’Kemenangan-kemenangan’ Yudhoyono

*Eep Saefulloh Fatah* /*) Pemerhati politik dari Universitas Indonesia/

SIAPAKAH pemenang Musyawarah Nasional Partai Golongan Karya di 
Pekanbaru? Jawaban formal: Aburizal Bakrie. Jawaban sesungguhnya, boleh 
jadi: Susilo Bambang Yudhoyono.

Pemilu 2009 beserta epilognya mengantarkan Yudhoyono pada dua level 
kemenangan sekaligus: penguasaan elektoral dan pengendalian elite. 
”Penguasaan elektoral” diraihnya lewat pemilihan umum, membuktikan bahwa 
Yudhoyono adalah produk politik paling molek di hadapan para pemilih 
Indonesia. Sedangkan ”pengendalian elite” dicapai Yudhoyono melalui 
sukses pemeliharaan dukungan politik selama lima tahun pemerintahannya, 
menandai bercokoknya para elite politik terpokok di bawah rumus 
akomodasi dan kendali Yudhoyono.

Pemilu 2009 mencatat sukses elektoral Yudhoyono secara dramatis. Dalam 
pemilu legislatif, Partai Demokrat meraih 21.703.137 suara (20,85 
persen), melonjak tiga kali lipat dibanding Pemilu 2004. Dalam pemilu 
presiden, Yudhoyono-Boediono mendulang 73.874.562 suara (60,8 persen), 
mematikan dua pasang pesaingnya dalam satu putaran.

Sukses elektoral itu pun jadi semacam klimaks dari sukses pengendalian 
elite selama ia memerintah. Berbeda dengan Presiden Abdurrahman Wahid 
yang ”menambahi musuh setiap hari Jumat”—karena pernyataan politiknya 
sehabis Jumatan yang menghantam kiri dan kanan—Presiden Yudhoyono setiap 
hari menawarkan persekutuan kepada siapa pun.

Praktis 10 dari 16 partai dalam lembaga legislatif terangkul Yudhoyono. 
Dengan para pemimpin partai-partai ini ia berbaku rangkulan dan layanan. 
Berbekal kemampuan tinggi dalam pengemasan diri, Yudhoyono sukses 
mengelola resistansi politik dari para elite menjadi daur ulang benci 
menjadi rindu.

Penguasaan elektoral digapai melalui ”politik luar ruangan”. 
Pengendalian elite diraih melalui ”politik dalam ruangan”. Di luar 
ruangan Yudhoyono membius para pemilih dengan pesona kemasan. Di dalam 
ruangan ia melayani pencari kuasa dalam negosiasi tertutup dalam 
ruangan-ruangan sunyi tersembunyi.

Sukses pengendalian elite dilakukan dengan berbagi kue kekuasaan 
pemerintahan sambil menanam pengaruh pada pucuk-pucuk pimpinan partai 
sekondan. Hasilnya menakjubkan! Partai Kebangkitan Bangsa dipimpin oleh 
Muhaimin Iskandar atau tokoh lain yang sudah terlepas dari Abdurrahman 
Wahid, induk semangnya. Partai Amanat Nasional kemungkinan besar akan 
dipimpin oleh Hatta Rajasa, sang menteri setia. Partai Persatuan 
Pembangunan dikelola oleh sejumlah pemimpin yang menjelang Pemilu 2009 
nyaris tersuruk ke bawah pengejaran Komisi Pemberantasan Korupsi. Di 
partai itu, Yudhoyono pun menjadi semacam ”Dewan Pembina at large”.

”Badai politik Yudhoyono” menjadikan semua partai, nyaris tanpa kecuali, 
sebagai kawan. Dengan meminggirkan Partai Gerindra dan Hanura yang 
berpostur terlampau kecil, praktis hanya Partai Demokrasi Indonesia 
Perjuangan dan Golkar yang tersisa sebagai lawan dalam ceruk pasar 
pemilih majemuk.

Jangan lupa bahwa Pemilu 2009 menandai pembesaran ceruk pasar 
partai-partai berbasis pemilih majemuk. Dalam Pemilu 2004 besaran ceruk 
ini adalah 59,53 persen pemilih. Dalam Pemilu 2009, ceruk ini mengalami 
kenaikan 9,8 persen menjadi 69,33 persen. Di balik pembengkakan ceruk 
pasar ini tersaji ironi: ketika Demokrat mendulang 13,8 persen tambahan 
suara, PDI Perjuangan dan Golkar justru mengalami penurunan dukungan, 
masing-masing 3,6 persen dan 7,2 persen.

Alhasil, bagi PDI Perjuangan dan Golkar tersedia satu jalan untuk 
merebut kembali suara mereka yang hilang: berposisi elegan vis a vis 
pemerintahan Yudhoyono-Boediono selama lima tahun ke depan. Dalam posisi 
inilah mereka bisa membangun pemosisian, pembeda dan merek yang tegas 
dan berjarak dengan Demokrat. Dengan begitu, di hadapan calon pemilih, 
keduanya tak hadir sebagai pelengkap, melainkan pembanding Demokrat.

Namun bukan jalan itu yang ternyata diambil PDI Perjuangan. Melalui 
transaksi yang jadi rahasia umum, Yudhoyono berhasil membawa partai 
Banteng Gemuk ini merapat mendekat dengan biaya murah: mendukung Taufiq 
Kiemas menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Maka hanya Golkar yang tersisa. Dalam konteks ini, Munas Pekanbaru 
semula menyediakan kabar baik atau buruk bagi Yudhoyono. Kabar buruk 
datang manakala Golkar dipimpin oleh tokoh seperti Surya Paloh, yang 
akan menjadikan Golkar pendukung terdepan setiap kebijakan pemerintah 
yang tepat sekaligus pengkritik paling keras setiap kebijakan yang 
keliru. Musibah menghampiri Yudhoyono manakala Golkar duduk sama rendah 
dan berdiri sama tinggi dengan kekuasaannya.

Musibah, sebab dengan cara itu Golkar akan menjadi pesaing terpokok dan 
paling berbahaya bagi Demokrat pada 2014. Dengan menjaga jarak yang 
elegan dengan kekuasaan, Golkar memiliki ruang manuver leluasa untuk 
merebut kembali penguasaan ceruk pasar pemilih majemuk dari tangan 
Demokrat.

Tapi Paloh dikalahkan Aburizal Bakrie, sang penyokong finansial besar 
Yudhoyono-Kalla dalam Pemilu 2004 , sang menteri setia yang diselamatkan 
dengan sigap oleh Yudhoyono dari luapan lumpur Sidoarjo. Di balik 
kemenangan Bakrie pun tersembunyi ”kemenangan” Yudhoyono.

Rangkaian ”kemenangan” itu menandai pembesaran dramatis sosok politik 
Yudhoyono. Celakanya, hikayat Yudhoyono dalam demokrasi Indonesia ini 
dipanggungkan dengan dua bayaran amat mahal: makin rumitnya 
presidensialisme kita dan muncul tersamarnya bahaya ”despotisme lunak”.

Sebagaimana teori Scott Mainwaring, sistem presidensial dan multipartai 
menjadi kombinasi yang sulit di Indonesia selepas Pemilu 2004. Sejak 
itu, kita gagal keluar dengan layak dari kesulitan ini. Di satu sisi, 
perampingan dan penguatan sistem kepartaian gagal. Insentif politik 
untuk partai-partai telah dihambur-hamburkan—termasuk yang tak berhak 
karena sudah divonis dalam pemilu sebagai partai nir-pendukung. Setiap 
petualang politik pun tak pernah jera dan rugi membikin partai baru atau 
mendaur ulang partai lama.

Di sisi lain, sistem presidensial kita lemah dan terjebak sebuah 
paradoks: sukses Yudhoyono memelihara dukungan partai-partai sekaligus 
kegagalannya membangun kepemimpinan kuat. Yudhoyono sukses mengumpulkan 
dukungan dari sepuluh partai dengan 76,4 persen kursi dalam parlemen. 
Tetapi ia gagal mendisiplinkan koalisi tambunnya. Delapan hak angket 
Dewan Perwakilan Rakyat selama 2004-2009 didukung bahkan diinisiasi oleh 
partai-partai peserta koalisi.

Yudhoyono pun keliru merumuskan kepemimpinan yang kuat sebagai 
mengumpulkan sebanyak mungkin partai di sekitar Istana. Akibatnya, 
pemerintahan sibuk dengan banyak kompromi sambil gagal meredam 
resistansi legislatif. Untunglah, pemerintahan Yudhoyono diselamatkan 
hingga ujung oleh penyakit pragmatisme akut yang diidap semua partai 
tanpa kecuali.

Selepas Pemilu 2009, alih-alih mengatasi kekeliruan itu, Yudhoyono 
melanjutkan dan memperbesarnya. Bukannya meramping, koalisi Yudhoyono 
malah menambun. Dengan menyisakan Partai Gerindra dan Hanura, 
Yudhoyono-Boediono akan disokong oleh 92,5 persen kursi DPR! Baku 
kompromi pun bakal menyengit. Disiplin koalisi makin sulit dibangun. 
Presidensialisme kita pun terjerembap ke lubang kekeliruan yang sama, 
bahkan lebih besar.

Ongkos mahal berikutnya bagi ”kemenangan” Yudhoyono adalah munculnya, 
meminjam Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America, ”despotisme 
lunak”. Tocqueville menyebutnya sebagai penguasaan oleh jaringan kecil 
dan rumit kekuasaan. Berbeda dengan despotisme (pengumpulan kekuasaan 
yang terang-benderang), despotisme lunak tak kentara di hadapan 
khalayak. Ia hanya nyata manakala struktur jaringan kecil dan rumit itu 
ditelusuri hingga ke pangkalnya. Despotisme lunak menawarkan sebuah 
ilusi: para pemilih atau publik seolah penuh kuasa namun sesungguhnya 
makin menepi ke pinggiran.

Saat ini despotisme lunak itu baru tampak secara samar. Namun ia bisa 
menegas manakala kekuasaan dan kendali makin mengumpul di tangan satu 
orang yang semakin sensitif, antikritik, tak lagi rela mendengar, dan 
dengan penuh percaya diri mengaku menjual minuman segar padahal 
menjajakan botol kosong yang dikemas cantik.

Jadi, jangan-jangan, ”kemenangan” itu sesungguhnya adalah kekalahan yang 
tertunda.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/10/12/KL/mbm.20091012.KL131640.id.html
 


 


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke