REPUBLIKA ONLINE
Kamis, 24 September 2009 pukul 01:46:00
Nasri, Sang Palestina 


Oleh: Azyumardi Azra



Menjelang Idul Fitri kemarin, dalam perjalanan pulang dari pertemuan tahunan 
dan konferensi international IDEA (Institute for Democracy and Electoral 
Assistance), saya mendapat sepotong 'berkah' Ramadhan. Berkah itu berupa takdir 
atau boleh jadi 'kebetulan' belaka yang mempertemukan saya dengan seorang 
Nasri, sang Palestina, sopir taksi dalam diaspora Stockholm, Swedia. 

Berkah itu adalah keterbukaan hati menerima keluh kesah seorang anak manusia 
dalam diaspora. Sepanjang perjalanan yang lengang ke Bandara Arlanda, saya 
mengajak sang sopir bercerita. Saya tatap dari jok belakang wajahnya yang telah 
keriput. Tebersit empati saya melihat orang setua dia yang masih saja harus 
berada di belakang setir. Saya bayangkan, boleh jadi telah berpuluh tahun dia 
menjadi sopir. Segera saya tanya namanya. ''Nasri, Muhammad Nasri,'' jawabnya. 

''Assalamualaikum, '' spontan jawab saya. Dari mana asalnya? ''Dari Palestina, 
tepatnya Nablus, kawasan Tepi Barat,'' sambungnya. Dan, saya pun memperkenalkan 
diri sebagai Muslim dari Indonesia.''Min Indunisi. Alhamdulillah. '' Dia lalu 
menyatakan kesenangannya bertemu orang Indonesia dan juga kebanggaannya dengan 
Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di muka bumi. Mengapa? ''Kami bangsa 
Palestina tahu bahwa kaum Muslim Indonesia selalu berusaha membantu kami. Meski 
Indonesia sangat jauh dari Palestina, rakyat Indonesia sangat peduli pada nasib 
bangsa kami.''

Saya terperangah. Penuturan Nasri membuat saya bukan hanya kian bangga pada 
Indonesia. Karena, sering juga kalangan Arab di Timur Tengah tidak tahu 
Indonesia, kecuali mungkin karena TKI-nya. Bahkan, Islam Indonesia mungkin 
tidak pernah diperhitungkan secara serius. Muslim Indonesia masih saja dianggap 
baru belajar tentang Islam.

Pelajaran penting lain yang segera bisa saya ambil adalah jangan pernah 
underestimate kepada orang, bahkan semacam Nasri sekalipun. Ia cukup punya 
mata, telinga, bahkan hati untuk tahu misalnya tentang kiprah solidaritas 
Indonesia kepada bangsa Palestina.Nasri, lelaki tua Palestina dalam diaspora 
Swedia. Ia sudah berusia 64 tahun. ''Tahun depan, insya Allah saya pensiun. 
Sudah 40-an tahun saya hidup di Swedia dan mencari nafkah untuk keluarga. Empat 
anak sudah dewasa, selesai kuliah, bekerja, dan berkeluarga. Alhamdulillah, 
sudah punya dua cucu dan sebentar lagi cucu ketiga bakal lahir.'' 

Kembali dia bersyukur karena dua anaknya masing-masing sudah bekerja di Erikson 
dan Nokia. Dan, tak kurang syukurnya, salah satu putranya bakal mengunjungi 
Indonesia dalam waktu dekat.Tidak ada keinginan pulang ke Nablus setelah 
pensiun? Dengan tercekat, Nasri menyatakan tidak. Ia sangat mencintai 
Palestina, tapi takdir belum berpihak kepada bangsa dan tanah airnya sehingga 
ia memandang tidak memungkinkan baginya kembali ke negeri leluhurnya. ''Tidak 
ada lagi Nablus. Tidak ada lagi Yerusalem. Semuanya hanya tinggal kenangan 
pahit tentang air mata, darah, dan marwah yang terluka,'' kata Nasri.

Pahit, sungguh sangat pahit. Ketika 40-an tahun lalu, ia memutuskan 
meninggalkan kampung halamannya Nablus, sampai akhirnya terdampar di Swedia. 
Bekerja sebagai fotografer di Nablus, ia hampir setiap hari mengalami, 
menyaksikan, dan merekam langsung derita dan nestapa bangsa Palestina di tengah 
keganasan Israel. Penderitaan yang nyaris tidak tertanggungkan lagi.

Tapi, bagi Nasri, kenestapaan bangsa Palestina tidak hanya disebabkan keganasan 
Israel. Tak kurang juga karena negara-negara Arab sendiri. Kegetiran dan 
kemarahan terdengar jelas dalam nada suara Nasri, ''Negara-negara Arab tidak 
pernah serius, ikhlas, dan berani membela bangsa Palestina. Mereka adalah teman 
dan sekutu Amerika, pelindung Israel. Ketika Gaza digempur Israel, 
negara-negara Arab malah menutup perbatasannya sehingga rakyat kami menjadi 
sasaran empuk bom-bom Israel. Tanah air Palestina terus-menerus dirampok kaum 
Zionis Israel.''

Menyimak cerita dan keluh kesah Nasri, saya merasakan Ramadhan di Swedia pada 
sisa-sisa musim panas semakin panjang. ''Tahun depan, Ramadhan lebih panjang 
dan lebih panjang lagi pada tahun berikutnya,' ' ujar Nasri tanpa beban. ''Dan, 
insya Allah, tahun depan itu saya menunaikan ibadah haji ke Makkah 
al-Mukarramah. Tidak ada kebahagiaan lebih besar lagi setelah perjuangan begitu 
berat dengan mengunjungi Baitullah,'' lanjut Nasri.

Pengalaman Nasri, hemat saya, memang tidaklah unik, walau di sana sini ada 
nuansa-nuansa khas Nasri. Bisa dipastikan, hampir seluruh orang Palestina yang 
hidup dalam diaspora mengalami kepedihan dan kenestapaan meski kehidupan mereka 
boleh jadi tidaklah susah-susah amat. Tapi, satu hal sudah pasti. Mereka adalah 
orang yang terpaksa berpencar ke berbagai penjuru dunia. Banyak di antara 
orang-orang Palestina ini, khususnya generasi kedua, bahkan berhasil mencapai 
mobilitas pendidikan, sosial, dan ekonomi yang cukup baik. Mereka tidak hanya 
survive, tapi mencapai kemajuan dan kehidupan yang mengagumkam.

Di tengah berbagai pengalaman dalam diaspora, tidak seorang Palestina, apakah 
di tanah airnya atau di diaspora, yang bisa memastikan kapan negara Palestina 
yang telah begitu lama mereka perjuangkan dapat terwujud. Memang, sekarang ini 
ada tanda-tanda peningkatan usaha perdamaian, tetapi belum cukup ada 
tanda-tanda yang membuat kita optimis tentang terwujudnya sebuah negara 
Palestina yang berdaulat sepenuhnya. Dalam konteks itu, Indonesia masih perlu 
memainkan peran lebih aktifnya.(-) 



New Email names for you! 
Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail.
Hurry before someone else does! 















      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke