Refleksi: Tentu saja ada alasan yang menyebabkan  mengapa dalam visi-misi 
antikorupsi minim tidak bersuara keras dan tegas. Kalau mau diterka alasannya 
mungkin saja bisa dibilang banyak lagi beraneka warna dan ragam,  misalnya  
mereka berhutang budi kepada koruptor atau mereka senidiri terlibat dalam kasus 
korupsi yang hingga kini  sengaja pihak berwajib elakan untuk diungkap, sebab 
yang harus membongkar adalah sahabat kental dari capers itu sendiri. Mana 
orang-orang pintar nan lihai mengungkapan masalah yang menjatuhkan diri mereka 
dalam jerat hukum?

Jawa Pos
[ Jum'at, 12 Juni 2009 ] 


Visi-Misi Antikorupsi Capres Minim 
Oleh : Jabir Alfaruqi

Selama kampanye ini, para calon presiden (Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla 
dan Megawati) ramai-ramai menyampaikan visi-misi. Visi-misi ketiganya yang 
mendapat perhatian publik dan diekspose besar-besaran oleh media adalah bidang 
ekonomi.

Tampaknya masalah ekonomi menjadi prioritas ketiga capres Pemilu 2009 ini. 
Prioritas ini bukanlah hal yang salah. Sebab, masalah ekonomi bukan sekadar 
mengatasi pengangguran dan kemiskinan yang dialami jutaan warga negara, tetapi 
juga peningkatan pendapatan dan pelestarian sumber daya alam. Tanpa pertumbuhan 
ekonomi yang meningkat dari tahun ke tahun, berarti siapa pun yang memimpin 
negeri ini akan dinilai gagal.

Namun, ada benang merah yang dilupakan para capres bahwa untuk membangun sistem 
perekonomian dan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik tidak berangkat dari akar 
permasalahan hakiki yang menyebabkan bangsa Indonesia jatuh miskin dan 
mengalami krisis yang berkepanjangan. Akar dari semua masalah ekonomi 
semestinya bersumber dari mengguritanya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di 
negeri ini. Pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan akan sekadar menjadi 
jargon politik kalau tidak dimulai dari pemberantasan korupsi secara baik.

Visi Antikorupsi 

Mungkin oleh sebagian pihak capres bervisi antikorupsi dianggap hal yang biasa 
dan sepele. Namun, bila kita mau belajar dari negara-negara yang sukses 
pertumbuhan ekonominya, hal itu selalu dimulai dari keberhasilan di bidang 
pemberantasan korupsi. Ambil contoh China yang saat ini pertumbuhan ekonominya 
menakjubkan masyarakat dunia. China bisa memiliki pertumbuhan ekonomi seperti 
sekarang karena negeri ini cukup berhasil mengatasi masalah korupsi.

Di China tokoh terdepan pemberantasan korupsi adalah perdana menteri, bukan 
komisi antikorupsi atau kalau di Indonesia Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 
Karena itu, seorang perdana menteri bersumpah untuk disediakan peti mati bila 
dirinya terlibat korupsi. Ini bukan sekadar komitmen, tetapi benar-benar 
bervisi antikorupsi. 

Apa yang disampaikan sang perdana menteri itu bukan sekadar kampanye politik, 
tetapi benar-benar menjadi garis perjuangannya. Karena itu, tidak heran kalau 
di China para koruptor bisa dihukum mati. 

Ini sangat berbeda dengan di negeri ini. Pemberantasan korupsi belum 
benar-benar menjadi visi yang akan menjadi garis perjuangan para capres bila 
terpilih.

Di China, partai berkuasa yakni Partai Komunis China (PKC) telah bertahun-tahun 
dan terus-menerus mendoktrinkan semua kadernya di semua level bahwa negeri 
China akan bisa diselamatkan dari kebangkrutan bila korupsi bisa diberantas. 
Karena itu, kalau Partai Komunis China dan China tidak mau porak poranda 
seperti negara-negara penganut sistem komunis lainnya, tidak ada pilihan lain 
korupsi harus dibabat habis. 

Dari fakta ini kita bisa mengambil hikmahnya. Lemahnya visi pemberantasan 
korupsi di negeri ini di semua level pemerintahan menjadikan pertumbuhan 
ekonomi rendah dan tingkat kemiskinan absolut masih tinggi. Kita masih 
setengah-setengah dalam pemberantasan korupsi sehingga hasil yang ditunjukan 
belum bisa maksimal. 

Kita bisa membandingkan peningkatan anggaran untuk kabupaten dan kota di era 
reformasi dengan era Orde Baru. Dari jumlah anggaran yang tersedia, saat ini 
anggaran kabupaten dan kota sudah mengalami peningkatan minimal lima kali lipat 
dibandingkan era Orde Baru. Namun, benarkah besarnya anggaran daerah bisa 
menyelesaikan lima kali lipat permasalahan ekonomi di daerah? Jawabnya belum. 
Ini terjadi karena pemberantasan korupsi baru sebatas isu kampanye politik, 
belum menjadi garis perjuangan.

Yang lebih tragis, kini pemberantasan korupsi sedang dalam ancaman. Rancangan 
Undang-Undang Tipikor yang semestinya diselesaikan oleh DPR pada 2009 hingga 
kini belum ada kabar beritanya. Secara matematis RUU Tipikor yang habis masanya 
pada Desember nanti tidak mungkin diselesaikan tahun ini. 

Memang tanpa ada Undang-Undang Tipikor pun pemberantasan korupsi tetap 
berlanjut. Sebab, kasus-kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan 
Korupsi (KPK) bisa dilimpahkan ke pengadilan umum. Hanya, perlu disadari bahwa 
pengadilan umum semakin hari cenderung sangat familier dengan para koruptor.

Kita bisa mengukur kecenderungan tersebut dari beberapa kasus korupsi yang 
divonis oleh lembaga tersebut. Selain menjatuhkan hukuman rendah, kini Mahkamah 
Agung (MA) mewacanakan hukuman percobaan. Ini bukan sekadar wacana, tetapi MA 
telah memvonis dua ketua DPRD Provinsi, yakni Provinsi Jawa Tengah dan 
Kalimatan Timur, untuk kasus korupsi APBD provinsi dengan hukuman percobaan. 

Patut disayangkan, dalam kondisi pemberantasan korupsi yang dalam bahaya 
tersebut ternyata para capres masih ragu-ragu menjadikan pemberantasan korupsi 
sebagai visi utama. 

Capres Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono juga belum berani secara 
terang-terangan seperti kampanyenya Ppartai Demokrat menjelang pemilihan 
legislatif lalu yang dengan tegas mengangkat pemberantasan korupsi sebagai 
salah satu program utama. Mengpaa hal yang sama menjadi melemah di saat 
menjelang pilpres? 

Di saat RUU Tipikor tidak mungkin diselesaikan DPR masa bakti 2004-2009, 
sesungguhnya menjadi peluang bagi SBY untuk segera memunculkan perpu. 
Pemunculan perpu akan menjadi kredit poin bagi SBY untuk bisa memenangkan 
pertarungan Pilpres 2009. Sebab, menyegerakan mengeluarkan perpu akan memberi 
harapan bagi publik bahwa pemberantasan korupsi masih terus dilanjutkan.(*)

*). Jabir Alfaruqi, Koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan 
Korupsi,Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah. 




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke