Dear friends;

Terbetik berita dari media cetak bahwa pertunjukan "Kereta Kencana" (karya 
Rendra) akan dipentaskan ulang di Pusat Kesenian Jakarta "Taman Ismail Marzuki" 
pada 23 Nopember. Yang betul adalah pentas ulang pertunjukan tersebut pada 26 
Nopember 2009 di gedung teater Graha Bhakti Budaya (TIM) mulai jam 19:30. 
Silahkan datang. Gratis! Dalam rangka mengenang Alm Rendra.

Pementasan sebelumnya adalah di Komunitas budaya Salihara pada 6 & 7 Nopember. 
Dan inilah resensi di sebuah media cetak kita:


Dari Majalah  TEMPO edisi 16-22 Nopember:




Persembahan untuk Bung Willy

Dua dramawan senior memainkan naskah Kereta Kencana untuk
mengenang Rendra. Peragaan akting nan menawan.


Selama satu setengah jam Niniek L. Karim dan Ikranaga­ra menggetarkan
panggung. Me­reka berpantomim, meringis, meraung, dan terbahak bahak untuk
Kereta Kencana. Drama yang naskah­nya ditulis W.S. Rendra—adaptasi dari Les
Chaises karya Eugene Ionesco asal Prancis—ini disutradarai Putu Wijaya. Pentas
di Komunitas Salihara, Jakarta, Sabtu dua pekan lalu, digelar untuk mengenang
kepergian si Burung Merak. 

Alkisah, sepasang suami istri jompo telah hidup dua ratus tahun. Mereka
meminta kematian, tapi malaikat selalu menolak. Hingga suatu hari, Hendri, sang
suami, bermimpi didatangi kereta kuda berderap dengan lonceng berden­ting di
tengah gemuruh angin. Sebuah suara berkumandang: ”Wahai, orang tua yang selalu
bergandengan dan bercinta siang dan malam dua abad lama­nya, kereta kencana
akan datang menjemput....” 

Keduanya mafhum. ”Bukankah itu artinya kita akan mati bersama,” kata si
lelaki. Lalu pasangan ini bersiap menyongsong maut dengan menapaktilasi
perjalanan hidup mereka. Mereka ­mengobrol, mengenang negeri negeri yang pernah
didatangi, mengingat berbagai rezim yang pernah dilalui, dan mengucap impian
impian yang belum ter­capai. 

Sang istri sangat terobsesi suaminya menjadi jenderal (”Tapi aku hanya
profesor,” kata suaminya). Karena merindukan hadirnya anak dalam kehidupan
mereka, pasangan ini pun bersandiwara seolah olah punya anak. Mereka bergembira
bersama si ”anak”, tapi menangis ketika sadar itu semua hanya kepalsuan. 

Sesungguhnya hidup mereka tak buram. Di usia jompo begitu, Hendri masih
ditawari jabatan empuk. Saat pintu diketuk—dan sang kakek nenek mengira itu
malaikat maut—ternyata yang datang ”Pak Menko”, menawari Hendri jadi menteri.
Tapi Hendri menolak. ”Saya cuma punya satu muka. Jadi menteri kan harus punya
1.001 muka,” katanya. Aha, di sinilah Rendra mulai menyisipkan humor humor
konteks­tual dalam naskahnya. 

Putu Wijaya menyebutkan hal ini sebagai yang patut dikenang dari karya karya
Rendra: tema seserius apa pun bisa digodok menjadi sebuah sentilan yang
mengundang tawa. 

Cerita bergulir. Senang dan sedih silih berganti menghantui suami ­istri
renta ini. Si kakek tersadar, ia hanyalah ”cacing” yang selalu di bawah dan tak
pernah meraih apa pun yang diingin­kan. Lalu si nenek menghibur, ”Tapi kan kamu
bagus menjadi badut. Dulu waktu mahasiswa kamu juara satu lomba badut.”
Keduanya lalu bermain badut badutan, tergelak, kelelahan, dan kembali menyadari
kehampaan hidup mereka. 

Duo Ikra dan Niniek menunjukkan kelas mereka. ”Aksesori” mereka di panggung
hanya sebuah kursi dan sehelai kain putih yang menjuntai dari atas. Selebihnya
adalah akting memukau dramawan senior itu. Dialog yang panjang lebar tak terasa
membosankan. Baik Ikra maupun Niniek sukses menghanyutkan emosi hadirin kian
kemari. Sesaat kita dibawa ke suasana percintaan romantis, sesaat berikutnya
kita ikut tergelak bersama mereka. 

Tokoh tokoh yang lain ”hadir” ­lewat gerakan dan ucapan saja. Misalnya,
ketika tokoh sang Paduka datang, pasangan itu berakting membersihkan rumah dan
merunduk runduk seolah olah sang Raja benar ada di hadapan mereka. Atau, ketika
adegan segerombolan anak masuk rumah, duo jompo itu beraksi seperti panik dan
kewalahan mengurus sekumpulan bocah yang berkumpul di ruangan sempit. Luar
biasa. 

Satu satunya ”bintang tamu” dalam pementasan itu adalah Putu Wijaya, yang
hanya muncul beberapa detik. Ia berperan sebagai orang yang membisikkan sesuatu
ke Hendri. Yang dibisiki memekik: ”Siapa? Mencari ­Rendra?” Ketika ditanya 
istrinya,
Hendri menjawab, ”Itu intel yang ketidur­an lama sekali. Dia pikir ada Rendra 
­di
sini.” 

Lewat momen ini, Putu ”mengawin­kan” dua dramawan senior: Ikra dari Teater
Kecil dan Niniek Teater Populer. Sang sutradara membuktikan, meski berbeda
”aliran”, keduanya bisa menyatu di atas panggung. Sebuah persem­bahan yang
indah untuk Rendra. Suasana Salihara khidmat ketika, di pengujung acara, Putu
menyeruak dari bangku penonton sambil memekikkan panggilan Rendra: Willy!
Willy! 



Andari Karina Anom






      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke