http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/12/07/OPI/mbm.20091207.OPI132140.id.html

Percuma Melarang Hantu Balibo

TAK ada satu pun alasan untuk menerima keputusan Lembaga Sensor Film melarang 
pemutaran Balibo di Jakarta International Film Festival. Entah disadari entah 
tidak, atas pesanan pihak lain atau inisiatif sendiri, lembaga itu seakan 
sedang pamer kuasa. Ini bukan saja perkembangan yang tidak sehat untuk dunia 
film kita, melainkan juga untuk demokrasi kita. Lembaga Sensor Film sudah 
menganggap penonton tak bisa berpikir mandiri, mesti diatur-atur dan dijaga 
supaya tak terombang-ambing atau dipengaruhi anasir asing. 

Lembaga Sensor Film secara khusus menilai adegan pembunuhan lima wartawan asing 
dalam kemelut di Balibo, pada awal masuknya militer Indonesia ke Timor Leste 
(dulu Timor Timur), sebagai sadisme. Film arahan sutradara Australia, Robert 
Connolly, ini memang berkisah tentang peristiwa pada 1975 itu, melalui 
penelusuran Roger East, wartawan yang datang ke Timor Leste atas undangan Jose 
Ramos Horta (kini Presiden Timor Leste). Lembaga Sensor Film juga menilai 
skenario film ini dibuat tak berdasarkan fakta sejarah. Akurasinya dianggap tak 
dapat dipertanggungjawabkan. 

Tapi fakta sejarah selalu bergantung pada tangan yang menelusurinya. Dan hasil 
penelusuran itu tak selalu merupakan kebenaran utuh. Dalam peristiwa berkabut 
tebal yang datang dan pergi bagai hantu seperti insiden di Balibo itu, temuan 
demi temuan masih bisa-dan bahkan harus-dimunculkan untuk diuji kebenarannya. 
Ujiannya, tentu, bukan dengan cara menghalangi pihak mana pun bersuara dengan 
temuan masing-masing. 

Dalam urusan izin pemutaran film yang dianggap bermuatan isu panas semacam itu, 
Lembaga Sensor Film harus belajar kepada Catholic Cinematographic Center. 
Inilah badan di Vatikan yang khusus bertugas mengkaji film dalam kaitannya 
dengan moralitas. 

Pada 1948, film berjudul Il Miracolo (The Miracle) dirilis di Italia. 
Disutradarai Roberto Rossellini, pionir neorealisme di negara itu, film ini 
mencoba mempersoalkan kesantoan melalui sosok Nanni. Dalam keadaan mabuk, 
perempuan desa ini tergoda oleh gelandangan yang dia kira, dalam keadaan tak 
sadar, Santo Josef. Nanni lalu mendapati dirinya hamil. Dia menganggap suci 
kehamilannya, tapi warga desa justru menistakannya. Mereka mencemooh, menyiksa, 
lalu mengarak Nanni di jalanan dengan baskom di kepala. Nanni berhasil 
melarikan diri ke gereja di puncak bukit; di sana dia melahirkan dan sesudahnya 
mengalami ekstase spiritual. 

Isu mengenai kesantoan itu jelas sensitif. Catholic Cinematographic Center pun 
mengecam film itu. Tapi tak ada perintah melarang. Film itu sempat diputar di 
Festival Film Venesia, yang dikenal tak bakal memberikan tempat bagi 
karya-karya yang oleh Vatikan dianggap menghina agama. Surat kabar semiresmi 
Vatikan, Osservatore Romano, malah menerbitkan ulasan apresiatif. Disebutkan 
bahwa "keberatan dari sudut pandang agama memang gawat", tapi ditunjukkan pula 
"adegan-adegan yang nilainya tak diragukan". Disimpulkan bahwa "kami masih 
percaya pada seni Rossellini". 

Pikiran terbuka semacam itulah yang seharusnya ditumbuhkan, termasuk di negara 
kita. Inilah asas kebebasan berpendapat, yang dijamin konstitusi. Film, dari 
mana pun asalnya, termasuk dalam cakupannya. 

Memang, pelarangan atas film terjadi di banyak negara. Setiap negara punya 
berbagai alasan-misalnya yang berkaitan dengan isu agama, sadisme, atau hal 
lain yang lebih spesifik seperti inses dan pedofilia. Tapi bahkan dengan 
alasan-alasan ini pun memilih berkepala dingin sesungguhnya tetap bisa 
diutamakan. Pelarangan tak perlu serta-merta menjadi tindakan pertama. 

Dalam hal itu harus diingat bahwa film, bagaimanapun, adalah tontonan. Untuk 
menikmatinya, orang mesti membayar. Karena itu, sederhana saja premisnya: jika 
Anda tak berminat menyaksikan, tak usahlah repot-repot ke bioskop dan membeli 
tiket. Hal ini berlaku pula untuk Jakarta International Film Festival-keramaian 
ini sudah pasti terbatas; penonton otomatis terseleksi. Itu bukan berarti kita 
kemudian lupa bahwa teknologi digital kini telah memudahkan orang menemukan 
sesuatu yang dalam kehidupan sehari-hari ditutup aksesnya. Tapi justru karena 
itulah sensor dan pelarangan terlihat sebagai tindakan yang kian menggelikan. 

Yang juga mesti dicamkan benar: pelarangan yang cenderung reaktif, seperti yang 
dilakukan Lembaga Sensor Film, dan didukung oleh berbagai lembaga dan instansi, 
sesungguhnya merupakan tanda kepicikan dan kekonyolan yang ekstrem. Ini 
kekeliruan, dari sisi mana pun kita memandang. Pelarangan adalah bahasa dari 
mereka yang tak punya akal sehat.


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to