Refleksi : Negara berpenguasa nepotis  feodal kleptokratik mana bisa ada 
kemajuan.


http://www.sinarharapan.co.id/cetak/detail-cetak/article/debat-cawapres-menimbulkan-rasa-miris/

Rabu, 24 Juni 2009 13:51 
Debat Cawapres Menimbulkan Rasa Miris 



     
Kita sangat miris melihat debat tiga calon wakil presiden pada Selasa (23/6) 
malam. Perdebatan sepanjang dua jam itu, sekali lagi menunjukkan  kita masih 
belum beranjak dari persoalan lama. Padahal, Indonesia sudah merdeka  64 tahun 
yang lalu.


Bagaimana tidak miris bila muncul pengakuan bahwa sektor pendidikan memang 
masih harus dibenahi. Ironisnya, selain pendidikan masih ada sektor lain yang 
membutuhkan perhatian mendalam. Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah 
negara ini sudah dikelola dengan benar? Mengapa sektor-sektor primer kurang 
ditangani dengan saksama? Apakah ada kesengajaan untuk menggeser target utama 
agar Indonesia tak bisa menjadi negara maju? Sekalian problem yang dihadapi 
bangsa ini merupakan warisan masa lalu. Sayang persoalan itu tak dipecahkan 
karena keburu datang persoalan lain yang tidak kalah peliknya.  


Pemerintahan Presiden Soekarno disibukkan dengan persoalan khas negara yang 
baru merdeka, yakni upaya menata bentuk sistem politik dan pemerintahan yang 
tepat. Pemerintahan juga direpotkan dengan kegiatan   disintegrasi bangsa yang 
penyelesaiannya memerlukan waktu, tenaga dan biaya. Problem utama tampaknya 
berawal dari pemerintahan Presiden Soeharto. Pemerintah yang dimotori 
sekelompok ekonom domestik, dengan bantuan penasihat dan pengusaha asing 
membangun perekonomian dengan pinjaman luar negeri dan investasi asing. 


Tidak ada yang salah dengan pola pembangunan seperti itu. Ia bermasalah bila 
utang dan investasi asing terus-menerus menjadi motor pembangunan. Ia 
bermasalah jika persyaratan untuk mendapat utang dan investasi asing dipenuhi, 
kendati pun merugikan rakyat dan dunia usaha lokal. Seharusnya penggunaan 
pinjaman dan investasi asing mempunyai batas dan toleransi, baik dari sisi 
jumlah maupun jangka waktu. Ia harus  dikurangi dan penggantinya adalah 
produktivitas masyarakat serta  penggunaan  sumber daya alam secara efektif dan 
efisien.    Jumlah utang luar negeri terus bertumbuh hingga menjerat. Bagaimana 
tidak menjerat jika untuk membayar utang bunga dan pokok pinjaman yang jatuh 
tempo, kita harus berutang lagi. 


Kita pun harus mengikuti arus globalisasi yang ditiupkan negara-negara donor. 
Program globalisasi ini pada intinya membuka pintu seluas-seluasnya bagi 
investasi asing di segala bidang. Tak ada yang salah dengan mengikuti arus 
globalisasi, asalkan kita memiliki keteguhan untuk mengatakan tidak jika 
kepentingan nasional terganggu.


Kenapa masyarakat tidak produktif?
Kita kurang memberi perhatian yang memadai terhadap sektor pendidikan. Sektor 
ini lebih banyak menjadi pokok diskusi ketimbang mewujudkannya menjadi motor 
pembangunan. Bandingkan dengan Jepang dan Korea Selatan. Kedua negara ini 
berhasil menjadi negara maju karena memberi perhatian serius terhadap sektor 
pendidikan. 


Sektor pendidikan juga membangkitkan karakter dan jati diri bangsa. Melalui 
pendidikan yang tepat, anak didik memiliki semangat nasionalisme seperti yang 
dimiliki para pendiri bangsa. Bukan anak didik yang terlalu toleran dan 
berbangga dengan hal-hal yang serbaluar negeri. Jadi, siapa pun yang akan 
memerintah pada 2009-2014 selayaknya mejadikan sektor pendidikan sebagai 
prioritas utama. Lantaran sektor ini yang akan menyelamatkan nasib bangsa di 
masa depan. Berkat pendidikan yang maju, bangsa Indonesia tak lagi bersandarkan 
kepada ekspor sumber daya alam, tetapi intelektualitas.
Kita juga harus menyadari bahwa pergantian pemerintah tidak mengubah tim 
ekonomi. 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke