http://www.sinarharapan.co.id/cetak-sinar/berita/read/tak-ada-tempat-yang-dituju-di-tanah-air/

Kamis, 25 Pebruari 2010 13:24 
Repatriasi WNI dari Papua Nugini

Tak Ada Tempat yang Dituju di Tanah Air
OLEH: NATALIA SANTI



Jakarta - Pemerintah Indonesia berhasil merepatriasi 320 war­ga Papua dari 
Papua Nugini (PNG). Akan tetapi, tidak semua dari mereka sudah kembali 
beraktivitas.

     
Sebelas orang masih berada di Kan­tor Badan Perbatasan dan Kerja Sama Luar 
Negeri di Jayapura, tidak tahu ke mana akan kembali."Masih ada sebelas orang di 
kantor saya, belum ada yang menampung mereka," kata Yoseph Berty Fernandez, 
Ketua Badan Per­batasan dan Kerja Sama Luar Negeri, kepada SH, di Jakarta, 
beberapa waktu lalu. Sebelas orang tersebut di an­ta­ra­nya satu keluarga yang 
terdiri atas sembilan anak.


Peter Parera (77) dan ke­luar­ga adalah bagian dari ke­lompok 320 repatrian 
warga negara Indonesia (WNI) asal Papua yang dipulangkan pada November 2009. 
Pria kelahiran Kampung Ky, Alor, Nusa Teng­gara Timur itu menginjakkan kaki ke 
bumi Papua pada ta­hun 1969 sebagai sukarelawan TNI. Setelah masa kerjanya 
berakhir, Parera memutuskan untuk tetap tinggal di Papua dan bekerja pada PT 
Cigom­bong, mengerjakan berbagai pekerjaan, mulai dari operator mesin-alat 
berat, sopir, bahkan kuli bangunan.

Akan tetapi, kejadian di satu hari Minggu mengubah jalan hidupnya. Rekan-rekan 
kerjanya mengaku bahwa me­reka adalah anggota Gerakan Papua Merdeka wilayah 
Kem­tu Gresik, Jayapura. Penga­ku­an itu disampaikan kepadanya usai berburu 
ayam hingga jauh ke dalam hutan dan tak kembali. 


Dia ingin pulang, tetapi malah dihasut untuk menjadi pengikut gerakan OPM. 
Sejak itu, dia tidak melihat lagi sanak saudaranya atau kembali ke tempat 
perusahaannya di proyek pembukaan jalan baru di Kecamatan Kemtu Gresik. Inilah 
insiden yang membawanya tersesat ke negara tetangga Papua Nugini, tutur Parera. 
Dia harus belajar hidup di tengah hutan rimba bersama gerombolan OPM pimpinan 
Natalis Magay. Ia memakan makanan hutan dan beradaptasi dengan alam. Di Markas 
OPM di Kamp Victoria, dia berkenalan dengan dua pim­pinannya, Ottow Ondama dan 
Apaseray. 


Kurang lebih tiga bulan berada di Kamp Victoria, dia ditugaskan untuk mencari 
persediaan kebutuhan. Saat mencari bahan makanan itulah dia berhasil melarikan 
diri dari teman-temannya dan tiba di Kampung Muso. Oleh kepala kampung, Parera 
dibawa petugas perbatasan PNG ke Vanimo, Provinsi Sandaun dan ditempatkan di 
Yako Camp, sebuah kamp pengungsi milik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 


Beberapa kali Parera minta dipulangkan ke Indonesia, tetapi permintaannya tidak 
direspons. Parera lalu dijemput perwakilan Kemlu PNG dan dibawa ke Mosby, 
Provinsi Central untuk dipekerjakan sebagai guru honorer di Sekolah Dela Sale. 
Selama delapan tahun dia diberi tunjangan makanan dan uang saku. 


Atas pengabdiannya, dia kemudian melamar sebagai pegawai negeri. Dia diterima 
di bagian pertanian Maregina selama sepuluh tahun hingga memasuki masa pensiun. 
Di sanalah dia juga bertemu dengan sang istri, Ameda. Mereka kemudian 
dianugerahi sembilan anak, yang terkecil berusia lima tahun.


Setelah pensiun, Parera membuka toko kecil di depan rumah. Lama berada di PNG 
tidak menghapus harapannya untuk kembali ke Tanah Air. Akhirnya, melalui teman 
akrabnya, Parera dipertemukan dengan seorang staf KBRI Port Moresby yang sedang 
mensosialisasikan Program Repatriasi bagi WNI asal Papua. Mereka hanya membawa 
sedikit pakaian, karena merasa dijanjikan pihak KBRI Port Moresby bahwa rumah 
dan tanah telah ada bagi mereka di Indonesia. Akan tetapi, pada kenyataannya, 
hingga kini, Parera hanya mengandalkan bantuan dari Badan Perbatasan dan Kerja 
Sama Luar Negeri.

Tersesat
Lain lagi kisah Day-day Hakimul, repatrian yang dipulangkan bersama Parera. Dia 
terdampar di PNG karena tersesat saat berusia tujuh tahun. Orang tua kandung 
Day-Day di masa lampau bersama dengan beberapa anggota keluarga lainnya 
melintasi perbatasan Indonesia ke Papua Nugini. Saat imigrasi itulah Day-day 
dilahirkan. Perjalanan orang tuanya dikategorikan sebagai perjalanan lintas 
perbatasan secara tradisional karena rumah tinggal mereka atau kampung halaman 
mereka di pegunungan Jayawijaya terletak begitu dekat dengan wilayah perbatasan 
kedua negara.


Para imigran gelap ini memasuki wilayah PNG tentu tanpa dokumen resmi. Asal 
suku dan moyang mereka diprediksikan dari wilayah pegunungan tengah atau bagian 
selatan Pulau Papua dan tentang alasan mengapa mereka harus berimigrasi ke PNG 
masih belum bisa dijelaskan. Day-day pun tidak tahu.


Di masa kanak-kanaknya, Day-day kerap mendengarkan kisah orang tuanya yang 
menceritakan mereka berasal dari Provinsi Papua-Indonesia, dan kampung mereka 
terletak di bawah gunung besar, Jayawijaya. Saat Day-day berumur kira-kira 
tujuh tahun, ia terlepas dari pengawasan orang tua kandungnya, tersesat dan tak 
tahu jalan untuk kembali pulang. Sejak itulah Day-day tidak pernah bertemu 
orang tuanya kembali hingga hari ini.


Day-day terlunta-lunta hingga bertemu dengan perkumpulan warga Islam di PNG. 
Pada usia delapan tahun, dia ditemukan pengelola sebuah madrasah dan akhirnya 
belajar membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa Arab dan Inggris. Day-day 
akhirnya diangkat anak oleh seorang pria asal Pakistan-India. Pria yang kini 
berusia 40 tahun itu mendengar program repatriasi dan kembali ke Papua. Sama 
seperti keluarga Parera, hingga kini dia masih berada di penampungan Badan 
Perbatasan dan Kerja Sama Luar Negri di Jayapura. 


Ketua Badan Perbatasan dan Kerja sama Luar Negeri, Yoseph Berty Fernandez, yang 
akan segera berangkat menjadi Duta Besar Indonesia untuk Peru, mengungkapkan, 
dia mendengar kabar kedua belas orang tersebut akan diterima oleh Bupati 
Nabire. Akan tetapi, saat dikonfirmasi kembali pada Selasa (23/2), petugas 
menyatakan hal tersebut belum terealisasi.


Selain ke-320 warga Papua yang telah kembali tersebut, masih banyak WNI di 
Papua Nugini yang menanti untuk kembali. Kendala dana dan penampungan mereka di 
Tanah Air masih mengganjal kepulangan mereka. 



[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to