dari JEJAK LANGKAH:

Salah Kaprah Paten Budaya
                
                
                 
        
         
      
                
        
        
                
        
        Jumat, 9 Oktober 2009 | 03:44 WIB
            
            Oleh Arif Havas OegrosenoTajuk
Rencana Kompas (3/10) berjudul ”Batik Milik Dunia” berisi: ”Untuk
menghindarkan klaim negara lain terhadap produk budaya nasional,
Indonesia perlu segera mematenkannya di lembaga internasional”.
Pernyataan ini sangat mengejutkan, paling tidak karena tiga perkara.Pertama,
paten adalah perlindungan hukum untuk teknologi atau proses teknologi,
bukan untuk seni budaya seperti batik. Kedua, tak ada lembaga
internasional yang menerima pendaftaran cipta atau paten dan menjadi
polisi dunia di bidang hak kekayaan intelektual (HKI). Ketiga, media
terus saja mengulangi kesalahan pemahaman HKI yang mendasar bahwa
seolah-olah seni budaya dapat dipatenkan.Dalam urusan HKI, ada
sejumlah hak yang dilindungi, seperti hak cipta dan paten dengan
peruntukan yang berbeda. Hak cipta adalah perlindungan untuk ciptaan di
bidang seni budaya dan ilmu pengetahuan, seperti lagu, tari, batik, dan
program komputer. Sementara hak paten adalah perlindungan untuk
penemuan (invention) di bidang teknologi atau proses teknologi. Ini
prinsip hukum di tingkat nasional dan internasional. Paten tidak ada
urusannya dengan seni budaya.Jadi, pernyataan ”perlu mematenkan
seni budaya” adalah distorsi stadium tinggi. Penularan distorsi
pemahaman oleh media ini menjalar lebih cepat daripada flu burung.
Tidak kurang dari Sultan Hamengku Buwono X menyatakan bahwa produk
budaya dan seni warisan leluhur idealnya dipatenkan secara
internasional (Antara, 25/8/2009) atau Gubernur Banten yang akan
mematenkan debus (Antara, 28/8/2009).Distorsi ini sangat
berbahaya karena memberikan pengetahuan yang salah kepada publik secara
terus-menerus, akibatnya kita terlihat sebagai bangsa aneh karena di
satu sisi marah-marah karena merasa seni budayanya diklaim orang lain,
tetapi di sisi lain tak paham hal-hal mendasar tentang hak cipta dan
paten.Salah
kaprah lain adalah keinginan gegap gempita untuk mendaftarkan warisan
seni budaya untuk memperoleh hak cipta. Para gubernur, wali kota, dan
bupati berlomba-lomba membuat pernyataan di media bahwa terdapat sekian
ribu seni budaya yang siap didaftarkan untuk mendapat hak cipta.
Tampaknya tak disadari bahwa dalam sistem perlindungan hak cipta,
pendaftaran tidaklah wajib. Apabila didaftarkan, akan muncul
konsekuensi berupa habisnya masa berlaku hak cipta, yakni 50 tahun
setelah pencipta meninggal dunia. Jadi, seruan agar tari Pendet
didaftarkan adalah berbahaya karena 50 tahun setelah pencipta tari
Pendet meninggal dunia, hak ciptanya hilang dan tari Pendet dapat
diklaim siapa saja.Kita harus hati-hati menggunakan kata klaim
apabila terkait urusan sebaran budaya. Adanya budaya Indonesia di
negara lain tidak berarti negara itu secara langsung melakukan klaim
atas budaya Indonesia. Karena apabila ini kerangka berpikir kita, kita
harus siap-siap dengan tuduhan bangsa lain bahwa Indonesia juga telah
mengklaim budaya orang lain; misalnya bahasa Indonesia yang 30 persen
bahasa Arab, 30 persen bahasa Eropa (Inggris, Belanda, dan Portugis)
serta 40 persen bahasa Melayu. Bagaimana dengan Ramayana yang oleh
UNESCO diproklamasikan sebagai seni budaya tak benda India? Apakah
Indonesia telah mengklaim budaya India sebagai budaya kita karena di
Jawa Tengah sendratari Ramayana telah menjadi bagian budaya?Dalam
narasi proklamasi UNESCO atas wayang sebagai seni tak benda Indonesia,
disebutkan ”Wayang stories borrow characters from Indian epics and
heroes from Persian tales”. UNESCO menyatakan kita meminjam budaya
orang lain dalam wayang kita. Apakah meminjam sama dengan mengklaim?
Rabindranath Tagore dalam Letters from Java justru terharu dan bangga
melihat budaya India dilestarikan di Jawa, bukannya menganggap ini
sebagai klaim Indonesia, lalu marah dan meneriakkan perang.SolusinyaPertama,
media sebagai kekuatan sosial politik keempat harus berani belajar
untuk menyajikan substansi yang benar tanpa takut kehilangan rating.
Kedua, pemerintah daerah perlu memberdayakan aparat mereka agar paham
masalah-masalah HKI. Upaya mudah dan murah, kalau mau.Ketiga,
database tentang seni budaya Indonesia dikumpulkan di satu instansi
tertentu, lalu disusun dengan klasifikasi kategorisasi sesuai standar
Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO). Keempat, database ini
dilindungi instrumen hukum nasional, lalu dijadikan rujukan dalam
perjanjian bilateral guna membatalkan pemberian hak cipta yang meniru
seni budaya Indonesia.Kelima, Indonesia bersama negara-negara
berkembang terus melanjutkan keberhasilan perundingan di Sidang Majelis
Umum WIPO pada 1 Oktober 2009 yang memutuskan bahwa WIPO akan
menegosiasikan suatu instrumen hukum internasional yang akan mengatur
perlindungan masalah pengetahuan tradisional, ekspresi budaya
tradisional, dan sumber genetika.Mari bekerja keras dengan nasionalisme yang 
cerdas.
Arif Havas Oegroseno 
Alumnus Harvard Law School



      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke