Realitas kebudayaan kita akhir-akhir ini sedang berada pada posisi
yang terus mengalami pengasingan—ditinjau dari keberadaanya yang kurang
diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan baik pada wilayah politik,
ekonomi, sosial, maupun intelektual. Kebudayaan juga berada pada
kondisi yang terus mengalami pemiskinan—ditinjau dari kemerosotan,
pendangkalan, dan penyempitan baik definisi, bobot, maupun cakupannya
dalam kehidupan secara umum. Krisis keindonesiaan yang sekarang ini
mendera bangsa kita, basisnya adalah krisis kebudayaan ini.
Posisi dan kondisi kebudayaan tersebut tercipta sebagai akibat dari praktik 
dominasi yang dilakukan oleh tiga kekuatan utama:
1.
Kekuatan kapitalisme pasar yang menilai kebudayaan dari sudut pandang
pragmatisme pasar dan melakukan komodifikasi terhadap kebudayaan (baik
kebudayaan sebagai khazanah pengetahuan, sistem-nilai, praktik dan
tindakan, maupun benda-benda hasil ekspresi budaya), sehingga manusia
ditempatkan sebagai objek ekonomi dan bukan subjek daripadanya.
2.
Kekuatan negara yang menempatkan kebudayaan sebagai lebih sebagai alat
pendukung kekuasaan (legitimasi politik), dan menempatkannya sebagai
benda mati serta menjadikannya sebagai komoditas pariwisata untuk
mengumpulkan devisa, yang artinya negara telah menempatkan dirinya
sebagai sub-kapitalisme pasar dalam kaitannya dengan kebudayaan dan
bukan menempatkan kebudayaan sesuai definisi dan perannya yaitu sebagai
kumpulan pengetahuan, makna, nilai, norma, dan praktik serta berbagai
materi yang dihasilkannya (atau singkatnya kebudayaan sebagi formula
bagaimana suatu masyarakat melangsungkan kehidupannya).
3.
Kekuatan formalisme agama yang menempatkan kebudayaan bukan sebagai
energi sosial yang menjadi penopang tumbuh-berkembangnya harkat manusia
sebagai khalifah fil ardl, sehingga tidak diperhitungkan secara
proporsional dalam pengambilan keputusan hukum oleh para pemegang
otoritas keagamaan, dan dalam kadar tertentu mereka justru menempatkan
kebudayaan sebagai praktik yang “menyimpang” dari ketentuan hukum yang
mereka anut tersebut.
Atas dasar itu, untuk mengembalikan harkat
kebudayaan sebagai artikulasi pemuliaan manusia dan prosesnya untuk
mencapai integritas kemanusiaannya, sebagai arena penegasan dan
pengembangan jati diri kebangsaan Indonesia, kami merasa perlu
mengambil sikap kebudayaan sebagai berikut:
1. Menolak praktik
eksploitasi terhadap kebudayaan oleh kekuatan ekonomi pasar yang
memandang para pelaku budaya beserta produknya berada di bawah
kepentingan mereka.
2. Mengembalikan kesenian ke dalam
tanggungjawab dan fungsi sosialnya. Dalam hal ini seniman melakukan
kerja artistiknya dengan cara melibatkan diri dengan masyarakat, untuk
mengungkap, menyampaikan, dan mentransformasikan berbagai persoalan
yang terjadi di masyarakat melalui karya seni yang mereka ciptakan
dengan melakukan eksplorasi estetika yang seluas dan sekomunikatif
mungkin.
3. Menolak kecenderungan karya seni yang memisahkan diri
dari masyarakat dengan berbagai alasan yang dikemukakan, entah berupa
keyakinan adanya otonomi yang mutlak dalam dunia seni yang artinya seni
terpisah dari masyarakat, maupun universalitas dalam suatu karya seni
yang artinya karya seni terbebas dari ikatan relativisme historis suatu
masyarakat.
4. Memperjuangkan kebudayaan (baik sebagai khazanah
pengetahuan, nilai, makna, norma, kepercayaan, dan ideologi suatu
masyarakat; maupun–terlebih–sebagai praktik dan tindakan mereka dalam
mempertahankan dan mengembangkan harkat kemanusiaannya, lengkap dengan
produk material yang mereka hasilkan) sebagai faktor yang
diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan negara, sehingga
kebudayaan dapat menjadi kekuatan yang menentukan dalam setiap
kebijakan yang mereka putuskan.
5. Membuka ruang kreativitas
seluas mungkin bagi para seniman, baik tradisional, modern, maupun
kontemporer, yang mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan kesenian
yang disebabkan oleh kebijakan politik dan birokrasi negara, dominasi
pasar, maupun kekuatan formalisme agama.
6. Merumuskan dan
mengembangkan “fiqh kebudayaan” yang mampu menjaga, memelihara,
menginspirasi dan memberi orientasi bagi pengembangan kreativitas
masyarakat pada wilayah kebudayaan dalam rangka pemenuhan kodratnya
sebagai khalifah fil ardl dan sekaligus warga masyarakat-bangsanya.
7.
Keindonesiaan adalah tanah air kebudayaan kami. Oleh karena itu, di
dalam dinamika kesejarahannya, ia menjadi titik pijak kreatifitas kami,
Realitasnya yang membentang di hadapan kami, menjadi perhatian dan
cermin bagi ekspresi dan karya-karya. Kami ingin tanah air kebudayaan
kami menjadi subur oleh tetes-tetes hujan keringat estetik bangsa ini.
Diputuskan pada Muktamar Kebudayaan NU I

di Pesantren Kaliopak, Piyungan, Yogyakarta,

Senin,1 Februari 2010, pukul 22.39 wib. 

Fahmi Faqih

http://fahmifaqih.blogsome.com/



      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke