http://www.mediaindonesia.com/read/2009/06/06/82099/70/13/Debat-Capres-Judul-tanpa-Teks
Debat Capres Judul tanpa Teks Jumat, 26 Juni 2009 00:01 WIB Ppara calon presiden berlangsung di studio Metro TV tadi malam. Tidak banyak berubah dari debat pertama seminggu yang lalu terutama yang menyangkut substansi. Bagi mereka yang menginginkan debat dengan perdebatan, memang, tidak tersaji dalam debat tadi malam. Yang ada, cuma sedikit kelakar yang kemudian bermuara pada kesepakatan 'me too'--saya juga begitu. Tidak ada perbedaan tajam tentang arah dan substansi debat di antara ketiganya yang membuat pemilih tahu mengapa memilih Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, atau Jusuf Kalla. Agaknya dengan satu debat tersisa, keinginan untuk memperoleh debat bermutu sulit terpenuhi. Memang harus diakui berdebat dengan waktu yang sangat terbatas tidaklah gampang. Tetapi untuk mereka yang memberanikan diri menjadi presiden dengan tim sukses yang besar dan banyak, tidak ada kata maaf untuk tidak bisa menghadirkan perdebatan bermutu. Dua debat yang sudah berlangsung mengindikasikan dengan sangat jelas bahwa para kandidat tidak cukup siap dengan detail. Mereka hanya siap dengan pikiran-pikiran besar dan normatif. Seperti tingkatkan pertumbuhan, tekan pertambahan penduduk, menyejahterakan petani, mengendalikan inflasi, memerangi kemiskinan. Tetapi tidak terlalu cekatan ketika berbicara tentang bagaimana semua itu bisa dicapai. Debat mereka seperti pengungkapan daftar keinginan yang tergagap-gagap ketika diminta menjelaskan bagaimana merealisasi keinginan itu. Atau seperti sebuah judul tanpa teks. Kita hanya disajikan judul, tetapi meraba-raba sendiri tentang isinya karena kehilangan teks itu. Sebuah perdebatan seharusnya menghadirkan perlawanan. Ada pikiran di seberang sana yang harus ditangkis atau dilawan dengan pemikiran di sebelah sini. Bila semua pemikiran berada dalam jalur yang sama, kita kehilangan perbedaan. Dan karena itu kehilangan alasan untuk memilih. Toh semuanya sama. Terlihat sekali bahwa para kandidat tidak santai menghadapi debat. Mega tegang, Yudhoyono waswas, dan Kalla khawatir. Para kandidat menghadapi debat dengan beban seperti seorang calon doktor yang ingin mempertahankan disertasi dengan target cum laude. Format debat terlalu akademik sehingga pikiran-pikiran genuine dan perilaku apa adanya dari kandidat tidak muncul. Semuanya takut melakukan kesalahan. Padahal ada juga kesalahan yang mengandung kecerdasan. Misalnya ketika Jusuf Kalla membuka sepatu di depan publik untuk memperlihatkan merek JK collection. Membuka dan memamerkan sepatu di depan publik melanggar sopan santun. Tetapi ternyata hal itu mengundang impresi yang luas. ++++ http://www.mediaindonesia.com/read/2009/06/06/80314/70/13/Kampanye-Saling-Serang Kampanye Saling Serang Rabu, 17 Juni 2009 00:00 WIB MASA kampanye pemilihan presiden kini telah memasuki pekan ketiga. Dengan berbagai cara, para capres/cawapres beserta tim sukses masing-masing berkampanye untuk merebut simpati pemilih yang diperkirakan mencapai 176 juta orang. Meski telah memasuki lebih dari setengah masa kampanye, publik belum disuguhi kampanye yang berkualitas dan bermartabat. Yang ditebar justru racun politik yang tidak sehat bagi rakyat lewat kampanye saling serang dan saling klaim kesuksesan. Padahal, tim sukses ketiga capres maupun cawapres telah berjanji tidak ingin larut dalam strategi saling serang. Mereka berkomitmen untuk menghindari konflik dan menjatuhkan citra lawan. Bahkan, para capres dan cawapres dalam berbagai kesempatan juga lantang mengumandangkan hal serupa. Namun, fakta berbicara lain. Saling sindir, saling menjatuhkan, saling menjelek-jelekkan, saling klaim keberhasilan menjadi menu utama kampanye para capres/cawapres beserta tim sukses masing-masing. Sejumlah isu pun disodorkan ke ruang publik mulai dari masalah neolib, kuda seharga miliaran rupiah, pengusaha menjadi penguasa, jilbab, hingga sejarah kelam masa lalu. Bahkan, isu berbau SARA pun ikut terangkat. Lantaran sudah menyerempet ke persoalan sensitif, salah satu pasangan capres/cawapres terpaksa mencopot dua penyokongnya dari tim kampanye nasional. Kampanye saling serang tidak cuma giat dilakukan anggota tim sukses capres, para kandidat pun getol melakukannya. Capres Partai Demokrat SBY, misalnya, di Kupang Minggu (14/6), menyebutkan visi dan misinya yang menolak kapitalisme untuk menepis tudingan neolib. SBY pun mengobral wacana, "Kita tidak suka kapitalisme global. Kita juga tidak ingin ada kapitalisme rambut hitam." SBY kemudian menambahkan, "Kalau janji, semua orang bisa; saya lebih baik, saya lebih cepat. Jangan terlalu mudah bikin janji." Pada saat yang sama, capres Partai Golkar dan Hanura Jusuf Kalla di Padang mengatakan moto 'lebih cepat, lebih baik' sangat diperlukan untuk mengejar ketertinggalan bangsa ini dari negara-negara tetangga. Lain halnya dengan capres PDIP dan Gerindra Megawati Soekarnoputri. Saat kampanye di Malang, Jawa Timur, Minggu (14/6), Mega mengklaim keberhasilan Jembatan Suramadu. "Yang buat tiang pancangnya itu adalah Ibu Presiden Megawati. Sekarang, jangan dilihat jembatan sudah jadi dan berdiri megah, tapi siapa yang mengawali." Kampanye adalah bagian dari pendidikan politik. Melalui kampanyelah mestinya tiap calon presiden/wakil presiden mengedepankan visi, misi, dan program masing-masing. Seranglah visi, misi, dan program itu dengan data dan argumentasi yang cerdas. Tapi yang terjadi justru kampanye negatif, baik yang dikemas dalam bentuk berita, iklan politik, maupun 'talk show', yang sangat jelas tidak memberikan pendidikan politik kepada publik. Rakyat tidak dibuat cerdas dengan kampanye jorok itu. Publik semestinya diberi ruang pilihan, mana program yang terukur dan terarah beserta alternatif kebijakan yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak serta mampu mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Bukan dengan adu kampanye negatif, menjatuhkan saingan dengan segala cara. Itu kekanak-kanakan. Malu ah.... Beban lain yang terlihat adalah para kandidat terbelenggu oleh hukum televisi yang sangat mengutamakan show. Karena kesadaran tentang show, capres memaksa diri untuk tampil impresif dan mengabaikan aspek ekspresif. Padahal sebuah debat televisi yang bertujuan untuk menaikkan elektabilitas, ekspresi tentang substansi, dan content adalah penting. Impresi yang dibangun tanpa ekspresi tidak bertahan lama. Lebih dari itu, sebuah perdebatan calon pemimpin tertinggi bangsa haruslah mengandung aspek pencerdasan. Karena itu perdebatan harus ada dan lahir dari debat itu. Bila debat hanya menghadirkan daftar keinginan, sama dengan membeli buku yang cuma mencantumkan judul tanpa teks. [Non-text portions of this message have been removed]