang dimaksud berhenti, maka berakhirlah kehidupan dunia ini.

Kitab Taharat al-A'raq merupakan karya yang paling tinggi dan menunjukkan 
fakta-fakta kompleksitas yang konseptual sekali. Dalam karyanya itu, ia 
menetapkan untuk menunjukkan bagaimana kita dapat mungkin memperoleh watak yang 
baik untuk melakukan tindakan yang benar dan terorganisir serta sistematis.

Menurut  Ibnu Miskawaih, jiwa adalah abadi dan substansi  bebas yang 
mengendalikan tubuh. Itu intisari berlawanan pada tubuh, sehingga tidak mati 
karena terlibat dalam satu gerakan lingkaran dan gerakan abadi, direplikasi 
oleh organisasi dari surga. Gerakan ini berlangsung dua arah, baik menuju 
alasan ke atas dan akal yang aktif atau terhadap masalah kebawah.  Kebahagiaan 
kami timbul melalui gerakan keatas, kemalangan kami melalui gerakan dalam arah 
berlawanan.

Pembahasan Ibnu Miskawaih tentang kebaikan dengan menggabungkan ide Aristoteles 
dengan Platonic. Menurut dia, kebaikan merupakan penyempurnaan dari aspek jiwa 
(yakni, alasan manusia) yang merupakan inti dari kemanusiaan dan membedakan 
dari bentuk keberadaan rendah.


Bapak Etika Islam

Ibnu Miskawaih dikenal sebagai bapak etika Islam. Ia telah telah merumuskan 
dasar-dasar etika di dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq 
(pendidikan budi dan pembersihan akhlaq). Sementara itu sumber filsafat etika 
ibnu Miskawaih berasal dari filsafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat 
Islam, dan pengalaman pribadi.

Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq yang berarti 
peri keadaan jiwa yang mengajak seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan 
tanpa difikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Sehingga dapat dijadikan fitrah 
manusia maupun hasil dari latihan-latihan yang telah dilakukan, hingga menjadi 
sifat diri yang dapat melahirkan khuluq yang baik.

Kata dia, ada kalanya manusia mengalami perubahan khuluq sehingga dibutuhkan 
aturan-aturan syariat, nasihat, dan ajaran-ajaran tradisi terkait sopan santun. 
Ibnu Maskawaih memperhatikan pula proses pendidikan akhlaq pada anak. Dalam 
pandangannya, kejiwaan anak-anak seperti mata rantai dari jiwa kebinatangan dan 
jiwa manusia yang berakal.

Menurut dia, jiwa anak-anak itu menghilangkan jiwa binatang tersebut dan 
memunculkan jiwa kemanusiaannnya.  ''Jiwa manusia pada anak-anak mengalami 
proses perkembangan. Sementara itu syarat utama kehidupan anak-anak adalah 
syarat kejiawaan dan syarat sosial,'' ungkap Ibnu Miskawaih.

Sementara nilai-nilai keutamaan yang harus menjadi perhatian ialah pada aspek 
jasmani dan rohani. Ia pun mengharuskan keutamaan pergaulan anak-anak pada 
sesamanya mestilah ditanamkan sifat kejujuran, qonaah, pemurah, suka mengalah, 
mngutamakan kepentingan orang lain, rasa wajib taat, menghormati kedua orang 
tua, serta sikap positif lainnya.

Ibnu Maskawaih membedakan antara al-Khair (kebaikan), dan as-sa’adah 
(kebahagiaan). Beliau mengambil alih konsep kebaikan mutlak dari Aristoteles, 
yang akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan sejati. Menurutnya kebahagiaan 
tertinggi adalah kebijaksanaan yang menghimpun dua aspek; aspek teoritis yang 
bersumber pada selalu berfikir pada hakekat wujud dan aspek praktis yang berupa 
keutamaan jiwa yang melahirkan perbuatan baik. Dalam menempuh perjalananannya 
meraih kebahagiaan tertinggi tersebut manusia hendaklah selalu berpegangan pada 
nilai-nilai syariat, sebagai petunjuk jalan mereka.

Ia berpendapat jiwa manusia terdiri atas tiga tingkatan, yakni  nafsu 
kebinatangan, nafsu binatang buas, dan jiwa yang cerdas. ''Setiap manusia 
memiliki potensi asal yang baik dan tidak akan berubah menjadi jahat, begitu 
pula manusia yang memiliki potensi asal jahat sama sekali tidak akan cenderung 
kepada kebajikan, adapun mereka yang yang bukan berasal dari keduanya maka 
golongan ini dapat beralih pada kebajikan atau kejahatan, tergantung dengan 
pola pendidikan, pengajaran dan pergaulan.'' she/taq


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke