Di dalam firman Qurani Allah swt memberi petunjuk, bahwa apabila kaum Muslimin 
ingin selamat dari api neraka maka kaum Muslimin harus berpegang teguh kepada 
dua tali Allah swt, yaitu tali hubungan dengan manusia dan tali hubungan dengan 
Allah swt. Dari firman demikian itu dengan tandas dan jelas-jemelas Allah swt 
menunjukkan bahwa permasalahan kemanusiaan dan permasalahan ketuhanan adalah 
satu utuh dan tunggal yang tak mungkin dapat dipisah-pisahkan. Inilah 
keunggulan Dinul Islam dari teologi Islam. Teologi Islam memisahkan dengan 
tegas antara Allah swt (ketuhanan) dengan ummat manusia (kemanusiaan). 
Pemahaman Dinul Islam yang sebagamaimana difirmankan demikianlah yang harus 
diperjuangkan sebagai interpretasi aktual bagi kaum Muslimin.


  ----- Original Message ----- 
  From: AgungSmile 
  To: ppiindia@yahoogroups.com 
  Sent: Friday, November 06, 2009 11:26 AM
  Subject: [ppiindia] Tebang Pilih Pemahaman, antara Lokal dan Imporan


    
  Dari milis sebelah

  Agung W

  Tebang Pilih Pemahaman, antara Lokal dan Imporan

  Oleh: Satriyo, S.S, M.Pdi*

  Artikel KH Mustofa Bisri berjudul "Mati Syahid dan Pemahaman Imporan" 
menegaskan bahwa ada kesalahpahaman sebagian kalangan ummat atas konsep mati 
syahid yang memang merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Pak Kyai 
mengutip Hadis riwayat Imam Ahmad dari Sa'ied ibn Zaid yang menegaskan konsep 
syahid ini. Pak Kyai berusaha meyakinkan pembaca bahwa konsep syahi yang keliru 
ini berasal dari pemahaman asing atau `imporan' yang dibawa dan disebarkan di 
Indonesia. Negeri jiran yang dituduh sebagai sumbernya adalah Timur Tengah 
(tanpa dirinci negara mana), Iran (maksudnya Irak?) atau Afghanistan. Lalu Pak 
Kyai mensinyalir bahwa gejala ini merupakan ciri khas `latahisme' negara 
berkembang atas segala yang asing atau `imporan'. Konon, untuk urusan mode, 
kiblatnya adalah Amerika dan Eropah, soal tari dan nyanyi, India (apa iya?), 
sedangkan tren keagamaan dari negeri-negeri jiran di atas itu.

  Benarkah demikian?

  Untuk sejumlah fakta sederhana, dalam konteks aksi tiru meniru, jelas Amerika 
adalah pusat segalanya, bukan Eropah, bukan pula India. Apalagi sebatas sesama 
negara berkembang-yang sebenarnya juga termasuk India. Apa yang tidak beriblat 
ke Amerika yang kita jumpai sehari-hari? Sebut saja musik, gaya hidup, olah 
raga (kecuali sepak bola yang memang khas `budaya' Eropah), hingga jenis 
makanan dan bahkan pola fikir yang berimbas pada nyaris seluruh aspek, terutama 
di perkotaan atau daerah-daerah yang sudah terjangkiti urbanisasi tersembunyi 
via televisi. Justru sebenarnya pola fikir inilah yang paling nyata diikuti dan 
ditiru tanpa sadar, atau bila pun sadar tapi tak hirau. Untuk buktinya, 
perhatikan saja isi program TV, baik yang terkesan `lokal' apalagi yang 
imporan, walau dengan dubbing atau subtittling.

  Jadi, di mana posisi negara macam India, Irak, Afghanista dan Timur Tengah? 
Nyaris tidak sehegemonik Amerika tentunya. Agak naif saya kira bila India 
dianggap mempengaruhi tari dan nyanyi, meskipun tidak banyak. Dangdut, 
misalnya, yang bisa dianggap transformasi musik India ke musik 
logal-sebagaimana keroncong konon-jelas tidak lagi tampak nyata benar unsur 
Hindi-nya. Tari? Saya tidak tahu ada tarian India meresap atau mempengaruhi 
tarian khas Indonesia. Yang saya lihat nyata jelas adalah pengaruh India di 
dunia sinetron! Atau paling di bidang makanan, macam martabak atau kare. Jadi 
Pak Kyai terlalu asyik dengan kepulan asap dan penanya mungkin untuk menyadari 
ini.

  Wajar saja mungkin sebagai entitas yang sering disebut sebagai globo-cop bila 
Amerika turut membentuk peradaban dunia baik secara tak langsung, seperti 
tengah kita alami di negeri ini, pasca kemerdekaan, maupun secara langsung 
seperti terjadi di Korea (yang sejarahnya dimulai dengan evangelisme 
Presbiterian, lalu Perang Korea), Filipina (yang konon lebih Amerikan dari 
Amerika, setelah Perang Dunia II), Jepang (setelah kalah oleh Sekutu dan 
dipaksa `patuh', terutama untuk mendemiliterisasi), dan yang kontemporer adalah 
negara-negara Teluk (pasca Perang Teluk I dan II), serta Afghanistan, dan Irak. 
Adapun Mesir dan Pakistan, sudah berhasil ditembus oleh globo-cop dalam 
kurikulum pendidikan di madrasah atau lembaga pendidikan Islam-nya-sebagaimana 
mungki bisa terjadi di Indonesia. Otomatis apa-apa yang serba Amerika perlahan 
tapi pasti akan merembes dan menjelma dalam wujud lokal di negara-negara itu, 
seberapapun resistensi awal yang terjadi.

  Dengan mengilustrasikan latahisme orang kota terhadap budaya luar negeri, 
atau orang desa terhadap budaya kota, maka Pak Kyai juga menyimpulkan bahwa 
"orang-orang Islam kota atau mereka yang punya persinggungan dengan luar negeri 
(maksudnya dalam konteks agama)" juga meniru pemikiran agama imporan. Memang 
pola ini ada dan, sebagaimana watak manusia meniru sesuatu yang ia anggap 
`baru' atau `asing', terjadi di tempat lain dalam bidang lain. Jadi tidak aneh. 
Namun dengan menegaskan bahwa yang ditiru itu adalah "tren baru" (bila memang 
benar demikian), Pak Kyai seolah ingin menafikan fakta bahwa Islam di negeri 
ini pun (berasal dari) pemahaman imporan. Bisa saya pastikan bahwa para bapak 
pembaharuan Islam Indonesia, sekaligus pendiri dua gerakan Islam komunal 
terbesar, NU dan Muhammadiyah, mempunyai guru-guru yang sama yang memberi 
mereka apa yang saat ini juga diberikan kepada para santri yang mukim dan 
belajar di tempat yang sama dengan para pendahulu mereka itu. Bedanya, di kedua 
kelompok ini setakat ini sudah terjadi pergeseran sehingga yang dulunya mungkin 
monolitis saat ini sangat heterogen. Heterogenitas dari kedua pergerakan ini 
bisa kita lihat adanya demarkasi nyata di antara kebanyakan sesama generasi 
mudanya dan sedikit sesama generasi tuanya. Demarkasi ini terletak pada 
pengadopsian pemahaman imporan dan membeo para pemikir impor dengan pemahaman 
sekuler, plural dan liberalnya (Lihat Jawa Pos, 
http://jawapos.com/mingguan/index.php?act=detail&nid=98086).

  Lalu, mengapa sama-sama imporan ini tidak juga disoroti? Apa karena kebetulan 
yang model begini, pemahaman imporan non-Timur Tengah, memang pas dengan selera 
Pak Kyai? Kalo soalnya adalah konsep syahid, memang yang dari Barat dan kental 
tradisi Kristen-Yahudi ini tidak mengenal syahid - setidaknya tidak saat ini, 
karena, di masa klasik, konsep ini (martyrdom) tidak terlalu beda dan dijalani 
oleh sebagian mereka (Lihat Karen Armstrong). Justru pemahaman imporan 
non-Timur Tengah ini adalah konsep-konsep asing yang dipaksakan masuk ke konsep 
sentral keyakinan Islam, sebagaimana diyakini para Orientalis yang menjadi guru 
mereka ini.

  Pemahaman imporan yang dari Timur Tengah pun tidak melulu seperti yang 
diasumsikan Pak Kyai. Ada juga yang merupakan transformasi dari pemahaman 
Orientalis. Setelah dikemas menjadi (seolah) `islami,' maka pemahaman imporan 
ini masuk ke Indonesia dan menelurkan sejumlah "teroris aqidah" yang 
beramunisikan sekulerisme, pluralisme dan liberalisme (ber)agama. Mereka ini 
adala para `syahid' (`syuhada') pemikiran yang rela gugur dalam perang 
pemikiran demi pundi-pundi amal yang mereka terima dari patron mereka. 
Lagi-lagi yang demikian tidak digubris oleh Pak Kyai. Mengapa hanya yang 
`salah' untuk satu hal saja (syahid, teror bom) yang dipermasalahkan, tapi buat 
yang lain (sekulerisme, pluralisme dan liberalisme) tidak dianggap bermasalah? 
Jadi mana yang sebenarnya imporan dan mana yang lokal?

  Prof DR Bashori Muchsin MSi, guru besar dan Purek II Univ. Islam Malang, 
mengutip Naim Mudlor (2008) dan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa bukan 
agama yang menjadi akar permasalahan radikalisme yang konon melatar belakangi 
teror bom (Jawa Pos, 2/11/2009, 
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=98225). Jadi, analisa 
apapun yang dibuat selama ini dengan kerangka berpikir sebagaimana Pak Kyai, 
yang berusaha mencari kambing hitam dari kalangan internal ummat Islam, tidak 
dapat dipegang lagi. Ini karena penelitian itu menunjukkan bahwa sumbernya 
adalah masalah ekonomi (baca: kemisikinan). Dan memang belum pernah ada 
ceritanya sejauh ini ada teroris yang berasal dari orang Islam perkotaan - 
apalagi kaya raya (kec mungkin Osama) - atau yang kuliah atau nyantri di Timur 
Tengah, atau Irak atau Afghanistan, atau Iran yang Syiah sekalipun. Kalaupun 
ada, itu bukan para santri, melainkan mereka yang terpengaruh indoktrinasi 
segelintir orang yang pernah ikut peperangan di sejumlah negeri Muslim. Bila 
benar klaim Pak Kyai, tentu sudah ribuan orang lulusan Timur Tengah dan 
sekitarnya atau pernah bersinggungan dengan luar negeri (sekedar pelesiran atau 
mondok?) akan menjadi potensial teroris bom syahid.

  Islam memang melarang aksi teror, apapun alasannya, terlebih bila aksi teror 
itu mencabut nyawa warga sipil tak berdosa. Tapi Islam juga melarang aksi 
sesama anggota ummat yang mencela dan menghujat - kalo tidak memfitnah - semata 
karena asumsi, klaim atau tuduhan tak berdasar dan tak bertanggung jawab, serta 
`emosional'. Lebih dahsyat teror aqidah secara jangka panjang daripada teror 
bom, walau keduanya sama-sama Ahli Neraka! Naudzu billaahi min dzalik!

  Wallaahu a'lam bish-shawwab!

  *Penulis adalah alumni magister Program Pendidikan dan Pemikiran Islam, Univ. 
Ibnu Khaldun-Bogor.



  

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to