http://www.beritaja tim.com/detailne ws.php/6/ Politik_& _Pemerintahan/ 
2009-07-10/ 39441/Saling_ Telpon_di_ Republik_ Harry_Potter

Saling Telpon di Republik Harry Potter

10 Juli 2009 15:30:11 WIB
Reporter : Oryza A. Wirawan

Surabaya (beritajatim. com) - Sudahkah Anda menelpon pesaing Anda? Sudahkah 
Anda ditelpon rival Anda? Dua pertanyaan itu, saya kira, paling populer di 
kalangan wartawan, terutama televisi, pasca pemilihan presiden. Dalam dunia 
politik kita yang terbiasa dengan pertempuran yang keras dan memasuki zona zero 
sum game (yang satu mengeliminasi yang lain), urusan telpon-menelpon memang 
termasuk baru.

Telpon dalam komunikasi politik menjadi penanda bagi kenegarawanan dan 
kebesaran hati: menerima kekalahan dan menyambut kemenangan pihak yang lain. 
Ini mengadaptasi kultur pemilihan presiden di sejumlah negara demokrasi 
lainnya, seperti Amerika Serikat. Sebuah adaptasi yang memang sangat diperlukan 
oleh bangsa ini.

Pengamat politik Hermawan Sulistiyo pernah mengatakan, bahasa di nusantara 
tidak pernah mengenal kosakata 'sportif'. Jika bahasa adalah refleksi 
mentalitas budaya, maka dengan sendirinya masyarakat kita tak mengenal apa itu 
arti sportivitas: yang menang jumawa, yang kalah dongkol dan menyimpan dendam. 
Maka, dalam konteks ini, telpon menjadi penting, karena ini penanda baru dalam 
budaya politik kita.

Pertanyaan itu akhirnya terjawab Kamis (9/7/2009). Di hadapan sorotan kamera 
televisi dan para wartawan yang menyodorkan alat perekam suara, SBY berbicara 
dengan JK melalui ponsel. Suara JK tak terdengar, dan SBY lebih banyak 
mendominasi pembicaraan. Namun dari situ terbaca: seorang rival mengucapkan 
selamat kepada pihak yang menang.

Orang tertawa senang. Politisi dan pengamat beramai-ramai memuji kenegarawanan 
dua sekawan yang kemudian menjadi seteru itu. Pertarungan pilpres tidak 
kebablasan ternyata. Jika ini film Hollywood: ini happy ending. Perang telah 
selesai. Kain layar diturunkan. Tamat.

Abraham Lincoln, seorang Presiden Amerika Serikat, sebagaimana dikutip Barack 
Obama, mengatakan: 'Kita bukanlah musuh tapi teman. Meskipun mungkin sangat 
bersemangat, kita tidak boleh kebablasan sehingga merusak persahabatan kita.'

Tapi apakah yang 'kebablasan' itu? Di Amerika Serikat, menurut Evan Thomas dari 
Newsweek, bagi rakyat yang sudah bosan dengan pertikaian partisan, kata-kata 
Obama tersebut menerbitkan harapan saat disampaikan di malam pemilihan.

Namun di Indonesia, 'kebablasan' menjadi tafsir karet yang justru melupakan 
realitas pemilu sebagai proses politik yang karut-marut dan sengkarut di 
sana-sini. Meminjam dari posmodernis Prancis, Jean Beaudrillard, realitas 
politik pemilu Indonesia saat ini tak ubahnya simulakra: satu realitas 
berduplikasi dan menumpuki realitas sebelumnya, sehingga realitas paling 
mendasar tak lagi tampak di permukaan.

Layar televisi adalah lokomotif penciptaan jagat simulakra politik Indonesia. 
Begitu hasil hitung cepat menempatkan pasangan SBY-Boediono, media massa, 
terutama televisi, beramai-ramai memproduksi 'drama': suasana kegembiraan kubu 
SBY di berbagai penjuru nusantara, suasana di kubu JK dan Mega, SBY memberikan 
pidato bernada kemenangan, dan dipungkasi dengan tontonan 'ucapan selamat dari 
JK untuk SBY'.

Layar televisi membuat rakyat seperti terkena amnesia, bahwa sebelum pemungutan 
suara digelar, kita diributkan oleh masalah ketidakberesan daftar pemilih 
tetap. Ada setidaknya 11 juta nama bermasalah dalam DPT di 70 kota di Jawa 
saja. Sebuah angka yang luar biasa, yang seharusnya membuat kita bertanya dan 
terus menggali: benarkah ini kesilapan belaka atau memang kesengajaan 
sistematis. Namun pertanyaan ini seperti agaknya cenderung diabaikan, dan 
televisi lebih suka menayangkan 'drama' perseteruan kubu SBY melawan JK dan 
Mega, di mana pihak pertama menuding dua seteru lainnya sudah kebablasan dan 
tak siap kalah.

'Drama' hitung cepat juga membuat orang lupa, bahwa substansi demokrasi bukan 
pada urusan menang-kalah. Pemilihan presiden memang pada akhirnya harus 
menyediakan satu pasang pemenang. Namun, itu seharusnya tidak lantas membuat 
orang alpa, untuk mengamati persoalan-persoalan yang terjadi di TPS-TPS. 
Tertangkapnya pemilih ganda, pemilih bawah umur, orang-orang yang gagal 
mencontreng, 'serangan fajar', semuanya justru tenggelam di bawah gegap-gempita 
drama 'kemenangan dahsyat SBY-Boediono dalam hitung cepat'.

Repotnya, para pengamat politik malah terlarut dalam drama ini, dengan lebih 
tertarik bicara soal mengapa SBY-Boediono menang telak, gagalnya 
NU-Muhammadiyah mendukung JK, atau urusan angka menang dan kalah ketimbang, 
misalnya, mengingatkan bahwa sebagai proses politik, pemilu kali ini menyimpan 
persoalan serius.

Terus terang, saya khawatir dengan drama-drama yang menciptakan jagat simulakra 
politik. Dalam sebuah masyarakat yang tidak kritis, apatis terhadap kehidupan 
politik, dan lebih menyukai citra sebuah tontonan, drama-drama itu berpotensi 
menciptakan kesadaran palsu.

Noam Chomsky, seorang akademisi 'kiri' Amerika Serikat, mengatakan, apa yang 
ditayangkan media massa bukan hanya desain sadar, tapi juga konsekuensi dari 
tuntutan bisnis mereka. Media lebih suka menyajikan apa yang menguntungkan 
bisnis mereka, dengan meminggirkan gambaran akurat tentang bagaimana realitas 
sesungguhnya.

Di Indonesia, media massa melakukan apa yang disebut Chomsky sebagai 
manufacturing consent, melakukan fabrikasi kesadaran, sehingga publik memandang 
bahwa pemilu sudah berjalan sebagaimana harusnya. Itu lebih menguntungkan, 
karena menjaga stabilitas pemerintahan yang baru lebih bagus bagi bisnis, 
daripada menjadikan media sebagai alat untuk membangun kesadaran kritis 
terus-menerus dalam demokrasi.

Pada akhirnya, kesadaran hasil pabrikasi media melalui drama-drama ini akan 
memunculkan kategorisasi politik yang tak mendidik. Di satu sisi, setiap upaya 
untuk menunjukkan penyimpangan dalam pelaksanaan pemilu akan dianggap sebagai 
kecerewetan dan ketidakbesaran hati menerima kekalahan. Di sisi lain, 'drama 
telpon politik antara SBY-JK' adalah simbol kesantunan dan keberadaban yang 
semestinya. Padahal, kategorisasi tersebut menyimpan kontradiksi: penyimpangan 
proses pemilu tak ada kaitannya dengan kebesaran hati menerima kekalahan. Itu 
dua hal yang jauh berbeda, namun orang sering mengaitkannya secara serampangan.

Jadi, saya kira, semua pihak memang harus berbesar hati menerima kemenangan 
SBY-Boediono dan mengucapkan selamat kepadanya. Namun itu tidak kemudian 
membuat kita kehilangan nalar kritis dan melupakan, bahwa pemilu kali ini 
memiliki persoalan besar dalam proses penyelenggaraannya. Menjaga nalar kritis 
menjadi penting sebagai dasar bagi kita, untuk mengantisipasi pemilu lima tahun 
mendatang agar tak mengulang kesalahan serupa.

Dalam konteks ini, saya sebetulnya lebih suka, jika Jusuf Kalla atau Mega 
memberikan ucapan selamat kepada SBY-Boediono, setelah Komisi Pemilihan Umum 
mengumumkan hasil penghitungan resminya. SBY juga tak perlu terburu-buru bikin 
pidato bernada kemenangan di hadapan televisi. 'Lebih cepat lebih baik' tak 
selamanya tepat jika dilakukan dalam persoalan ini, dan justru ketenangan serta 
ketepatan momentum akan sangat bagus bagi pendidikan politik rakyat.

Pertama, dengan saling mengucapkan selamat dan berpidato kemenangan setelah 
penghitungan suara resmi selesai, akan menjaga reputasi KPU sebagai lembaga 
resmi yang dibentuk dengan undang-undang. Seburuk-buruknya kinerja lembaga ini, 
kita tak boleh meruntuhkan reputasinya dengan memilih melakukan tindakan 
politik berdasarkan hasil hitung cepat lembaga survei. Meruntuhkan reputasi KPU 
sama saja meruntuhkan reputasi pemerintah sendiri, mengingat KPU dan pemerintah 
bekerjasama dalam satu sistem yang terintegrasi.

Kedua, ini untuk membiasakan siapapun agar bersabar menjalani sebuah proses 
politik. Ini akan membuat kita semua kembali paham: bahwa berdemokrasi tak 
ubahnya orang bikin roti, yang tak bisa sekali jadi hanya dengan meneriakkan 
mantera atau sihir. Indonesia bukan Republik Harry Potter. [wir]



 
















      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke