http://www.cenderawasihpos.com/detail.php?ses=&id=2355

27 Pebruari 2010 08:37:38

Kampung-Kampung yang Penduduknya Banyak Menikah Siri (2-Habis)


--------------------------------------------------------------------------------




Vivi 11 Kali Menikah, 9 Kali secara Siri 
Tradisi menikah siri juga banyak dilakukan warga di desa-desa di dua kabupaten: 
Indramayu dan Pasuruan. Benarkah hanya bermotif ekonomi? 
-------------------------- -------------
KHOLIL IBRAHIM, Indramayu 
---------------------------- -----------


Kula rela najan beli dikawin. Asal sarate uripe dijamin.
Tapi, yen bisa padu kawin kiai. Teka Pak Lebe wong tua melu nyakseni.
(Saya rela meskipun tidak dikawin. Yang penting hidupnya dijamin.
Tapi, kalau bisa dikawinkan Pak Kiai. Datang Pak Lebe (pamong desa) orang tua 
ikut menyaksikan). 


Kalimat di atas adalah potongan bait lagu dangdut tarling berjudul Kawin Kiai 
yang didendangkan penyanyi Itih S. Siang itu (22/2) lagu tersebut mengalun 
cukup keras dari salah satu rumah milik warga yang tinggal di tepi jalan raya 
pantura, Indramayu. 


Beberapa radio di Indramayu kerap memutar lagu berjudul Kawin Kiai itu. Bahkan, 
di toko-toko kaset semakin banyak saja yang memburunya. Dan, memang, lirik lagu 
itu klop dengan fenomena nikah siri yang saat ini menjadi polemik. Diceritakan 
dalam lagu itu, seorang wanita yang lebih memilih dikawin siri asalkan hidupnya 
terjamin. 
"Momennya tepat saja. Memang banyak juga fans yang me-request lagu-lagu yang 
mengisahkan kawin siri," ungkap Public Relation dan Marketing Radio Prima FM 
Haurgeulis Raihan A.Z. 


Di Indramayu, fenomena nikah siri bukan hal baru. Menikah tak harus dicatatkan 
di instansi resmi terkait. Hal itu cukup hanya diketahui ketua RT sebagai pihak 
berwenang, atau warga di satu lokasi saja."Yang penting syarat dan rukun 
nikahnya terpenuhi, serta bertujuan membangun keluarga yang sakinah. Tidak 
dicatat di KUA, tapi hanya diketahui ketua RT atau warga satu RT," kata Drs 
Ghozali, salah seorang tokoh masyarakat di Desa Keretajaya 



Blok Sabrang Wetan, Kecamatan Bongas, Kabupaten Indramayu. 
Pria 53 tahun tersebut mengatakan, di wilayahnya kawin siri seperti itu disebut 
juga kawin RT. Hal itu sering dilakukan pasangan yang sudah berusia lanjut. 
"Usianya 40-50 tahun," kata pria yang juga menjadi anggota Satgas Trafficking 
di Kecamatan Bongas ini. 


Dia menambahkan, kebanyakan pelaku nikah siri dilatarbelakangi keterbatasan 
biaya. "Di sini, menyelenggarakan pernikahan secara resmi sesuai aturan negara, 
harus keluar duit antara Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta," paparnya. 
Itu belum termasuk syarat lain, yakni memiliki KTP, KK (kartu keluarga), ijazah 
sekolah, foto, maupun surat-surat resmi lain. "Bagi para manula, persyaratan 
itu sangat merepotkan. Jadi, cari yang murah dan praktisnya saja, tapi harus 
dengan niat yang baik," tutur bapak tiga anak itu.
Faktor lain yang menjadi motif pelaku nikah siri adalah mahalnya biaya proses 
perceraian bila menikah dengan mencatatkan perkawinan ke lembaga yang 
berwenang. "Sengaja dipatok biaya tinggi, guna menekan angka perceraian di 
Indramayu. Kalau kawin RT, mau cerai cukup lapor ke penghulu dan ke RT lagi," 
terangnya.


Soal pertimbangan serbamudah sehingga lebih memilih menikah siri ini diakui 
pasangan Tarjo, 55, dan Ida, 48. Pasutri ini menikah secara siri tiga tahun 
lalu. Tarjo duda dan Ida janda. Pernikahan mereka dihadiri seorang ustad yang 
bertindak sebagai penghulu. Juga ada ketua RT dan beberapa kerabat dan tetangga 
satu RT. "Oleh Pak RT sudah ditawari supaya dicatat pernikahannya. Tapi, kami 
terus terang tidak punya biaya. Jadi, kami menikah secara sederhana saja, tidak 
mendaftar ke KUA," ujar pria yang bekerja sebagai buruh tani itu. 
Kepala Urusan Agama Islam (Urais) Kantor Departemen Agama (Kandepag) Kabupaten 
Indramayu Drs H M. Amin Bay MAg tidak menampik bahwa fenomena nikah siri masih 
cukup banyak di wilayahnya. "Hampir menyebar di seluruh kecamatan. Biasanya di 
daerah pelosok dan perbatasan dengan kabupaten lain," kata Amin. 


Dia mengatakan, sebagai petugas, dirinya sudah sering mengingatkan masyarakat 
tentang dampak negatif kawin sirri. "Tapi, imbauan kami agar masyarakat menikah 
secara sah di mata negara, sulit mengalahkan faktor pengaruh dari luar dan 
faktor biaya," paparnya. 
Selain di Indramayu, desa yang warganya banyak menikah siri adalah di Desa 
Kalisat, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Desa Kalisat 
terletak di kawasan paling selatan Rembang. Jika diukur dari Bangil, arahnya ke 
selatan sekitar 20 kilometer. Desa ini tergolong miskin. 


Ketika berkunjung ke desa itu, Radar Bromo (Cenderawasih Pos Group) sempat 
dikenalkan dengan Vivi (nama samaran). Umurnya baru 24 tahun. Tapi, dia sudah 
11 kali menikah, 9 kali di antaranya menikah siri. "Saya awalnya dinikahkan 
orang tua sejak usia saya 12 tahun," ucapnya. 


Saat itu Vivi masih sekolah di SD kelas IV. Di usianya yang masih belia, dia 
dijodohkan oleh orang tuanya. Kalangan orang tua di desa memiliki pandangan 
untuk segera menikahkan anaknya meski usianya masih sangat belia.
Karena masih sangat belia, pernikahan Vivi dengan Kosin, warga Tampung Rembang, 
tidak berjalan mulus. Hanya berlangsung dalam hitungan bulan. Padahal, 
pernikahan mereka saat itu dicatat di KUA. "Saya juga nggak mau dikumpuli. Lha 
wong masih senang

 dolanan (main-main). Juga belum men (menstruasi) lagi," imbuhnya dengan nada 
ceplos-ceplos. 


Pernikahan Vivi-Kosin pun akhirnya berantakan. Vivi minta cerai. Setelah masa 
iddah (masa tunggu, Red) berakhir, setahun kemudian Vivi mendapatkan tambatan 
hati. Dia dilamar pria asal Kalianyar, Bangil. "Pernikahan yang kedua ini juga 
dicatat di KUA," ceritanya. Tapi, itu tidak berlangsung lama. Hanya enam bulan. 
"Suami saya meninggal," ungkapnya.




Setelah dua kali menikah, Vivi lantas menikah lagi hingga sembilan kali. 
Semuanya dilakukan secara siri. Para pria yang menikahi Vivi umumnya dari luar 
kota. Mulai Mojokerto, Surabaya, Madura, Gresik, hingga Jakarta. Bahkan, dia 
pernah dinikahi pria berdarah Arab yang memiliki vila di kawasan Prigen. "Arab 
pernah, China juga pernah, ha... ha...," ucapnya. 


Bagaimana rasanya? Wanita yang kini bekerja di sebuah kawasan di Lawang itu 
hanya tersenyum. Menurut Vivi, dirinya belum begitu merasakan rumah tangga yang 
sesungguhnya. Hal itu disebabkan pernikahannya tidak berlangsung lama. 
Rata-rata tidak sampai setahun. "Yang Arab itu kan hanya singgah tiga bulan. 
Kalau visanya habis, ya pulang ke Arab lagi. Ketika sulit kontak, saya minta 
diceraikan saja," tegasnya. 




Dari pernikahan siri itu, Vivi mendapatkan keturunan saat menikah dengan pria 
asal Mojokerto. Usaha membina rumah tangga sempat berjalan mulus. Apalagi si 
pria adalah duda. Buah pernikahan itu menghadirkan anak laki-laki yang kini 
berusia 11 tahun. "Saya cerai dengan suami saya dari Mojokerto itu setelah 
ketahuan dia selingkuh. Meski dicerai, sampai sekarang anak saya masih diberi 
jatah sebulan Rp 500 ribu," tuturnya. 




Tren seputar nikah siri di Rembang terjadi sejak puluhan tahun silam. Rata-rata 
perempuan yang bisa dinikah siri sudah berstatus janda. Usia mereka relatif 
berbeda. Ada yang masih belasan tahun. Ada juga yang puluhan tahun. "Kami tidak 
pernah menghitung ada berapa janda di sini," tutur Sarbini, kepala Dusun Barat 
Sungai, Desa Kalisat. 




Latar belakang keluarga di Kalisat, Rembang, juga diyakini memiliki pengaruh 
besar. Rata-rata pendidikan orang tua begitu rendah. Hanya lulusan SD. Mata 
pencaharian mereka juga lebih di ladang pertanian. Kalaupun ada mata 
pencaharian lain, jumlahnya tidak terlalu banyak. 
Menautkan si perempuan dengan calon pria yang akan menikahi secara siri 
biasanya dilakukan melalui pengarep. Ini adalah istilah lain untuk makelar. Si 
pengarep inilah yang bertugas mencari informasi tentang janda di kawasan 
tersebut. Jika ada pria yang ingin menikah siri, pengarep melobi si wanita dan 
orang tuanya. "Menikahnya tetap seizin orang tua. Hanya, kami tidak dicatat 
oleh catatan nikah saja," terang Munif, pria yang pernah menjadi pengarep. 


Camat Rembang Masykur Efendi mengatakan bahwa pernikahan siri di wilayahnya 
masih ada. Tapi, jumlahnya relatif menurun. "Saya juga sudah berupaya 
sosialisasi untuk itu. Nikah siri memang masih ada. Yang tidak ada nikah 
kontrak. Kalau ada yang menyebut di sini ada nikah kontrak, saya minta 
buktinya," tegas Camat Masykur. (dibantu m. hidayat/radar bromo/kum) (scorpions)


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke