http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=119155

 Rabu, 24 Februari 2010 ] 


Pro-Kontra Pidana Pelaku Nikah Siri dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama 

Terinspirasi Kelahiran 35 Juta Anak Hasil Nikah Siri 

Rencana pemerintah menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Materiil 
Peradilan Agama tentang Perkawinan menuai polemik. Draf RUU yang mengatur nikah 
siri, poligami, dan kawin kontrak itu disoal berbagai kalangan. Negara dinilai 
menerobos batas syariah Islam dan hukum formal demi membela hak perempuan.

---

NAMA Profesor Nasaruddin Umar kian populer dalam sebulan terakhir. Dalam laman 
pencarian Google saja, Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama itu tercatat dalam 
130 ribu laman web yang berbeda. Sayang, tak sedikit dari itu yang mengecam 
dirinya. Penyebabnya, Nasaruddin adalah orang yang memopulerkan isu RUU Hukum 
Materiil Peradilan Agama tentang Perkawinan di media-media nasional. Dia juga 
dikecam karena dinilai berupaya memfasilitasi pemerintah dalam mengekspansi 
ranah syariat dengan alat RUU itu.

Kepada Jawa Pos, Nasaruddin tak membantah fakta itu. Dia menegaskan, perjuangan 
mengegolkan RUU yang digagas Kementerian Agama itu memang sudah final. Artinya, 
dia tidak akan mundur untuk mendukung pengesahan RUU yang menuai polemik 
tersebut. Sebab, wacana hukum pidana bagi pelaku nikah siri itu memiliki dasar 
kuat. Yakni, sebagai upaya meminimalkan angka perceraian dan penyelewengan 
dalam pernikahan. 

''Pernikahan itu sakral dan agung. UU Kependudukan dan UU Perkawinan sudah 
mewajibkan suatu perkawinan dicatatkan. Namun, kedua UU tersebut tidak mengatur 
sanksinya. Nah, wacana ini muncul karena dua UU tersebut tidak mampu menekan 
angka perceraian dan penyelewengan,'' ujar Nasaruddin.

Kementerian Agama mencatat, 48 persen dari 80 juta anak di Indonesia lahir dari 
proses perkawinan yang tidak tercatat. Artinya, 35 juta anak di Indonesia sulit 
mendapatkan surat lahir, kartu tanda penduduk, hak-hak hukum seperti hak waris, 
dan sebagainya. Selain itu, dari dua juta perkawinan per tahun, terdapat 200 
ribu perceraian.

''Masalah-masalah seperti ini harus mendapatkan perhatian khusus pemerintah dan 
itu diaplikasikan dalam RUU tersebut,'' ujarnya.

Lalu apa yang memicu polemik dalam RUU itu? Nasaruddin menjelaskan, isi RUU itu 
memperketat tentang nikah siri, kawin kontrak, dan poligami. Namun, RUU itu 
tidak membahas soal ahli waris dalam perkawinan Islam. Dalam RUU tersebut, 
nikah siri dianggap ilegal sehingga pasangan yang menjalani pernikahan model 
itu akan dipidanakan. ''Ada kurungan maksimal 3 bulan dan denda maksimal Rp 5 
juta," ujarnya.

Menurut Nasaruddin, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang 
dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Selain itu, 
setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih 
terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara.

Pegawai kantor urusan agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga 
diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. Perkara perkawinan kontrak, dengan 
alasan apa pun, kata dia, tidak dibenarkan. Nasaruddin menambahkan, nikah siri, 
poligami, dan kawin kontrak dipidanakan karena banyak pihak yang dirugikan atas 
pernikahan ini. ''Yang dirugikan kebanyakan perempuannya," ujarnya.

Beberapa pasal krusial -antara lain pasal 143-menyatakan bahwa setiap orang 
yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat 
nikah (PPN) akan dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi. Mulai enam bulan 
hingga tiga tahun dan denda mulai Rp 6 juta hingga Rp 12 juta. 

RUU tersebut tak hanya menjadi ancaman bagi mereka yang melakukan pernikahan 
siri, tapi juga pelaku kawin mut'ah atau kawin kontrak. Pasal 144 menjelaskan, 
setiap orang yang melakukan perkawinan mut'ah dihukum selama-lamanya tiga tahun 
penjara dan perkawinannya batal demi hukum. 

RUU itu juga akan mengatur perkawinan campur antara mempelai yang berbeda 
kewarganegaraan. Pasal 142 ayat 3 dalam RUU itu menyebutkan, calon suami yang 
berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui 
bank syariah Rp 500 juta. ''Karena sifatnya masih rancangan, tentu ini belum 
fixed. Jadi, masih terbuka terhadap ragam masukan dan revisi,'' ujar salah satu 
tokoh Nahdlatul Ulama (NU) tersebut.

Guru Besar Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yulian 
Wahyudi mengatakan, mencatatkan perkawinan dalam tata usaha negara memang tidak 
diwajibkan dalam syariat agama. Namun, syariat mewajibkan setiap orang tua 
melindungi hak-hak keturunannya. Karena itu, menurut tafsirnya, setiap orang 
tua wajib mencatatkan perkawinan agar seluruh hak anaknya terpenuhi. 

Yulian menuturkan, sebagian ulama memang menilai pemerintah bukan pemegang 
otoritas untuk menentukan hukum agama. Karena itu, dia mengusulkan dibentuk 
lembaga yang terdiri atas ahli dan ulama (ijma ulama halli wal abdi) untuk 
menguji masalah kontemporer seperti kewajiban pencatatan perkawinan. 

"Kalau hal yang tidak dilarang syariat itu menimbulkan masalah, pemegang 
otoritas diberi kewenangan oleh agama untuk mewajibkan mencatatkan perkawinan," 
lanjut doktor lulusan McGill University itu.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke