Refleksi : Tanah Papua bukan saja sangat luas (20% dari wilayah NKRI) tetapi juga sangat kaya raya dengan berbagai keyaan alam dan oleh karena itu sangat dibutuhkan atas dasar dan lambang negara kesatuan harga mati guna memperkaya penguasa bukan untuk kepentingan rakyat Papua.
http://www.sinarharapan.co.id/cetak/detail-cetak/article/perlu-paradigma-baru-untuk-papua/ Rabu, 01 Juli 2009 16:02 Perlu Paradigma Baru untuk Papua Jakarta - Konflik di Papua masih menjadi persoalan karena belum berubahnya paradigma pemerintah pusat. Hingga kini pemerintah masih melihat konflik yang muncul di Papua dilatarbelakangi gerakan separatisme. Demikian pernyataan Muridan S Widjojo, salah satu penulis buku Papua Road Map dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (30/6). Selain oleh Muridan, buku itu juga ditulis Adriana Alisabeth, Amiruddin Al Rahab, Cahyo Pamungkas, dan Rosita Dewi. Acara tersebut juga dihadiri Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono. "Pemerintah masih memandang konflik Papua dari kacamata pemerintah. Budaya meneror harus diakhiri," katanya. Menurut peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) tersebut, saat ini pemahaman yang utuh tentang akar ma-salah di Papua dan hubungannya dengan eksistensi Undang-Undang (UU) tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua sangat dibutuhkan. Upaya masyarakat sipil dan kemauan politik pemerintah pusat untuk mengambil langkah yang baru dan mendasar dalam mengatasi kebuntuan proses politik penyelesaian masalah Papua juga sangat diperlukan. Adriana Elisabeth salah satu penulis dalam buku itu juga menambahkan, UU Otsus Papua yang diharapkan dapat mengakomodasi tuntutan rakyat Papua, ternyata belum dapat direalisasikan. Sementara itu, proses dan hasil implementasinya terus dipersoalkan oleh kalangan dalam dan luar negeri. "Hal tersebut tampak dalam aksi-aksi politik yang terjadi secara sporadis di Papua, yang kadang diwarnai kekerasan. Hal itu terus terjadi, padahal UU Otsus sudah tujuh tahun diberlakukan,"tegasnya. Empat Sumber Dalam buku itu disebutkan, ada empat sumber konflik. Pertama, sumber marjinalisasi dan efek diskriminatif terhadap orang asli Papua akibat pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi masal di Papua tahun sejak 1970. Kedua, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga adalah adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. Masalah ini hanya bisa diselesaikan dengan dialog seperti yang sudah dilakukan untuk Aceh. Isu keempat adalah pertanggungjawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap warga Papua. Oleh karena itu, jalan rekonsiliasi di antara pengadilan hak asasi manusia dan pengungkapan kebenaran adalah pilihan-pilihan untuk penegakan hukum dan keadilan bagi Papua, terutama keluarga korban dan seluruh rakyat Papua. Sementara itu, Menhan Juwono mengharapkan, jika ada tindakan represif yang dilakukan aparat keamanan, warga diharapkan tidak memelintir persoalan sehingga menjadi sebuah kebrutalan. "Pekerjaan rumah yang paling sulit adalah membangun pemerintahan yang mencakup adat-istiadat setempat," kata Juwono.(tutut herlina) Kembali ke : Cetak [Non-text portions of this message have been removed]