Ketika memberi penjelasan di
depan Pansus DPR, 22 Desember 2009, Budiono bertindak layaknya seorang
professor yang memberi kuliah kepada mahasiswanya.
 
Dalam pertemuan tersebut,
perdebatan telah ‘dikunci‘ pada
persoalan efek sistemikkalau
seandainya Bank Century tidak diselamatkan. 
 
Tidak satupun anggota DPR yang
mempertanyakan; apakah model penyelamatan bailout merupakan kebijakan tepat 
atau salah ?.
 
Ini terjadi bukan
saja karena menganggap Budiono menguasai persoalan ekonomi, tetapi juga karena
otoritas Budiono sebagai seorang professor dalam salah satu aliran ekonomi.
 
Ada ‘kediktatoran terselubung’ dalam ilmu
ekonomi, yang dilakukan oleh salah satu aliran atau varian dalam ilmu ekonomi,
kemudian menobatkan diri sebagai satu-satunya klaim terhadap ilmu ekonomi - 
ekonomi
orthodoks.
 
 
Tirani Ekonomi
Orthodoks.
 
Pemikiran ekonomi,
pada awalnya, tidak dapat dipisahkan dari masalah moral, etika, politik,
kemasyarakatan, dan kemanusiaan. 
 
Meskipun kaum
fisiokrat mencoba membentuk rumusan-rumusan matematis dalam teori ekonomi,
namun Adam Smith tetap tidak memisahkannya dari persoalan filsafat moral,
sosial, dan ekonomi. 
 
Jadi, pada masa
awalnya, ilmu ekonomi sangat dekat dengan persoalan etika dan ekonomi-politik..
 
Karena perkembangan
sistem produksi, yang juga disertai perkembangan dalam sistim pemikiran, maka
mulai terjadi banyak pergeseran dalam ilmu ekonomi untuk menjadi lebih fokus
membahas soal produksi, konsumsi, nilai tenaga kerja, perdagangan komparatif,
tolak ukur penduduk dan jumlah barang, dsb, dengan tokohnya; David Ricardo,
Thomas Malthus, Jean Baptise Say, dan lain-lain.
 
Pada tahun 1870an,
berkembang satu aliran pemikiran yang bernama marjinalis, dan ini sangat 
berpengaruh
dalam menggeser ilmu ekonomi menjadi lebih ‘teknis-matematis’ dan berorientasi
pada pemaksimalan kebutuhan individual. 
 
Sejak itu, ilmu
ekonomi semakin akrab dengan metode teknis-matematis.
 
Paul Krugman, dalam
buku berjudul Development,
Geography, and Economic Theory menjelaskan, bahwa alasan beberapa
teori ekonomi tidak diterima luas oleh para ekonom adalah karena hal itu tidak
dimodelkan secara matematis.
 
Lebih jauh lagi,
Michael Parelman dalam ‘Railroading
Economics : The Creation of the Free Market Mythology’ menjelaskan,
sebuah teori ‘dapat ditolak’ untuk
alasan ideologis karena di dalam ilmu ekonomi, ortodoksi adalah pasar bebas.
 
Parelman mengutip
pernyataan Francis A. Walker, presiden Asosiasi Ekonom Amerika, yang menyatakan
bahwa ajaran laissez-faire bukan
dibuat untuk percobaan ekonomi ortodoks semata, melainkan untuk menentukan
apakah seorang sepenuhnya ekonom atau tidak. 
 
Dengan kata lain,
untuk menjadi seorang ekonom, terutama setelah tumbangnya Uni-Sovyet,
memerlukan ‘pengakuan dan persetujuan’
terhadap pasar bebas—yaitu, mempercayai bahwa pasar dapat mengalokasikan sumber
daya secara efisien.
 
Sejak itu, ilmu
ekonomi bukan saja menjadi sebuah ilmu yang rumit dan hanya bisa dipahami oleh
segelintir ahli, tetapi juga ilmu ekonomi menjadi sekedar legitimator terhadap
bekerjanya sebuah sistem ekonomi, namun terpisah dari praktik ekonomi.
 
Seharusnya, seperti
dikatakan Joseph Schumpeter, ilmu ekonomi harus memuat sejarah, statistic, dan
teori. Namun, belakangan ini, aspek sejarah dan politik ekonomi (dimensi
filosofis) terus dikesampingkan, dan semakin terfokus pada aspek
metodologis-statistik.
 
 
Budiono dan Bailout.
 
Dalam kasus Century,
seperti dikatakan di atas, persoalan benar-benar sudah dikunci soal cukup dan
tidaknya alasan untuk memberikan dana bailout, bukan pada persoalan; apakah
kebijakan bailout satu-satunya pilihan, ataukah ada pilihan lain yang lebih
tepat ?.
 
Akibatnya, para
ekonomi dan anggota pansus tersandera dalam perdebatan soal prosedur legal
formal, metodologis, dan penafsian. 
 
Tidak ada yang
menggugat ‘bailout’ sendiri sebagai ‘salah satu pilihan’, bukan ‘opsi 
terakhir’, melainkan ada begitu
banyak pilihan-pilihan lain.
 
Seolah-olah, karena
perdebatan tersebut, bailout merupakan kebijakan yang sudah tepat dan tidak
dapat diganggu gugat, hanya saja, mungkin, soal momen dan prasyarat
pengucurannya yang kurang tepat.  Ini
menurut mereka.
 
Saya melihat ini
tidak lebih dari sebuah peran ‘hegemonic’ sebuah ‘doktrin
ekonomi’, bukan soal kebenaran sebuah teori ekonomi pada praktik ekonomi. 
 
Dalam beberapa terakhir,
neoliberalisme sudah begitu menghegemonik bukan saja di Indonesia, tetapi juga
pada skala global. 
 
Ini juga mencakup
dotrin-doktrin mereka soal keutamaan pasar, pemajaan sektor finansial, dsb.
 
Persoalannya,
sebagian besar ekonom pun tidak memiliki satu kata terhadap penyebab dan bentuk
krisis saat ini. 
 
Bagi penganut ekonomi
mainstream, termasuk Budiono, krisis ekonomi sekarang tidak lebih sebagai
persoalan likuiditas. Sehingga, bagi mereka, solusi praksisnya adalah bagaimana
memberikan suntikan dana segar ke perbankan atau institusi finansial.
 
Namun, pendapat itu
belum tentu merupakan pandangan yang sah dan benar, meskipun mungkin didukung
oleh sebagian besar ekonom. 
 
Bagi sebagian besar
ekonom penentang neoliberal, penyebab krisis saat ini bukan hanya soal krisis
likuiditas, tetapi juga persoalan krisis solvibilitas; bukan hanya krisis
finansial, melainkan krisis pada sektor real. 
 
Mungkin, di luar
pengetahuan saya, ada begitu banyak pendapat lain soal krisis ini, namun tidak
dapat saya gambarkan dengan lengkap.
 
Kita tidak membahas
sempurna soal perdebatan itu, namun menjelaskan bahwa ekonom neoliberal telah
menggunakan kekuatannya -politik, klaim akademis, dll- untuk menundukkan
pendapat aliran pemikiran ekonomi lainnya.
 
Persoalannya, menurut
Michael Parelman, ekonomi orthodoks tidak dapat menggambarkan dunia dan
kenyataan secara objektif, melainkan melalui abstraksi-abstraksi teoritis. 
 
Teori Budino dalam
menjelaskan kasus century hanya akan menjadi ‘menara gading’, terpisah dengan 
kenyataan sebenarnya, karena
sebagian besar pendapatnya adalah abstraksi teoritis semata. 
 
Inilah kediktatoran
ekonom orthodoks.
 
Dalam memperdebatkan
penyebab krisis, kita tidak bisa berperilaku seperti ketika menjawab pertanyaan
3+3=6, tetapi ini membutuhkan dimensi filosofis dan ilmu-ilmu yang lebih luas. 
 
Dan, terkait dengan
hal itu, kita tidak bisa menjadikan pendapat seorang ekonom sebagai ‘postulat’
sebelum itu dikonfirmasi oleh kenyataan dan fakta.
 
 
Harus Ilmiah dan
Objektif.
 
Saya melihat, bahwa
klaim Budiono terhadap persoalan kebenaran ‘bailout’
lebih pada persoalan klaim, bukan pada soal objektifitas dan keilmiahan. 
 
Demikian pula dengan
klaim ‘efek sistemik’, itu lebih dari
sebuah hegemoni dalam menafsirkan sebuah situasi ekonomi, ketimbang sebuah
analisa dan kesimpulan objektif.
 
Saya bersepakat
dengan Rudolf Hilferding, seorang ekonom marxist, sebuah pendapat hanya dapat
bersifat mutlak apabila memenuhi syarat; kebenaran teori tersebut diterima
secara universal dan diakui oleh seluruh manusia yang berfikir secara rasional,
seperti hukum gravitasi, hukum genetika Mendel, dsb.
 
Ekonom yang
menyatakan bahwa bailout adalah solusi terhadap krisis, tentu saja, masih
merupakan pendapat sepihak. 
 
Apalagi tafsir
terhadap sistemik dan tidak, itupun masih observasi subjektif dari Budiono dan
koleganya. 
 
Buktinya, ada begitu
banyak ekonom lain yang mengatakan, bahwa penutupan terhadap Bank Century tidak
akan berdampak sistemik. 
 
Di Indonesia, ekonom
terbelah dua dalam memperdebatkan masalah ini.
 
Pada kenyataannya,
kebijakan bailout di berbagai negara, termasuk AS, tidak bisa menjadi solusi
permanen terhadap krisis kapitalisme. 
 
Menurut Paul Krugman,
seorang ekonom liberal dan peraih nobel ekonomi, bailout Tim Geithner dan Obama
tidak akan bisa bekerja jika asset bermasalah sudah undervalued.
 
Sebaliknya, menurut
ekonom yang sebarisan dengan Budiono ini, bank-bank tertentu justru menjadikan
ini ‘kesempatan’ untuk mendapat
keuntungan besar.
 
Dalam kasus AIG,
misalnya, dana bailout justru
dipergunakan oleh para manajer bank ini untuk berpesta dan sebagai bonus atas
pekerjaan mereka. 
 
Ini tidak berbeda
jauh dengan kasus Bank Century di Indonesia, dimana dana bailout justru 
dinikmati pemilik
bank dan segelintir deposan besar.
 

*
Budiono dan Ilmu Ekonomi
http://ekonomi.kompasiana.com/2009/12/25/budiono-dan-ilmu-ekonomi/
*
 

Pansus Hak Angket Skandal Bank Century akan segera memintakan perlindungan 
saksi kepada LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) agar memberikan 
perlindungan bagi mantan Direktur BI (Bank Indonesia) Zainal Abidin.
Perlindungan itu dimintakan terkait dengan kesaksian Zainal Abidin perihal 
rapat yang diselenggarakan oleh BI pada tanggal 13-Nopember-2008.

Zainal Abidin, yang sebulan pasca rapat itu dilengserkan dari jabatan direktur 
dan dimutasikan ke jabatan fungsional sebagai peneliti, telah memberikan 
kesaksian di depan Pansus yang sangat bisa jadi dengan kesaksiannya itu akan 
menjadi awal dari mulai terbukanya sedikit demi sedikit tabir misteri yang 
selama ini menyelimuti skandal bailout Bank Century.

Suasana rapat BI pada tanggal 13-Nopember-2008, yang dihadiri antara lain oleh 
Boediono dan Miranda Goeltom itu diliputi oleh isak tangis dari Siti Fajrijah, 
mantan Deputi Pengawasan BI.

Materi rapat penting itu antara lain membicarakan rencana pemberian FPJP 
(Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek) kepada Bank Century.

Peserta rapat terbelah ke dalam dua kelompok, ada kelompok yang ingin membant 
Bank Century dengan FPJP itu dengan alasan CAR (Capital Adequacy Ratio) atau 
Rasio Kecukupan Modal yang tidak perlu lagi mengacu kepada angka tertentu 
tetapi cukup dengan CAR yang positif saja.

Namun, ada pula kelompok yang tetap berpegang kepada aturan pemberian FPJP yang 
mensyaratkan CAR minimal harus 4%-5%.

Kesaksian perihal terbelahnya pendapat para pemimpin BI di dalam rapat perihal 
syarat minimal CAR terkait rencana BI memberikan FPJP kepada Century tersebut, 
sangat bisa jadi ada kaitan eratnya dengan kebijakaan BI yang kemudian merubah 
aturan persyaratan CAR.

Ini menimbulkan aroma dan indikasi kuat bahwa perubahan yang dilakukan BI 
tersebut, memang dilakukan oleh pimpinan BI semata-mata hanya berdasarkan 
pertimbangan dan kepentingan untuk memuluskan rencana melakukan bailout 
terhadap Bank Century.

Selain kesaksian tersebut diatas, dalam pemeriksaan Pansus terhadap mantan 
Direktur BI tersebut, ditemukan beberapa fakta yang membuat Wakil Ketua Pansus 
menyimpulkan bahwa ada indikasi kuat yang bernuansa tekanan dari Kementerian 
Keuangan terhadap BI perihal rencana bailout Bank Century.

Akankah itu merupakan awal dari semakin terkuaknya kebenaran tentang bailout 
Bank Century yang selama ini dicoba ditutupi dan disembunyikan ?.

Semoga pepatah kuno, becik ketitik olo ketoro, masih bisa mewujud di zaman yang 
disarati oleh paham neoliberal dan globalisasi pasar bebas ini.


Wallahualambishshawab.

*
Kontroversi 13-Nopember-2008
http://polhukam.kompasiana.com/2010/01/09/kontroversi-13-nopember-2008/
*


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke