http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/12/09/brk,20091209-212655,id.html


Presiden Dinilai Dangkal 
Rabu, 09 Desember 2009 | 08:48 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta -  Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang 
mengklaim keberhasilan upaya pemberantasan korupsi selama masa kepemimpinannya, 
dinilai tak cukup menjelaskan situasi yang sesungguhnya. "Penjelasannya 
dangkal," ujar pengamat politik Universitas Indonesia, Arbi Sanit, tadi malam.

Sebabnya, kata Arbi, Presiden menyoroti pemberantasan korupsi hanya dari sisi 
hukum. Padahal korupsi terkait erat pula dengan masalah ekonomi dan politik.

Indeks persepsi korupsi hasil survei Transparency International yang dipakai 
Presiden untuk mendukung klaimnya pun dianggap berlebihan. Sebab, kenaikan itu 
hanya terjadi dari level 2 pada 2004 menjadi 2,8 tahun ini. "Naik cuma 0,8 
dalam lima tahun, dengan skala 1 sampai 10, apa itu berhasil?" kata Arbi.

Di sisi lain, Arbi melanjutkan, pencapaian itu dilakukan dengan biaya amat 
besar. "Juga undang-undang, peraturan pemerintah, dan keputusan presiden yang 
bejibun. Hasilnya cuma begitu."

Ketua Dewan Eksekutif Transparency International Indonesia Todung Mulya Lubis 
berpendapat, dengan naiknya indeks persepsi, harus diakui ada pencapaian yang 
didapat Indonesia. "Tetapi setback-nya (kemunduran) lebih besar," ujarnya.

Todung menyebutkan beberapa kasus terakhir yang menjadi noda pencapaian itu, 
misalnya kriminalisasi terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari 
situ tampak adanya upaya nyata untuk melakukan penghambatan terhadap gerakan 
pemberantasan korupsi.

Menurut Todung, hambatan besar yang baru saja mendera gerakan antikorupsi 
adalah Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, khususnya perihal 
komposisi hakim ad hoc (nonkarier). Dulu, perbandingan hakim ad hoc dibanding 
hakim karier di pengadilan khusus itu tiga banding dua. Kini komposisi hakim 
ditentukan oleh ketua pengadilan. 

Risikonya, kata dia, jumlah hakim nonkarier, yang dipandang lebih bersih dan 
obyektif, bisa kalah dibanding hakim karier. "Sehingga berpengaruh pada 
putusan."

Todung menyebutkan, upaya kedua ada dalam Rancangan Peraturan Pemerintah 
tentang Penyadapan. "Ada upaya secara legal menyunat kewenangan KPK," katanya.

Ia menambahkan, saat menyerahkan hasil survei Transparency International kepada 
Presiden, Todung telah mengingatkan bahwa survei dilakukan sebelum ada kasus 
Bibit dan Chandra. "Kalau survei dilakukan setelahnya, belum tentu ada kenaikan 
indeks persepsi korupsi."

Dalam pidato yang diberikan untuk menyambut Hari Antikorupsi Sedunia, yang 
jatuh hari ini, tadi malam Presiden membeberkan usahanya melawan korupsi. 
Presiden juga mengaku pengaktifan kembali Bibit dan Chandra serta 
ketidaksetujuannya atas penyunatan kewenangan KPK sebagai bukti komitmennya.

Presiden juga mengaku pernah dihadang oleh beberapa kalangan yang memintanya 
menjauh dari agenda pemberantasan korupsi. "Kelompok-kelompok itu meminta agar 
saya melakukan moratorium pemberantasan korupsi," katanya. "Dengan tegas saya 
katakan 'tidak!'. Tidak ada toleransi terhadap korupsi di bumi Indonesia."


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke