Semenjak Prof. Dr. Soemitro dan Berkeley "Mafia" menguasai politik perekonomian 
RI post Soekarno, dengan mengetengahkan argumentasi hipotetik "tickle down 
economy"-nya, Indonesia dengaan seluruh kekayaan alamnya, SDM-nya, budaya dan 
tradisi toleransinya, senyum dan gelaktawanya telah DIJUAL kepada pemilik modal 
Internsional dengan HARGA TERRENDAH dibanding harga yang ditawarkan dipasaran 
Internasional. 


  ----- Original Message ----- 
  From: Satrio Arismunandar 
  To: aipi_poli...@yahoogroups.com ; Indo Energy ; ppiindia ; nasional list ; 
Forum Kompas ; HMI Kahmi Pro Network ; ex menwa UI 2 ; sastra pembebasan ; 
jurnalisme ; technomedia ; warta-lingk ; pantau ; Partai Hanura 
  Sent: Wednesday, October 14, 2009 8:06 AM
  Subject: [ppiindia] 'Teh Botol' Rugikan RI Rp 2.000 Trilyun (betul, trilyun, 
Anda tak salah baca!)


    

  http://www.inilah. com/berita/ 2008/09/04/ 47889/teh- botol-rugikan- 
ri-rp-2000- t/

  04/09/2008 - 17:29

  'Teh Botol' Rugikan RI Rp 2.000 T
  Ahluwalia

  INILAH.COM, Jakarta � 'Teh Botol' merugikan Indonesia lebih dari Rp 2.000 
triliun. Kerugian berasal dari 54 kontrak penjualan gas yang membuat kantong 
negara jebol. Sampai kapan Indonesia jadi pelayan kepentingan asing di sektor 
energi? 
  Teh Botol? Ini bukan teh yang kemudian dimasukkan ke botol dan dijual di 
berbagai tempat. Teh Botol adalah julukan sosiolog Arief Budiman, profesor dari 
Universitas Melbourne, untuk teknokrat yang berkecimpung di industri dan 
penjualan gas Tanah Air. Teknokrat bodoh dan tolol.
  Kebodohan itu muncul akibat cara berpikir yang egois dan sektoral. Ketololan 
itu terjadi demi kepentingan sesaat. Maka, mereka, para Teh Botol itu, mewakili 
negara melakukan kontrak karya dengan pihak asing. Hasil kerjanya? Gas negara 
dibobol, uangnya menguap entah kemana.
  Bayangkan, di LNG Tangguh saja, ada empat kontrak yang kerugiannya mencapai 
US$ 125 miliar (Rp 1.250 triliun). Sungguh sebuah kebodohan dan ketololan para 
teknorat orde reformasi yang menyesakkan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan 
Wapres Jusuf Kalla harus merombak para teknokrat itu karena sudah keterlaluan.
  Arief Budiman melihat tabiat Orbarian yang korup dan kolutif di kalangan 
petinggi dan politisi masih berlaku pada era reformasi ini. Ditengarai, ekonomi 
rente dan korupsi kebijakan mewarnai gelontoran uang ke kantong elite partai 
politik dan pejabat yang berwenang melakukan kontrak karya ini.
  Selama ini, artikulasi para politisi soal kontrak karya juga hanya sekadar 
wacana. Tak ada keseriusan dan ketegasan para politisi untuk mengawal ini. 
Konsolidasi yang sifatnya ideologis pun tidak ada. "Tradisi politik masih demi 
kepentingan sesaat dan mencari uang rente belaka," kata Dradjad Wibowo, ekonom 
yang sempat dan masih merasakan kursi politisi di DPR.
  "Semua ini baru perhitungan sementara. Di LNG Tangguh saja ada empat kontrak 
yang kerugiannya mencapai US$ 125 miliar," kata Anggota Komisi VII Tjatur Sapto 
Edy.
  Dalam hal ini, pemerintah dituntut berani mengkaji ulang berbagai kontrak 
karya pertambangan yang merugikan Indonesia. Pasalnya, masih banyak perjanjian 
dengan asing yang justru mengkhianati bangsa sendiri. 
  Padahal, "Indonesia is not for sale," kata Sri Edi Swasono, gurubesar FEUI. 
Namun suara menantu Bung Hatta ini ternyata dikalahkan oleh realitas yang ada. 
Indonesia justru diobral ke pasar dunia oleh para pengemban Pancasila. Sungguh 
ironis. [I4]
   
   
   
   
   
   
   
   

   

  Satrio Arismunandar 
  Executive Producer
  News Division, Trans TV, Lantai 3
  Jl. Kapten P. Tendean Kav. 12 - 14 A, Jakarta 12790 
  Phone: 7917-7000, 7918-4544 ext. 4034,  Fax: 79184558, 79184627
   
  http://satrioarismunandar6.blogspot.com
  http://satrioarismunandar.multiply.com  
   
  Verba volant scripta manent...
  (yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan abadi...)

  [Non-text portions of this message have been removed]



  

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke