Bentuk Protes NU dan Garis Keras

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid


Ketika di beberapa tempat, seperti di Medan, terjadi demonstrasi yang
diorganisir dan dilaksanakan oleh sejumlah "generasi muda" Nahdlatul Ulama
(NU) dan dalam demonstrasi itu dilakukan pengutukan atas penyerbuan tentara
Amerika Serikat (AS) terhadap Irak, salah satu diantara tuntutan mereka,
adalah pemutusan hubungan diplomatik antara RI dengan AS. Penulis menilai
ini adalah "babak baru" dalam sikap NU, dengan demikian seolah-olah telah
diciptakan desakan kuat dari dalam NU sebagai ormas keagamaan Islam terbesar
di Indonesia untuk memberikan reaksi sekeras mungkin terhadap penyerbuan AS
terhadap Irak. Sebelum itu, reaksi kalangan NU atas penyerbuan tersebut
hanya bersifat rasa tidak setuju terhadap penyerbuan dalam bentuk pemboman
terus menerus oleh pasukan-pasukan udara, infanteri, kaveleri, dan Marinir
Inggris dan Amerika atas sejumlah kota di Irak.


Siapa pun tidak dapat menyangkal adanya rasa solidaritas di antara sesama
kaum muslimin sedunia, jadi reaksi itu wajar-wajar saja adanya. Bahkan kalau
tidak mengemukakan reaksi akan sangat janggal rasanya. Mungkinkah kaum
muslimin yang menyatakan ketidaksetujuan atas serangan itu tidak dapat
dianggap memiliki solidaritas sama sekali? Karenanya, merujuk kepada
solidaritas seperti itu, sebuah reaksi memang sangat diperlukan. Tetapi,
"generasi muda" NU tadi mengajukan tuntutan agar
hubungan diplomatik RI-AS diputuskan saja. Maka jika ini dibiarkan, akan ada
anggapan bahwa reaksi dan protes oleh warga NU tadi adalah representasi dari
NU keseluruhan dan hal itu telah memasuki tahapan baru sama sekali. Inilah
yang membuat penulis terkejut ketika mendengar hal itu melalui radio
El-Shinta di Jakarta.


Kalau hal itu memang demikian adanya, maka pimpinan NU haruslah tanggap dan
memperkuat tuntutan tersebut. Tetapi, penulis tidak mendengar atau
mengetahui reaksi PBNU atau "pernyataan" PBNU tentang hal itu. Berarti
pimpinan NU tersebut tidak melihat adanya reaksi tersebut. Apakah hal ini
terjadi karena ambisi politik pribadi beberapa anggota PBNU, hingga
membuatnya tidak tanggap terhadap pemikiran warga NU sendiri? Tidak ada
kejelasan sama sekali. Dengan demikian, orang tidak dapat berkesimpulan
lain, kecuali menggangap reaksi "keras" tersebut hanyalah terbatas di
kalangan kecil warga NU belaka, yang kemudian mengajukan klaim atas nama
kaum muda NU di daerah yang bersangkutan. Tidak heranlah, jika lalu penulis
sebagai anggota Mustasyar (penasehat) PBNU kemudian mengeluarkan reaksinya
sendiri untuk mengecam dan menolak klaim tersebut.


*****
Penolakan itu penulis lakukan melalui sebuah konferensi pers di Jakarta.
Dalam forum tersebut selain penulis menolak klaim di atas, juga menolak
keinginan pemerintah yang menggangap Gerakan Aceh Medeka (GAM) tidak lagi
bersedia berunding mengenai tuntutan mereka. Penulis mengetahui, bahwa
Megawati Soekarnoputri mendapat tekanan berat dari beberapa pihak di
lingkungan TNI. Demikian juga Kapolri Da'i Bachtiar juga berpendapat, GAM
tidak bersungguh-sungguh dalam perundingan melalui JSC (Join Security
Council).


Melalui konferensi pres di atas, penulis juga menyatakan adalah gegabah
untuk menyamarkan kalangan moderat dalam GAM sama dengan kalangan ekstrim di
kalangan itu. Menurut penulis, jika generalisasi itu diteruskan maka
perundingan akan terhenti sehingga tidak ada jalan lain kecuali kekerasan
dalam hal ini.


Jika ini terjadi, maka Daerah Operasi Militer (DOM) babak II akan terjadi.
Jika DOM I mengakibatkan matinya lebih dari 9.900 orang warga Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD), sebuah kemungkinan sangat tragis, harus kita hindari.
Karena jika hal itu terjadi kembali, berarti pemerintah kita tidak hanya
akan berhadapan dengan GAM, melainkan dengan seluruh rakyat NAD.


Hal inilah yang tidak pernah dipikirkan oleh tokoh-tokoh "garis keras" dalam
pemerintahan atau organisasi apa pun, mereka hanya mengerti bahasa kekerasan
belaka tetapi tidak mengetahui malapetaka yang dapat ditimbulkannya.


Ada sebuah ungkapan: "perang adalah sesuatu yang sangat penting untuk hanya
diserahkan kepada para Jenderal belaka", mengapa demikian? Karena hal itu
akan mengakibatkan malapetaka yang harus dihadapi seluruh bangsa. Sebuah
keputusan yang salah akan berakibat sangat panjang dalam kehidupan kita
sebagai bangsa. Jadi, baik mereka yang mengaku sebagai "generasi muda" NU
maupun tokoh-tokoh pemerintah yang melakukan generalisasi atas GAM, haruslah
dilawan dan ditentang sejak dini. Tanpa adanya perlawanan dan penentangan
seperti yang dilakukan cendekiawan muslim Prof Nurcholish Madjid dan penulis
sendiri, maka malapetaka besar akan menimpa bangsa ini. Karena penduduk NAD
tidak mempunyai pilihan lain, kecuali tunduk atau berontak. Padahal
ketundukan kepada Republik Indonesia itu akan terjadi kalau kepentingan
mereka ditampung melalui perundingan.


*****
Jelaslah, reaksi atas penyerangan AS ke Irak maupun reaksi terhadap GAM
haruslah kita gunakan pemikiran dewasa dan mendalam. Kita tidak boleh hanya
mengikuti emosi belaka, walau betapa indah dan menguntungkan sekalipun hal
itu bagi kepentingan sesaat kita. Sikap dewasa yang mengandalkan diri kepada
kesabaran itu, sesuai sepenuhnya dengan firman Allah dalam kitab suci Al
Quran: "Demi Masa, Manusia Senantiasa Berada dalam Kerugian, Kecuali Mereka
yang Beriman, Mengerjakan Keshalehan, Mengajak kepada Kebenaran dan Membina
Kepada Kesabaran" (Wa al-Ashri Inna wal al-Inssana lafi Khusrin Illa
al-Ladzina Amanu wa'Amilu al-Shalihati wa Tawashau bi al-Haqqi wa Tawashau
bi al-Ashobri). Jika yang diperintahkan kitab suci kita adalah kesabaran,
maka layakkah kita meminta putusnya hubungan diplomatik antara RI-AS ? Juga,
sikap bosan berunding dengan GAM, yang dengan demikian membukakan peluang
bagi bangsa kita untuk menerima malapetaka?


Dahulu, para pemimpin muslim bersedia mancabut Piagam Jakarta yang di
dalamnya menjadikan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) menjadi negara
agama (Negara Islam). Dengan pencabutan itu secara otomatis menjadikan
negeri kita terpisah antara agama dan negara. Untuk itu demi untuk
mewujudkan sebuah kesatuan, relakah kita jika NAD memisahkan diri dari NKRI?
Lalu apa halnya dengan propinsi Irian Jaya (yang sekarang disebut Papua),
Minahasa, dan Riau?


Bukankah ini bertentangan tujuan dari para pemimpin gerakan Islam yang
bersikap menerima pemisahan agama dari negara di awal kemerdekaan kita? Di
sinilah kita perlukan pandangan jauh, kearifan sikap dan kerendahan hati
para pemimpin saat ini. Memang tanpa hal itu, cita-cita para pendiri negara
ini, "mengekalkan" NKRI yang bersumber pada pengertian tersendiri atas
istilah Nuswantara (negeri antara dua Pulau/Benua) tidak terwujud.


Jakarta, 13 April 2003

Penulis adalah Mustasyar PBNU


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke