http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=46362:menyoal-nasib-anak-jalanan&catid=78:umum&Itemid=131


      Menyoal Nasib Anak Jalanan      
      Oleh : Harry Veryanto Sihite 

      Pemandangan anak-anak jalanan di kota besar sudah tidak asing lagi, 
dimana di keseharian mereka selalu berada dijalanan dan berbaur dengan kerasnya 
kehidupan jalanan. 

      Pemandangan yang sudah sangat biasa dimana mereka berhamburan menghampiri 
para pengendara yang berhenti pada saat lampu merah, hal itu tidak lain untuk 
meminta belas kasihan dari orang-orang yang sedang melintas tersebut. 

      Suatu pemandangan yang sebenarnya boleh dikatakan unik, dimana ketika 
anak-anak tersebut menjulurkan tangan sambil mengelus elus perut sebuah isyarat 
yang menandakan mereka sedang lapar. Ada juga kegiatan anak jalanan yang seolah 
olah menjual jasanya kepada pengguna jalan yaitu membersihkan atau mengelap 
kaca mobil bagi mereka pengendara mobil. 

      Pemandangan lain terlihat dimana anak-anak tersebut mengamen seolah-olah 
menjual suara mereka yang semuanya itu pada ujungnya mengharapkan belas kasihan 
dari orang-orang. Pengendara yang merasa kasihan akan merogoh kantongnya dan 
memberikan sejumlah uang kepada anak-anak tersebut, namun tidak jarang juga 
pengendara yang cuek dengan keadaan tersebut, diam tidak memberi apa-apa dan 
melaju kembali ketika lampu hijau menyala. Begitulah kegiatan anak-anak yang 
tidak beruntung tersebut menunggu lampu merah menyala kembali. 

      Variasi umur anak-anak jalanan itu juga bermacam macam, mulai dari yang 
masih balita (5 tahun) sampai yang sudah beranjak dewasa. Desakan kebutuhan 
ekonomi rupanya tidak memandang usia. Memang sungguh nasib yang sangat malang, 
berbeda dengan anak-anak yang hidup wajar lainnya, dimana anak jalanan balita 
tersebut seharusnya masih dalam pangkuan orang tuanya dan selayaknya mendapat 
kasih sayang, pendidikan, perhatian khusus dan gizi yang layak. 

      Akan tetapi malah sebaliknya, mereka harus berjuang untuk melawan 
kerasnya kehidupan dan tekanan ekonomi yang semakin menjadi-jadi, semua itu 
dilakukan untuk menghidupi dirinya sendiri dan bahkan menghidupi 
keluarga-keluarganya. 

      Jumlah dan kondisi anak jalanan di Indonesia sangat memprihatinkan dimana 
jumlah mereka sudah sangat tidak sedikit dan membuat resah sebagian orang. 
Seperti di lansir Kompas Edisi 20 Januari 2010, jumlah anak jalanan meningkat 
50 persen, dimana pada tahun 2008 sebelumnya anak jalanan tersebut masih 
berjumlah 8000 orang, namun pada tahun 2009 jumlah mereka mencapai lebih dari 
12.000 orang. 

      Lebih mengejutkan survey tersebut hanya masih pada wilayah DKI Jakarta 
saja. Sungguh angka yang sangat fantastis bukan? Mengapa tidak jumlah penduduk 
12.000 jiwa sudah setara dengan jumlah penduduk pada satu atau lebih Desa atau 
kelurahan. Survey lain mengatakan jumlah anak jalanan di puluhan kota besar di 
Indonesia mencapai 300.000 orang atau dapat disetarakan dengan jumlah penduduk 
dilebih dari satu kecamatan.

      Konsep dan pola kehidupan anak jalanan ini juga berbeda beda, namun 
jelasnya mempunyai satu tujuan yang sama yaitu untuk kegiatan ekonomi. Ada anak 
jalanan yang masih hidup bersama orang tuanya atau masih mempunyai hubungan 
dengan orang tuanya dan anggota keluarganya. Biasanya anak seperti ini adalah 
anak yang di manfaatkan orang tuanya untuk membantu mencari nafkah demi untuk 
menyambung hidup. Setelah tiba waktunya anak ini akan pulang kerumah, memberi 
penghasilannya dan kembali berbaur dengan keluarganya. 

      Namun ada juga anak jalanan yang hidupnya dihabiskan di jalanan, mencari 
nafkah dijalanan, hidup sendiri atau memilih tidak hidup dengan keluarganya dan 
bahkan sampai makan dan tidur sekalipun dia dijalanan. Kerasnya hidup dan 
tekanan kebutuhan membuat mereka semakin terpuruk dan tidak berdaya

      Dampak yang sangat mengkhawatirkan bilamana anak-anak jalanan tersebut 
dibiarkan mengemis, meminta belas kasihan dari orang secara terus menerus, maka 
kelak anak-anak tersebut akan menjadi sampah masyarakat. Sampah yang tidak 
diperhitungkan akan tetapi di takuti sebagai momok yang ganas dan buas. Mereka 
ditakuti karena bawaan dan tingkahlaku mereka yang tidak wajar. 

      Pada umumnya proses social yang salah akan mengakibatkan pembentukan 
karakter yang salah juga. Krisis moral dan kepribadian merupakan produk dari 
proses social yang salah. Si anak akan hidup tanpa moral dan kepribadian yang 
terpecah. Selama ini mereka telah di didik oleh kerasnya kehidupan jalanan, 
jadi untuk kemudiannya mereka juga akan hidup menjadi manusia yang tidak 
bermoral, berkarakter lazimnya binatang.

      Kelak untuk menyambung hidupnya mereka akan berbuat apa saja dan 
menghalalkan semua cara. Mulai dari mencuri, merampok, menjambret dan bahkan 
membunuh sekalipun akan mereka lakukan demi sejengkal perut yang harus mereka 
isi nantinya. Jadi dapat disimpulkan kehidupan jalanan akan mendidik anak 
jalanan menjadi seorang penjahat dan kelak akan menjadi musuh masyarakat.

      Belum lagi perlakuan negative terhadap anak jalanan, perlakuan oleh 
seseorang atau sekelompok orang yang tidak memiliki hati nurani. Banyak anak 
jalanan yang mengalami kekerasan baik kekerasan seksual, kekerasan fisik 
sampai-sampai mengakibatkan kematian. Misalnya saja kasus Baekuni alias bungkih 
alias Babe, yaitu kasus pembunuhan disertai sodomi dan mutilasi terhadap anak 
anak jalanan, Babe menyodomi korbannya kemudian membunuhnya bahkan ada juga 
korban yang dimutilasi.

      Berdasarkan hasil penyidikan terakhir korban Babe sudah mencapai 14 
orang, dimana semuanya dikubur atau dibuangnya secara sembarang. Kejahatan 
tersebut mungkin hanya merupakan salah satu dari kejahatan besar yang 
terbongkar. Kita tidak tahu kejahatan-kejahatan besar lainnya yang masih belum 
terbongkar. Banyak argument tentang kasus babe tersebut bahkan kasus tersebut 
adalah kasus paling mengerikan di Indonesia.

      Tanggung Jawab Negara

      Semua gambaran tersebut sangat memprihatinkan dan terdengar sangat 
memalukan. Kurangnya perhatian pemerintah adalah factor dari semua itu, amanah 
Undang-undang Dasar (UUD) khususnya pasal 34 ayat 1 yang menyatakan fakir 
miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Melihat amanah pasal 34 ayat 
1 UUD 1945 menunjukkan bahwa pemerintahlah satu-satunya yang paling bertanggung 
jawab terhadap penanganan anak jalanan tersebut. Anak jalanan di identikkan 
bahkan sama dengan fakir miskin dan anak terlantar. 

      Dikatakan fakir miskin karena mereka memang hidup dari keluarga yang 
sangat miskin tidak berkecukupan dan hidup menderita. Layak dikatakan anak 
terlantar yang terlihat dari keseharian mereka dimana anak-anak tersebut sama 
sekali tidak mendapat perhatian dari orang tuanya, mereka di terlantarkan dan 
dibiarkan berjibaku mencari kehidupan di alam bebas tanpa memperhitungkan 
bahaya dan dampak terhadap masa depan si anak.

      Untuk itu kepada pemerintah yang harus dibenahi sebelum mengurusi masalah 
anak jalanan adalah harus terlebih dahulu memperbaiki perekonomian bangsa ini. 
Bilamana perekonomian kita sudah lebih baik, maka fenomena anak jalanan 
tersebut lama kelamaan akan berangsur-angsur hilang. Perlu kita ketahui dan 
pikirkan bersama bahwa jangan sampai masa depan dan cita-cita mereka pupus 
sebelum bersemi.***

      Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen.
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke