Refleksi : SBY turut masuk daftar? Jawa Pos [ Minggu, 29 November 2009 ]
Pengakuan untuk Islam Damai Oleh: Nur Syam MENJELANG Muktamar NU di Makassar, 22-27 Maret 2009, warga NU memperoleh kabar gembira. Salah seorang warganya memperoleh pengakuan internasional sebagai The 500 Most Influential Muslims. Menurut The Royal Islamic Strategic Studies Jordania yang bekerja sama dengan Prince Al Waleed Bin Talal Center for Muslim-Christian Understanding dan Georgetown University, AS, telah dihasilkan ''The 500 Most Influential Muslims''. Di antara 500 muslim terkemuka di dunia tersebut, Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi menempati peringkat ke-18. Selain itu, ada nama Din Syamsuddin, ketua umum PP Muhammadiyah, di peringkat ke-35; Abdullah Gymnastiar (ke-48); Susilo Bambang Yudhoyono (presiden RI); serta Abdurrahman Wahid (mantan presiden RI, mantan ketua PB NU, dan mantan ketua Dewan Syura PKB) (Jawa Pos, 25/11/09). Masuknya nama Hasyim dalam jajaran pemimpin Islam yang mendunia itu tentu tidak mengagetkan. Beliau adalah ketua umum PB NU, Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ISIS), dan presiden World Conference of Religions and Peace (WCRP). Tentu, bukan hanya jabatan yang menjadi ukuran seseorang bisa memiliki pengaruh di dunia internasional. Pastilah ada ukuran kepantasan bagi yang bersangkutan memasuki level tersebut. Islam Rahmatan Lil Alamin Salah satu yang sangat mengedepan dari Hasyim adalah kampanyenya di tingkat internasional tentang Islam rahmatan lil alamin atau Islam damai. Yaitu, Islam yang membawa rahmat bagi sekalian alam. Islam sebagaimana teksnya memang untuk kerahmatan bagi seluruh alam. Bukan hanya keselamatan bagi manusia, tapi juga untuk alam lainnya. Yang diselamatkan adalah hablum minallah, hablum minan nas, dan hablum minal alam. Keselamatan manusia tidak akan berarti jika alam tidak selamat. Karena itu, Islam yang menyelamatkan adalah Islam yang memberi keselamatan bagi semua. Kiprah Hasyim dalam membangun Islam damai sangatlah mengedepan. Dalam berbagai konferensi internasional, dengan sangat elegan beliau mengampanyekan Islam damai. Jika kemudian Islam damai menjadi perbincangan di hampir semua konferensi atau dialog antarumat beragama di dunia, tentunya hal tersebut salah satunya merupakan andil Hasyim. Konflik antarumat beragama, menurut Artur J. D'Adamo (2004), dipicu oleh religion's way of knowing. Hal itu disebabkan adanya sebuah standar tentang agama sendiri yang kebenarannya diyakini sepenuhnya. Yaitu: (1) bersifat konsisten dan berisi kebenaran-kebenaran yang tanpa kesalahan sama sekali. (2) Bersifat lengkap dan final -karena itu tidak diperlukan kebenaran dari agama lain. (3) Kebenaran agama sendiri dianggap merupakan satu-satunya jalan keselamatan, pencerahan, dan pembebasan. (4) Seluruh kebenaran itu diyakini orisinal dari Tuhan. Melalui pembacaan Islam damai, religion's way of knowing itu akan bisa dinetralisasi. Dalam hal ini, yang perlu dikedepankan adalah konsep saling memahami keberadaan yang lain, the others. Ada orang lain di sekitar kita yang berbeda dari kita. Setiap agama memang memiliki potensi untuk silang sengketa. Ada doktrin teologis yang tidak bisa ditawar siapa pun. Ada kebenaran dogmatis yang mengajarkan bahwa hanya agamanya yang benar dan yang lain salah. Doktrin teologis itu banyak memicu konflik antaragama. Namun, di sisi lain, tidak bisa diingkari, realitas empiris mengajarkan kepada manusia bahwa ada sunnatullah yang memang meniscayakan adanya perbedaan suku dan etnis dengan berbagai varian di dalamnya. Sunnatullah tersebut bersifat given. Dari konsep sunnatullah yang meniscayakan berbeda tersebut, dikenal konsep toleransi antarumat beragama. Di dalam bahasanya, Hasyim sering menyebutkan ''yang sama jangan dibedakan dan yang beda jangan disamakan.'' Gerakan Islam Damai Ada sesuatu yang ahistoris dalam kehidupan ini. Yaitu, pemikiran yang menyatakan bahwa hanya ada satu kebenaran. Menurut kaum Bergerian, kebenaran adalah hasil konstruksi manusia. Jadi, ada pusat-pusat kebenaran dalam setiap entitas masyarakat. Konstruksi tentang kebenaran tersebut bisa saja bersumber dari ajaran agama. Hingga ada kebenaran mutlak atau kebenaran teologis yang seringkali memicu konflik antarumat beragama. Yang bisa diterima adalah bukan mengakui kebenaran teologis agama-agama lain, namun menoleransi bahwa ada kebenaran lain yang dikonstruksi oleh orang atau umat lain. Sikap dan tindakan itulah yang dalam konsepsi relasi antarumat beragama disebut co-eksistensi. Yaitu, sikap dan tindakan menghargai bahwa ada umat lain dengan keyakinan dan ritual yang berbeda. Islam rahmatan lil alamin memang sudah menjadi sebuah arus utama dalam berbagai konferensi internasional. Di Vatikan, beberapa bulan lalu juga terdapat konferensi antarumat beragama dan menghasilkan konklusi bahwa Indonesia bisa menjadi contoh relasi antarumat beragama di dunia. Sebagai sebuah gerakan, Departemen Agama bahkan sudah mencanangkan perumusan buku ajar tentang ''membangun Islam rahmatan lil alamin''. Hal itu merupakan bagian dari kesadaran agar tradisi Islam damai atau Islam rahmatan lil alamin tidak tereduksi oleh gerakan sekelompok orang yang menghasilkan stereotip bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang keras dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Wallahu a'lam bi al shawab. *). Prof Dr Nur Syam MSi , rektor dan guru besar sosiologi IAIN Sunan Ampel wa Pos [Non-text portions of this message have been removed]