Luar biasa! Wawancara oleh Tempo ini dengan gamblang, sederhana, lugas, 
menunjukkan kualitas seorang Jusuf Kalla (saya harus menyebutnya: "the real 
president 2004-2009"!)
 
Jawabannya tidak dibuat-buat, tidak menutup-nutupi (ketika Tempo menyentil soal 
bisnis keluarganya dan soal biaya kampanye), tidak sok jaim. Tidak menggunakan 
bahasa-bahasa asing atau jargon-jargon normatif yang hakikatnya tak menjawab 
apa-apa.
 
Jelas wawancara ini juga bukan dari jenis yang diatur (daftar pertanyaan 
diserahkan lebih dulu ke pihak yang diwawancarai, sehingga ybs bisa membuat 
persiapan atau menolak pertanyaan-pertanyaan tertentu yang sulit dijawab). 
 
Satrio
NB: Wawancara ini saya kutip dari posting di bawah:
 
---------- Forwarded message ----------
From: Harman <harman_irawan@ yahoo.com>
Date: 2009/6/1
To: RantauNet <rantau...@googlegro ups.com>



Saya berpendapat, blanket guarantee itu artinya semua masalah 
perbankan—kesulitan cash flow, rugi, dan sebagainya—pada akhirnya ditanggung 
APBN. Ini artinya ditanggung seluruh rakyat. Saya tidak mau kesalahan 
bankir-bankir itu dibebankan ke rakyat. Itu menzalimi rakyat.

Yang ngotot itu Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan.

wassalam,
harman St.Idris


http://majalah. tempointeraktif. com/id/arsip/ 2009/06/01/ WAW/mbm.20090601 
.WAW130468. id.html
Jusuf Kalla:
Jangan-jangan Mau Mempermalukan Saya
 
DIA punya kenangan tersendiri tentang kantor redaksi majalah Tempo. Lima tahun 
lalu, sebelum pemilihan presiden, Ketua Umum Partai Golkar itu berkunjung, dan 
ia terpilih menjadi wakil presiden—mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono. 
Senin pekan lalu, dengan pengawalan jauh lebih ketat dibanding lima tahun 
silam—meski tetap longgar untuk ukuran wakil presiden—ia kembali bertandang ke 
kantor Tempo di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. 
 
”Ruang ini penuh berkah,” kata Jusuf Kalla, 67 tahun—calon presiden yang 
berpasangan dengan Jenderal Purnawirawan Wiranto. Kali ini statusnya penantang 
Yudhoyono. Didahului makan siang dengan menu biasa—nasi sayur asam, ayam 
goreng, ikan bumbu pedas, dan tempe goreng—Jusuf Kalla satu jam lebih meladeni 
pertanyaan tuan rumah. Petugas protokoler Istana Wakil Presiden awalnya meminta 
pertemuan hanya diikuti belasan orang, tapi pada akhirnya ruang rapat redaksi, 
tempat pertemuan digelar, sesak oleh awak redaksi Tempo. 
 
Kalla didampingi Sekretaris Wakil Presiden Tursandi Alwi, juru bicara tim 
sukses JK-Wiranto, Yuddy Chrisnandi, dan beberapa pendukungnya. Seperti biasa, 
Jusuf Kalla menjawab pertanyaan dengan lugas, dan tanpa off the record. 
 
Mengapa Anda memutuskan berpisah dengan SBY? 
Saya sebenarnya siap berkoalisi lagi. Tiga kali saya bertemu SBY 
membicarakannya. Beliau setuju, tapi dengan sejumlah syarat. Kalau melanjutkan 
koalisi, masa perlu syarat-syarat lagi? Itu menandakan beliau mungkin mempunyai 
pandangan lain. Itu hak beliau. Kami hormati. Jadi, kalau begitu, kami jalan 
sendiri saja.
 
Apa saja syaratnya? 
Banyaklah. Misalnya, calon yang diajukan bukan ketua umum partai. Secara 
tersirat, sebenarnya beliau hanya ingin melanjutkan koalisi Demokrat-Golkar, 
bukan SBY-JK. Calon yang diajukan juga harus loyal. Sebenarnya loyal tidak 
masalah, tapi pada negara, bukan pribadi. Apa pernah saya tidak loyal?
Golkar juga diminta mengajukan lima nama. Aneh, kalau memang mau melanjutkan 
koalisi, mengapa minta lebih dari satu nama? Jangan-jangan ini mau 
mempermalukan saya. Bagi Golkar, ini tidak sesuai dengan rapat pimpinan 
nasional yang telah memutuskan satu nama.
 
Apa yang Anda katakan ketika menyatakan berpisah? 
Tidak ada perpisahan resmi sebenarnya, karena memang begitulah politik. Tapi, 
ketika saya serahkan surat resmi di Istana, kami berdua terharu. Sampai kita 
peluk-pelukan berdua: kenapa akhirnya begini?
 
Slogan kampanye Anda ”Lebih Cepat, Lebih Baik” membuat SBY tersinggung? 
Ya, katanya seperti itu. Padahal, yang saya maksud lebih cepat lebih baik bukan 
masalah pribadi. Ini menyangkut kepemimpinan, pengelolaan bangsa, dan program 
pemerintah. Bisa tercapai lebih cepat kan lebih baik? Jangankan negara, salat 
pun lebih cepat lebih baik. Namanya politik, masa kita mau bilang ”lebih 
lambat, lebih baik”? 
Saya tidak pernah memperhatikan partai lain, saya selalu memperhatikan diri 
saya. Jangan, dong, mengontrol apa yang mau kita bilang. Itu kan tidak bagus? 
Namanya kampanye, kita harus jual yang terbaik, kan? Kita harus menjual solusi.
 
Itu menohok SBY, yang dikenal lambat karena terlalu banyak pertimbangan. ... 
Masing-masing orang kan berbeda, kita maklum saja. 
 
Rapat kenaikan BBM sampai perlu dilakukan 12 kali? 
Ya, mungkin dibutuhkan pertimbangan yang matang. Saya pikir itu gaya hati-hati 
yang baik. Mungkin belum tentu efektif, tapi penuh kehati-hatian itu penting 
juga.
 
Dalam beberapa kasus Anda berseberangan dengan Boediono, waktu itu Gubernur 
Bank Indonesia. Misalnya soal blanket guarantee setelah muncul kasus Bank 
Century? 
Saya berpendapat, blanket guarantee itu artinya semua masalah 
perbankan—kesulitan cash flow, rugi, dan sebagainya—pada akhirnya ditanggung 
APBN. Ini artinya ditanggung seluruh rakyat. Saya tidak mau kesalahan 
bankir-bankir itu dibebankan ke rakyat. Itu menzalimi rakyat.
Berdasarkan pengalaman pada 1998, blanket guarantee itu justru merugikan, tidak 
memberikan hal positif. Saya lalu kasih data, statistik, grafik, kepada 
Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan. Saya bilang tidak, karena bisa 
menimbulkan krisis kedua. Semua negara yang memberikan blanket guarantee, 
seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, pertumbuhan ekonominya minus.
 
Siapa yang mengusulkan blanket guarantee? 
Macam-macam, Kadin, pihak perbankan, semua memberikan usulan. Yang ngotot itu 
Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan.
 
Sikap SBY bagaimana? 
Menteri Keuangan mengatakan (sikapnya) sudah disetujui Presiden. Saya lalu 
setuju, tapi hanya Rp 2 miliar. Itu bukan blanket guarantee, tapi jaminan 
perbankan. Kepada Gubernur Bank Indonesia saya bilang, jangan seenaknya saja: 
mengawasi perbankan tapi mengorbankan rakyat.
 
Apa alasan Gubernur Bank Indonesia? 
Katanya untuk kestabilan moneter, agar perbankan jalan. Itu cara normatif: 
ciri-ciri monetaris. Saya bilang tidak.
 
Bukankah BI tidak perlu datang ke presiden? 
Ini menyangkut jaminan negara, artinya rakyat yang menjamin. Akibatnya, kita 
bisa kekurangan anggaran pendidikan, kesehatan, perbaikan jalan. Sama seperti 
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, rakyat harus menanggung 50 tahun.
 
Bisa dibilang itu titik balik hubungan Anda dengan SBY? 
Saya tidak mengatakan itu. Tapi, untuk persoalan itu, saya memang keras sekali. 
Sampai ada yang taruhan: siapa yang benar, Wakil Presiden atau yang lain. 
Kenyataannya sampai sekarang perbankan tetap aman.
 
Direktur Utama Bank Century dipenjarakan setelah itu? 
Ya. Saya juga yang memerintahkan agar dia ditangkap. Waktu itu Bank Indonesia 
mengatakan tidak bisa karena tidak ada hukumnya. Saya bilang, mengapa tak bisa. 
Polisi harus mencari (dasar) hukumnya.
 
Dalam hal apa lagi perbedaan Anda dengan Boediono? 
Dalam banyak hal saya selalu ingin pemerintah itu mencari jalan. Menteri dan 
Wakil Presiden kan harus memiliki target. Target itu harus diraih dengan segala 
upaya. Kalau ada aturan yang tidak sesuai, aturannya yang diperbaiki, bukan 
targetnya yang dihentikan. Nah, Pak Boediono itu taat aturan. Itu gaya eselon 
dua atau kepala biro. Kalau menteri, seharusnya bikin terobosan.
 
Apakah SBY tidak pernah menengahi perbedaan Anda dengan Boediono? 
Secara terbuka SBY tidak pernah memberikan pandangan.
 
Dalam proyek monorel, Anda dan Boediono juga bertentangan? 
Proyek monorel itu proyek DKI yang diresmikan pada zaman Ibu Mega. Waktu itu 
Boediono Menteri Keuangan, dan saya Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. 
Kemudian proyek ini terbengkalai. Perusahaan private partnership tidak punya 
kemampuan finansial. Mula-mula biayanya US$ 800 juta. Saya bilang itu 
kemahalan, bisa turun jadi US$ 400 juta. 
Untuk transportasi publik, pemerintah harus terlibat. Caranya dengan memberikan 
jaminan untuk pemerintah DKI. Lalu DKI menjamin ke investor, itu harus punya 
penumpang sekian. Karena mereka tak punya hak menjamin, Menteri Keuangan harus 
menjaminnya. Jadi, Menteri Keuangan itu menjamin pemerintah DKI, bukan menjamin 
swasta.
 
Bagaimana soal listrik? 
Kalau kita tidak membangun pembangkit listrik dua tahun lalu, tahun ini 
Indonesia gelap-gulita. Subsidinya bisa Rp 100 triliun karena memakai diesel. 
Saya dulu bilang, bangun pembangkit listrik dengan batu bara. Listrik ini luar 
biasa, dalam satu tahun bisa kembali modal. Subsidi untuk listrik Rp 80 triliun 
pada 1998. Dengan membangun senilai itu, subsidi langsung turun menjadi Rp 10 
triliun. Tapi, karena tak punya uang, ya harus meminjam dulu dengan jaminan 
negara. Itu tanda tangani saja, pembayarannya pasti tak akan (melewati masa) 
jatuh tempo.
 
Waktu itu dianggap menabrak undang-undang? 
Bukan, cuma keputusan presiden atau malah keputusan menteri. Saya bilang, ubah 
saja aturannya. Dalam waktu satu hari, aturan berubah. Mereka yang menolak dulu 
berpikir bahwa pemerintah jangan campur tangan. Semua diserahkan ke pasar.
 
Ciri neoliberal? 
Saya tak bilang begitu, ya. Yang bilang itu Anda.
 
Anda memang cepat, tapi keputusannya dianggap menguntungkan perusahaan-perusaha 
an keluarga Anda? 
Siapa? Coba tunjukkan! 
 
Bosowa Energi dalam proyek listrik itu?
Bosowa itu IPP (independent power producer alias pengembang listrik swasta). 
Itu siapa saja boleh. Masa, bisa dibilang diskriminasi? Justru kita harus 
angkat topi pada pengusaha yang mau mengambil risiko. Kita harus hormat pada 
kemenakan saya yang mau ambil risiko itu. (Erwin Aksa, keponakan Jusuf Kalla, 
memimpin Grup Bosowa, yang berencana membangun pembangkit listrik di Sulawesi 
Selatan—Red.)
 
Bukaka Teknik juga pernah menangani proyek menara listrik? 
Itu juga IPP, boleh-boleh saja, dong. Bukaka itu perusahaan pertama di 
Indonesia yang mampu membuat menara listrik. Anda boleh bangga. Dulu menara 
listrik itu diimpor, sekarang tidak. Garbarata (jembatan antara terminal dan 
pesawat) juga begitu. Kalau kita bicara kemandirian, mestinya Bukaka dapat 
bintang.
 
Bisnis mengandalkan pasokan informasi paling cepat. Bukankah perusahaan 
keluarga diuntungkan dengan posisi Anda? 
Apa contohnya? Kalau khawatir tanpa contoh, kan tak enak?
 
Kasus helikopter yang dulu hendak disewakan ke Badan Penanggulangan Pengungsi? 
Helikopter itu bukan milik pemerintah, milik sendiri. Masa, tidak boleh 
berdagang milik sendiri?
 
Bisnis keluarga Anda itu dikritik Boediono.... 
Coba tunjukkan satu yang saya campuri. Jangan lupa, bisnis keluarga saya 95 
persen berurusan dengan masyarakat. Cuma 5 persen yang mungkin tender dengan 
pemerintah.
Kalau famili tidak boleh berbisnis lagi, itu bahaya sekali. Latar belakang saya 
pengusaha, adik pengusaha, bapak pengusaha. Sama saja dengan Pak SBY: beliau 
jenderal, bapaknya tentara, mertua tentara, adik tentara, anak juga tentara. 
Kita tak bisa mengatakan itu kolusi atau nepotisme, kan?
 
Jadi, apa batas keluarga pejabat bisa berbisnis? 
Selama tidak melanggar hukum. Selama dia mengikuti aturan tender. Jangan lupa, 
informasi tentang tender itu terbuka sekali.
 
Kalau Anda menang, apa yang akan berubah? 
Kecepatan dan pertumbuhannya. Kami sanggup mencapai target pertumbuhan ekonomi 
8 persen, asalkan melaksanakan terobosan. Kita percepat infrastruktur, percepat 
proses bisnis yang lambat.
 
Target Anda berapa hari doing business? 
Saya sanggup 50 hari. Malaysia kan 30-an? Soal izin, terutama, kita percepat. 
Soal kemampuan bank mempercepat kredit. Soal aturan, hukum, akan saya periksa 
dengan detail. Dulu itu saya tangani, tapi kemudian dipindah ke Menteri 
Koordinator Perekonomian.
 
Berapa modal Anda jadi presiden? 
Pada 2004 kami termasuk yang paling kecil biayanya, tapi bisa menang.
 
Berapa sih dana minimum agar terpilih? 
Ya, tergantung. Sama saja dengan makan, kita bisa kenyang dengan nasi bungkus 
Rp 20 ribu, juga bisa tidak kenyang dengan makanan Jepang Rp 1 juta. Pada 2004 
, total biaya yang kami keluarkan Rp 120 miliar. Sekarang dua kali lipatnyalah. 
Itu karena semua mahal, termasuk iklan di media massa.
 
Kenapa tidak memilih Prabowo yang kaya sebagai pasangan? 
Kami memilih yang cocok, bukan yang banyak uangnya. Lagi pula, beliau ingin 
jadi presiden waktu itu.
 
Bagaimana peluang Anda menjadi pemenang? 
Ha-ha-ha.... Begini, terus terang saya surprise dengan dukungan satu minggu 
terakhir ini. Banyak yang mengira pemilihan presiden itu penjumlahan suara 
hasil pemilu legislatif. Ini keliru sekali. Pemilihan presiden itu soal figur. 
Mulai dari leadership, track record, kemampuan, kaya, macam-macam. Ditambah 
faktor politik, berapa partainya. Partai pun tidak semua loyal. Kami ini 
Pasangan Nusantara, itu kan berarti kulturalnya melebar. Ditambah lagi 
hubungan-hubungan keagamaan. Jadi, kami yakin mempunyai kemampuan.
 
Di Golkar, Anda juga tidak didukung penuh. Misalnya Aburizal Bakrie menggelar 
pertemuan membahas percepatan Musyawarah Nasional Golkar? 
Saya harus mengklarifikasi, tidak ada satu pun pembicaraan tentang musyawarah 
nasional dalam pertemuan itu. Mereka hanya membahas solidaritas membantu 
SBY-JK. Memang ada pihak yang berkampanye, nanti kalau diadakan musyawarah 
nasional, dukung-dukunglah. Musyawarah nasional kira-kira November-Desember.
 
Anda tidak melihat Aburizal, Akbar Tandjung, dan Agung Laksono yang dikenal 
sebagai Trio Alpha ingin menggusur Anda? 
Mau trio-trio apalah, ya..., silakan aja. Kalau kami menang, mau apa mereka?
 
Alasan mereka kan tidak mau Golkar menjadi oposisi nanti.... 
Kalau kami menang, kan tidak menjadi oposisi? Itu salah pemikirannya, belum 
bertanding sudah merasa kalah.
 
Suasana kabinet sekarang seperti apa? 
Sudah agak lama tidak ada sidang kabinet.
 
Tidak diundang lagi? 
Kalau di paripurna, saya diundang. Kalau yang terbatas, saya tidak tahu, cuma 
lihat di koran. Namanya wakil kan terserah presidennya. Ndak usah maksa-maksa. 
Kalau memang tidak boleh, ya sudah.
 
Apakah tidak sebaiknya Anda nonaktif sebagai wakil presiden? 
Saya dipilih berdua oleh 70 juta orang. Kalau saya diangkat, boleh saja. Ini 
kan dipilih, rakyat bisa marah kalau kami mundur.
 
Oke, tolong jawab dalam kalimat singkat: mengapa JK-Wiranto layak dipilih? 
Karena dengan pengalaman, kami sanggup membuat bangsa ini menjadi lebih baik.
 
 
 
 
Jusuf Kalla Lahir: Watampone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1942 Pendidikan: 
Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Makassar, 1967 | The European 
Institute of Business Administration Fountainebleu, Prancis (1977) Karier: 
2004-2009: Wakil Presiden RI | 2001-2004: Menteri Koordinator Bidang 
Kesejahteraan Rakyat | 1999-2000: Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI | 
1968-2001: Direktur Utama NV Hadji Kalla | 1969-2001: Direktur Utama PT Bumi 
Karsa | 1988-2001: Komisaris Utama PT Bukaka Teknik Utama | 1988-2001: Direktur 
Utama PT Bumi Sarana Utama | 1993-2001: Direktur Utama PT Kalla Inti Karsa | 
1995-2001: Komisaris Utama PT Bukaka Singtel International
 
 
 


--~--~------ ---~--~-- --~------ ------~-- -----~--~ ----~
. 
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain harap mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet http://groups. 
google.com/ group/RantauNet/ ~ 

 


















      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke