Ciputra: Kita Terlalu Banyak Ciptakan Sarjana Pencari Kerja!

Senin, 31 Agustus 2009 | 11:37 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Pengusaha Ciputra mengatakan, akar musabab kemiskinan di 
Indonesia bukan semata akibat akses pendidikan, karena hal itu hanya sebagian, 
melainkan karena negara tidak menumbuhkembangkan entrepreneurship dan jiwa 
entrepreneur dengan baik pada masyarakatnya.

"Kita banyak menciptakan sarjana pencari kerja, bukan pencipta lapangan kerja, 
itu membuat masyarakat kita terbiasa makan gaji sehingga tidak mandiri dan 
kreatif," ujar Ciputra di hadapan peserta seminar "Entrepreneurship Inspiring 
Our Journey" yang digelar di SMA Kolese Kanisius, Jakarta, Sabtu (29/8).

Entrepreneur atau wirausahawan, kata pria yang akrab disapa Pak Ci' ini, adalah 
seseorang yang mampu mengubah kotoran atau rongsokan menjadi emas. Dengan 
demikian, kata dia, negara selama ini hanya mencetak begitu banyak sarjana yang 
hanya mengandalkan kemampuan akademisnya, tetapi menjadikan mereka lulusan yang 
tidak kreatif.

"Malaysia punya lebih banyak wirausahawan daripada Indonesia, kini mereka lebih 
maju karena pendapatannya yang empat kali lebih besar dari Indonesia," ujar Pak 
Ci'.

Sarjana pencari kerja

Makin banyak entrepreneur, sejatinya semakin makmur suatu negara. Ilmuwan dari 
Amerika Serikat (AS) David McClelland pernah menjelaskan bahwa suatu negara 
disebut makmur jika minimal mempunyai jumlah wirausahawan minimal 2 persen dari 
jumlah penduduk di negara tersebut.

Menurut Ir Antonius Tanan, Direktur Human Resources Development (HRD) Ciputra 
Group yang juga menangani Ciputra Entrepreneurship School (CES), bahwa pada 
2007 lalu AS memiliki 11,5 persen wirausahawan di negaranya.

Sementara itu, Singapura memunyai 4,24 juta wirausahawan pada 2001 atau sekitar 
2,1 persen. Namun, empat tahun kemudian jumlah tersebut meningkat menjadi 7,2 
persen, sedangkan Indonesia hanya memiliki 0,18 persen jumlah wirausahawan.

"Negara kita terlalu banyak memiliki perguruan tinggi dan terlalu banyak 
menghasilkan sarjana, tetapi sayangnya tidak diimbangi dengan banyaknya 
lapangan kerja," tandas Antonius.

"Akhirnya kita hanya banyak melahirkan pengangguran terdidik, tahun 2008 kita 
punya 1,1 juta penganggur yang merupakan lulusan perguruan tinggi," ujarnya. 

Data tahun 2005/2006, misalnya, lanjut Antonius, terdapat 323.902 lulusan 
perguruan tinggi yang lulus. Kemudian dalam waktu 6 bulan dari Agustus 2006 
sampai Februari 2007, jumlah penganggur terdidik naik sebesar 66.578 orang.

"Generasi muda kita tidak memiliki kecakapan menciptakan pekerjaan bagi dirinya 
sendiri karena mereka terbiasa berpikir untuk mencari kerja," ujar Antonius.

LTF 

http://herilatief.wordpress.com/
http://akarrumputliar.wordpress.com/
http://sastrapembebasan.wordpress.com/





      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke