Facebook:
Radityo Djadjoeri

  ----- Original Message ----- 
  From: nunung fulusudin 
  To: media-jo...@yahoogroups.com 
  Sent: Monday, November 16, 2009 10:08 PM
  Subject: [media-jogja] Aceh Harus Melihat Kejayaannya di Masa Lalu Jika 
Hendak Menghindari Kehancuran di Masa Depan


    
        Terjemahan Artikel Bapak Anand Krishna di The Jakarta Globe, Aceh Must 
Look to Its Glorious Past If It Hopes to Avoid an Inglorious Future - The 
Jakarta Globe

        Aceh Harus Melihat Kejayaannya di Masa Lalu Jika Hendak Menghindari 
Kehancuran di Masa Depan


        http://www.aumkar.org/ind/?p=222#more-222

        Nanggroe Aceh Darussalam sekali lagi menjadi bahan berita. Kali ini 
bukan karena tsunami atau gerakan separatis, tapi karena "qanun jinayat" (dalam 
bahasa Arab "fiqh"), atau sistem perundangan berbasiskan akidah agama, 
dikeluarkan oleh dewan legislatif setempat pada 14 September.

        Berbicara kepada Al-Jazeera pada hari yang sama hukum tersebut 
dikeluarkan, Wakil Gubernur Nazar menyatakan dengan jelas bahwa pemerintah 
provinsi tak setuju dengan undang-undang ini. Ia berjanji akan merevisi hukum 
tersebut, dan dengan terus terang berkata, "Kita harus menyesuaikan dengan 
situasi masyarakat. Aceh berbeda dengan Timur Tengah." Walau berbicara kepada 
media lokal, ia tidak segamblang itu.

        Yang lebih baru, para ulama di Aceh keberatan atas juara Kontes Putri 
Indonesia, Qori Sandioriva, 18, yang tampil tanpa jilbab, atau penutup kepala. 
Qori, yang memenangkan kontes pada 9 Oktober, mewakili Aceh, dan mengaku bahwa 
ia telah mendapat "restu dari pemerintah provinsi."

        Wakil Gubernur Nazar menyangkal pernyataan tersebut, mengatakan: "Saya 
akan bertemu dengannya secara personal untuk menanyakan langsung kenapa ia ikut 
kontes tersebut," seperti dilaporkan oleh Straits Times, pada 13 Oktober. 
Kepada media lokal, bahasanya lebih kasar lagi.

        Indonesia bukan Arab Saudi. Perundangan dan praktek-praktek semacam itu 
melanggar kesepakatan internasional berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, 
yang Indonesia sudah tandatangani, sedangkan Arab Saudi tidak mau.

        Tapi, kelompok garis keras dan partai politik tanpa agenda nyata bagi 
pembangunan bangsa tak ada urusannya dengan hak-hak asasi manusia, kesepakatan 
internasional ataupun budaya setempat. Mereka selalu bergantung pada agama 
untuk memperoleh suara. Oleh sebab itu, mereka harus mempunyai isu agama untuk 
dijual.

        Salah satu anggota partai, tampil di televisi nasional, mengatakan 
bahwa budaya Aceh "ialah Islam." Ia berkata perundangan setempat sudah sesuai 
dengan agama, dan mereka yang menentangnya sama sekali tak tahu-menahu tentang 
Aceh.

        Bachron M Rasyid, yang menjadi ketua dengar pendapat khusus berkaitan 
dengan pemberlakuan perundangan ini, dilaporkan berkata begini, "Semua partai 
setuju mengesahkan rancangan ini menjadi undang-undang, termasuk pasal yang 
menetapkan hukuman rajam lempar batu sampai mati.Undang-undang ini akan mulai 
berlaku dalam 30 hari dengan atau tanpa persetujuan gubernur Aceh."

        Menariknya, dewan legislatif yang baru dan semoga lebih moderat telah 
dilantik, menggantikan partai konservatif menyusul kekalahan mereka dalam 
pemilu setempat.

        Saya melihat perundangan ini ialah isu problematik sengaja dibuat oleh 
penguasa lama yang enggan melepaskan tampuk kekuasaan. Jika dewan legislatif 
yang baru "menerapkan" undang-undang, seperti yang banyak analis percayai akan 
dilakukan, kemudian pemain lama itu akan memiliki isu agama lagi untuk dijual. 
Mereka dapat sekali lagi mempolitisasi agama untuk keuntungan mereka dengan 
memainkan sentimen dari massa yang lugu. Mereka tak punya barang dagangan lain 
untuk dijual.

        Satu dekade lalu, ketika pemerintah kita mempersiapkan paket otonomi 
khusus untuk Aceh, mengijinkan provinsi tersebut mengadopsi sistem perundangan 
berbasiskan agama, lewat tulisan saya memperingatkan bahwa bila ada "dua macam 
hukum di sebuah negara" ini seperti bom waktu. Bisa meledak kapan saja, dan 
menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Siapa yang peduli?

        Saya mencoba memahami semangat pemuda kita pada tahun 1928, ketika 
mereka meneriakkan sumpah persatuan satu Ibu Pertiwi, Satu Bangsa, dan Satu 
Bahasa - Indonesia. Pada waktu itu mereka tak melihat agama atau akidah agama 
sebagai isu penting. Jika demikian, tentu mereka akan menambahkan "Satu Hukum 
di seluruh Indonesia' dalam sumpahnya.

        Kita tak disatukan oleh agama ataupun akidah agama dulu, dan tak akan 
pernah. Nilai-nilai agama, atau dharma dalam bahasa kuno di kepulauan kita, 
ialah nilai-nilai spiritual yang universal, semuanya sudah termaktub dalam 
ideologi nasional Pancasila (lima prinsip).

        Fikih, atau akidah agama, dan fikih berdasarkan qanun ialah 
"interpretasi manusia dari pemahaman manusia" atas Syariah. Ini menjelaskan 
berbagai aliran pemikiran, mazhab di Arab dan pelbagai interpretasi fikih.

        Inilah sebabnya kenapa "membatui sampai mati" tak dilakukan di seluruh 
negara Timur Tengah. Negara-negara dan kerajaan di daerah tersebut tak 
mempunyai interpretasi yang seragam atas akidah agama.

        Tapi, ketika ini masuk ke Arab Saudi, akidah agama menjadi masuk akal 
karena mereka menganut interpretasi Wahabi yang spesifik. Kasus ini tak terjadi 
di Indonesia, seperti kata Wakil Gubernur Nazar. Di sini, kita majemuk, tak 
seragan.

        Saudi dikenal percaya pada keseragaman. Jika kita mempelajari pemikiran 
para ulama dan pejabat kita yang bersekolah di Saudi, kita tahu bahwa mereka 
berbeda dengan kita. Perbedaan ini berakar dalam norma-norma yang kita hargai 
dan juga nilai-nilai budaya.

        Bagi suku Arab, keseragaman ialah keutamaan yang didukung oleh alamnya. 
Mereka berbagi padang pasir yang sama dan jumlah tanaman di sana juga terbatas. 
Cara pandang mereka terhadap kehidupan terbentuk oleh keterbatasan alam semacam 
itu.

        Kasusnya berbeda di sini. Filofosi kita, "Berbeda tapi Satu," ialah 
keluaran dari keberagaman sumber daya alam, kondisi geografis dan juga budaya 
kita.

        Kembali ke awal tahun 1990-an ketika ilmuwan politik Samuel P 
Huntington mulai mengelaborasi teori sejarahwan Bernard Lewis seputar Clash of 
Civilization alias benturan peradaban, banyak dari kita tak setuju dengannya.

        Barangkali, kita merasa istilah "civilization" atau peradaban terlalu 
provokatif. Apa yang dimaksud dengan peradaban sesungguhnya ialah "identitas 
agama dan budaya." Perbenturan identitas macam inilah yang mereka ramalkan.

        Perbenturan itu terjadi hari ini.

        Aceh sedang terkoyak antara budaya lokalnya sendiri dan identitas 
keagamaannya. Apa itu adat (Tradisi) dan Budaya Aceh? Cek website resmi 
pemerintah provinsi http://www.nad.go.id. Anda dapat menemukan menu di site 
tersebut tentang adat dan budaya. Tapi tak ada isinya. Sayangnya lagi, halaman 
untuk sejarah juga masih kosong.

        Aceh mengalami krisis identitas. Ia tak peduli untuk tahu bahwa pada 
awal abad ke 6 kronik China mengulas tentang tanah dan leluhur mereka. Bahkan 
walau tahu demikian, kita kita tak memiliki catatan sejarah seputar periode 
campur tangan tersebut. Selanjutnya kita mendengar tentang Aceh lewat Marco 
Polo pada tahun 1292. Kita tak punya catatan apa saja yang hilang selama enam 
sampai tujuh abad lebih.

        Berapa banyak dari kita tahu bahwa selain afiliasi keagamaan, Aceh 
selalu memegang teguh tradisinya dan nilai-nilai budayanya? Kita tak lagi ingat 
selama Iskandar Muda berkuasa (yang pemerintahannya terlalu menekankan pada 
semangat ekspansionis dan ekspedisi militer), tapi selama pemerintahan putrinya 
Taj'ul Alam (1641-1675) Aceh begitu damai, stabil dan aman. Tiga penguasa 
wanita yang lain menggantikannya. Aceh tak bermasalah dengan kepemimpinan 
perempuan. Arab Saudi akan menentang ide ini dulu dan sampai hari ini pun tetap 
demikian.

        Pada tahun 1699, sekelompok pedagang Arab menggunakan pengaruhnya di 
pengadilan untuk menekan "pemerintahan wanita" dan memasang pemimpin berdarah 
Arab di singgasana. Sejak saat itu, sejarah Aceh mengalami pembusukan yang 
cepat sekali.

        Mari berharap bahwa sejarah tak terulang lagi. Masyarakat Aceh harus 
mendukung pernyataan Wakil Gubernur Nazar, bahwa "Aceh berbeda dengan Timur 
Tengah." Politisi dan partai politik yang dikenal suka mempolitisasi agama tak 
usah diberi tempat di Aceh, atau di Indonesia dengan alasan apapun. Gubernur 
Irwandi Yusuf mempunyai kesempatan mencetak sejarah. Biarkan Aceh bangkit 
kembali pada kejayaan masa lalu, sejarah dan warisan budayanya untuk meraih 
masa depan yang lebih gemilang.

        Anand Krishna ialah seorang aktivis spiritual.

        13 November 2009

        Source: http://thejakartaglobe.com/  




------------------------------------------------------------------------------
  Get your preferred Email name! 
  Now you can @ymail.com and @rocketmail.com.

  


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke