Duka Haji

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri


Dalam rangka mendapatkan haji mabrur, seniman A. Hamid Jabbar waktu itu
berada di Mina. Penyair yang atraktif itu sedang akan melontar jumrah untuk
yang pertama, jumrah 'Aqabah. Seperti jamaah lain, dia harus menceburkan
dirinya dan mengarungi lautan manusia agar dapat mendekati jumrah yang akan
dilemparnya. Tangan kiri menggenggam bekal kerikil-kerikil dari Muzdalifah,
sementara tangan kanan sudah siap dengan sebutir kerikil yang akan dilempar.



Syahdan, ketika merasa sudah cukup dekat, dia pun mengangkat tangan
kanannya, siap menghantam "sang setan". Tapi, belum lagi sempat tangannya
mengayun, seseorang menghantam lengannya hingga kerikilnya terjatuh.


Dia ambil lagi sebutir kerikil dari tangan kirinya dan siap mengulang
lemparan pertama. Tapi, lagi-lagi kerikilnya terlempar oleh sodokan orang di
sampingnya. Begitulah berkali-kali Hamid berusaha mengulang dan gagal
melempar hingga kerikil-kerikil di tangan kirinya nyaris habis.


Tapi, rupanya, kesabarannya yang justru lebih dulu habis. Sambil
merentangkan kedua tangannya ke langit seperti gayanya ketika berdeklamasi,
tiba-tiba dia berteriak sekencang-kencangnya: "Ya Allah, ini ibadah apa???"


Saya kira, kawan saya ini tidak sedang jengkel kepada Tuhan atau kepada
ibadah haji. Cuma mungkin, seperti banyak jamaah yang lain, sebelumnya sudah
mempunyai anggapan atau pengertian tentang kekhusyukan ibadah. Jadi, ketika
melihat kenyataan lain yang jauh berbeda dari pengertian seperti yang sudah
dipahaminya, dia pun "berontak".


Sebenarnya, tidak ada yang salah pada pemahaman dan pengertiannya. Yang
barangkali sering lalai dipahami orang, termasuk kawan saya ini, ialah bahwa
kebanyakan jamaah haji yang berada di tanah suci adalah orang-orang awam dan
umumnya pemimpin mereka terbiasa dengan doktrin yang itu-itu juga. Doktrin
yang lebih menekankan kepada "semangat" beragama atau beribadah ketimbang
pemahaman agama dan makna ibadah.


Kita lihat misalnya, dalam penataran-penataran manasik, baik yang
diselenggarakan instansi resmi maupun KBIH-KBIH di Indonesia, galibnya
jamaah lebih diberi doktrin tentang "amalan-amalan" dan bacaan-bacaan.
Seringkali penatar menekankan tentang afdhaliah, hal yang lebih afdol, dalam
pelaksanaan haji dan keutamaan melakukan ini dan itu, tanpa penjelasan yang
memadai tentang kondisi dan situasi riil di tanah suci pada saat haji itu.
Misalnya keutamaan waktu melempar jumrah; keutamaan berdoa di Multazam, di
Hijr Ismail (bahkan di bawah talang mas?); berdoa di Arafah di luar tenda;
di Raudhah Rasul (bahkan di "mihrab Nab"?); dlsb. Hal ini menyebabkan banyak
jamaah yang semangatnya "murni" semangat. Hanya semangat mendapatkan apa
yang disebut sebagai keutamaan itu.


Seperti kita ketahui, sebenarnya ibadah haji itu tidak terlalu pelik. Ia
"hanya" ibadah amaliah. Asal lakunya benar, sudah sah. Sedangkan lakunya
juga sangat sederhana: berihram, niat, dan memakai pakaian sederhana;
memutari Ka'bah, lari hilir-mudik antara Shafa dan Marwah; berdiam diri di
Arafah; melempar-lempar; cukur atau potong rambut; dan menyembelih ternak.
Apanya yang sulit? (Banyak daerah malah lucu. Membangun tiruan Ka'bah untuk
keperluan latihan *thawaf.* Mana ada orang -bagaimanapun bebalnya- keliru
memutari Ka'bah? Sebab, misalnya, ada yang keliru memutarinya ke arah kanan,
pasti akan ketabrak yang lain).


Saya pikir adalah lebih bijaksana bila "ruh ibadah" dan praktik pelaksanaan
haji -dengan memperhatikan kondisi dan situasi riil di lapangan- lebih
mendapatkan porsi dalam penataran-penataran manasik. "Ruh ibadah" yang saya
maksud juga mencakup penyadaran terhadap pemahaman ibadah secara
keseluruhan. Totalitas amal hanya untuk Allah. "Menyenangkan" Allah. Mencari
ridha Allah.


Sebab, sering semangat beragama yang berlebihan menyeret hamba kepada amalan
yang justru berbalik menjadi hanya untuk menyenangkan diri sendiri. Mencari
ridha diri sendiri. Bahkan, sekadar keinginan yang menggebu untuk mendapat
haji mabrur sering cukup membuat orang menjadi sangat egois. Bayangkan bila
jutaan orang egois berkumpul jadi satu dengan satu "kepentingan".


Sebenarnya, jamaah Indonesia tergolong paling tertib. Cuma tertib sendiri
tentu tidak menjamin ketertiban bersama, terutama bila yang lain tidak
tertib. Karena itu, mestinya pemerintah Saudi Arabia harus lebih rendah
hati, mengajak negara-negara Islam atau muslim untuk bekerja-sama dan
bermusyawarah bagi penyempurnaan ibadah yang satu ini. Atau paling tidak
berkoordinasi dengan negara-negara itu terutama kaitannya dengan kebijakan
yang diambil. Syukur dibentuk badan dunia khusus yang melibatkan semua
negara yang berkepentingan, untuk tidak saja bertanggung jawab tentang
ketertiban dan keamanan pelaksanaan haji, tapi juga bagi pemahaman umat
terhadap makna hakiki ibadah itu.


Peristiwa-peristiwa tragis seperti yang pernah terjadi di Mina sudah
berulang-ulang menyentak perasaan kita. Akan sampai kapan?



KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut
Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke