Oleh: M Jusuf Kalla*

http://nasional. kompas.com/ read/xml/ 2009/11/26/ 16493310% 20/quotpak. 
jk.cepat. pulaaangg. negara.sedang. kacau...quot

KOMPAS.com - Kalimat seperti itu sering saya baca saat membaca komentar di 
situs Detik.com, Kompasiana, dan beberapa situs online lainnya, ketika sedang 
liburan di Eropa. Terus terang sedih membaca yang seperti itu. Dan sedih karena 
saya juga dalam kondisi yang tidak bisa berbuat banyak untuk menyelesaikan 
persoalan bangsa ini.

Kalau saya masih duduk di pemerintahan bisa saja hal tersebut bisa ditangani 
dalam waktu cepat. Mulai dari kasus penegakan hukum dan sampai yang betul-betul 
banyak dikeluhkan masyarakat adalah krisis listrik.

Persoalan listrik ini memang sangat vital. Karena dia tidak memiliki subtitusi. 
Begitu listrik padam, maka semuanya macet. Beda halnya dengan infrastruktur 
jalan, kalau Anda mau ke Bandung dan tol Cipularang rusak, maka anda masih bisa 
mencari jalur alternatif lainnya misalnya lewat Puncak, meski agak sedikit 
memutar.

Tapi kalau sudah listrik yang padam, Anda mau bikin apa? Tidak bisa nyalakan 
televisi, tidak bisa jalankan mesin, malam tidak bisa tidur karena kepanasan, 
tidak bisa nyalakan kipas angin atau AC.

Bagi Anda yang tinggal di Pulau Jawa mungkin kurang merasakannya, tapi yang di 
luar Jawa listrik padam itu seperti rutinitas minum obat, 3 kali sehari. Cuman 
katanya mulai agak jarang ketika saya berada di Makassar, kata beberapa 
teman-teman wartawan, "Nanti tunggu kalau Bapak balik ke Jakarta, listrik akan 
kembali sering padam seperti semula."

Persoalan krisis listrik ini, kita pernah alami 3 tahun yang lalu di Pulau 
Jawa, waktu itu beberapa pembangkit yang sedang kita bangun memang belum jadi. 
Tapi toh itu semua bisa kita atasi dengan melakukan re-schedule jam kerja 
industri. Jadi indsutri kita suruh bekerja bergiliran, jadi kalau rata-rata 
orang libur pada hari minggu, maka itu semua saya balik.

Ada yang libur pada hari Senin, hari Selasa, Rabu, Kamis dan seterusnya. Waktu 
itu memang banyak yang protes dengan alasan yang macam-macam. Tapi saya tetap 
tegas dan tidak peduli, cuman ada dua pilihan, "Mau kerja bergiliran atau tidak 
bisa kerja karena listrik Padam?"

Tapi entah kenapa hal seperti ini tidak ada lagi yang berani lakukan. Padahal 
yang namanya Pemerintah dia memang harus memerintah, bukan mengimbau. Kalau 
hanya sekadar mengimbau maka ganti saja namanya, bukan lagi "PEMERINTAH 
REPUBLIK INDONESIA" tapi menjadi "PENGIMBAU REPUBLIK INDONESIA".

Nah, kembali ke persoalan listrik, persoalan listik ini memang sudah diramalkan 
sejak tahun 2005. Bagaimana tidak, ekonomi sedang tumbuh maka otomatis 
permintaan akan energi listrik semakin meningkat, yang dulunya orang belum 
kenal mesin cuci, maka sekarang mulai mengenal mesin cuci, orang yang dulunya 
cukup hanya dengan kipas Angin maka sekarang mulai memakai AC.

Penduduk semakin banyak, anak-anak sudah mulai besar maka otomatis membutuhkan 
tambahan kamar lagi yang tentunya semuanya memakai energi listik. Belum lagi 
industri kita yang semakin giat, itu semua membutuhkan permintaan energi yang 
cukup besar.

Sementara di lain sisi, kita lupa membangun pembangkit listrik, kita lalai 
karena pemikiran bahwa kita masih krisis selalu tertanam di benak kita. Padahal 
permintaan akan energi semakin hari semakin meningkat. Memang dulu pada masa 
krisis kita tidak banyak memakai energi karena memang ekonomi lagi mandek, tapi 
begitu krisis selesai ekonomi mulai tumbuh maka permintaan energi semakin 
meningkat.

Memang sebelumnya kita pernah membangun pembangkit listrik sebelum krisis 1998, 
tapi semuanya dibatalkan atas arahan IMF, dan kita kena pinalty karena itu 
semua. Padahal seharusnya pembangunan Infrastruktur meskipun saat krisis tetap 
dilanjutkan, karena bagaimanapun paska krisis ekonomi tumbuh kembali maka 
otomatis permintaan energi semakin meningkat.

Pada tahun 2000-2005 kita hanya membangun pembangkit dengan daya kurang lebih 
1500 MW. Sementara pertumbuhan ekonomi kita saat itu sedang melesat maju. Nah 
inilah yang saya amati waktu itu, saya ramalkan, kalau pembangkit listrik tidak 
ditambah maka pada tahun 2009 kita akan gelap gulita. Waktu itu saya melapor ke 
Presiden, dan Pak SBY setuju lalu meminta kepada saya untuk memimpin proyek 
pembangunan Infrastruktur listrik.

Nah masalah kemudian muncul, karena saat itu Pemerintah lagi tidak punya, dan 
PLN sedang rugi. Akhirnya satu-satunya yang harus dilakukan adalah melakukan 
crash program, di mana PLN melakukan pinjaman dengan jaminan sepenuhnya oleh 
Pemerintah.

Nah inilah yang tidak dipahami oleh beberapa Menteri, terutama menteri 
perekonomian. Dengan alasan bahwa crash program itu tidak ada dasar hukumnya. 
Inilah sulitnya untuk mengurus sesuatu di Indonesia kita harus terjebak dalam 
Hutan Rimba aturan. Dan parahnya mereka para birokrat mereka lebih memilih taat 
pada aturan dibanding harus merubah aturan tersebut untuk kesejahteraan bangsa.

Bagaimanapun KEPRES, KEPMEN, PP, dan sejumlah aturan lainnya bisa dirubah kalau 
merasa mengganggu jalannya pembangunan. Toh dia cuman buatan manusia. Yang 
tidak bisa diubah adalah hukum Tuhan yang tertuang dalam kitab suci.

Akhirnya setelah saya marah dan menekan barulah penjaminan itu keluar meski 
sudah terlambat. Seharusnya itu dimulai pada tahun 2006 agar tahun 2009 kita 
aman, namun baru keluar pada tahun 2007. Dan yang terjadi seperti sekarang ini, 
listrik padam di mana mana. Dan semoga pembangunan Infrastruktur listrik 10000 
MW yang telah dicanangkan oleh pemerintah sebelumnya, tetap dilanjutkan oleh 
pemerintahan sekarang ini agar tahun depan keadaan tidak bertambah parah.

Memang persoalan energi sungguh ironi di bangsa kita yang kaya akan energi ini. 
Kita punya gas alam yang melimpah, energi matahari yang tiada henti-hentinya. 
Namun mengapa kita masih mengalami krisis energi? Ini karena kita lebih memilih 
mengekspor daripada energi tersebut dengan alasan menambah pendapatan negara.

Bagaimana ini bisa dibiarkan terjadi kalau kita sendiri memilih dibanding untuk 
memenuhi kebutuhan dalam negeri, malahan negara orang lain yang kita penuhi 
kebutuhannya. Padahal seharusnya kebutuhan dalam negri dulu kita penuhi baru 
kemudian kita bisa mengekspor. Yang terjadi malah sebaliknya, Jepang terang 
benderang karena mendapat pasokan energi dari kita, sementara kita sendiri 
gelap gulita karena kekurangan energi.

Untuk itulah waktu saya masih menjabat sebagai Wapres semua ekspor Gas saya 
larang sebelum kebutuhan dalam negeri terpenuhi. Natuna saya mau serahkan ke 
Pertamina untuk dikelola, Tangguh saya perintahkan Re-Negoisasi, Donggi senoro 
saya larang untuk ekspor.

Bagaimana pun Gas sangat kita butuhkan untuk pembangkit listrik kita. Mengingat 
pembangkit diesel itu operasionalnya sangat mahal. Memang PLTD yang beroperasi 
hanya tersisa 25 persen tapi yang mesti diingat 25 persen itu memakan 75 persen 
anggaran untuk subsidi listrik. Maka jangan heran kalau anggaran yang kita 
habiskan untuk subsidi listrik antara 60-90 triliun setiap tahunnya. Sebagai 
ilustrasi untuk memproduksi listrik / 1 KWH untuk tenaga Diesel itu seharga 
3000 Rupiah, sementara dijual rata-rata hanya 700 rupiah setiap KWH.

Untuk itulah penyelesaian proyek listrik 10000 MW ini sangat penting, karena 
selain memenuhi kebutuhan listrik masyarakat, kita juga bisa mengganti PLTD 
yang masih beroperasi dan dijadikan cadangan saja, biar seandainya ada apa-apa 
dengan pembangkit utama terganggu atau rusak, pasokan listrik tidak terganggu.

Selaiknya memang kita butuh cadangan paling tidak 30 persen dari total energi 
yang tersedia. Pada kenyataannya kita hanya memiliki 5 persen cadangan padahal 
singapura cadangannya sampai dengan 100 persen.

Saya selalu berharap Pemerintah yang sekarang tetap komit untuk "Lanjutkan"…

*) dikutip dari blog M. Jusuf Kalla di Kompasiana



 


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke