Akan Pecahkah NU?

Selasa, 21 Desember 2004

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid


Muktamar ke 31 di Asarama Haji Donohudan (Boyolali) ternyata membawa hasil
yang dapat dikatakan mendua. Di satu sisi, ada harapan (dan tentu saja ada
ketakutan) NU tidak terpecah belah. Di pihak lain, ada keinginan agar NU
membenahi diri karena Muktamar ke-31 itu ternyata 'dikuasai' oleh para
pengurus 'jorok'. Tentu saja kejorokan itu sudah dimulai, sejak beberapa
tahun yang lalu yaitu ketika Hasyim Muzadi "menyeret" NU struktural ke
kancah politik praktis. Maksud yaitu bukannya pencalonan Hasyim Muzadi
sebagai Wakil Presiden RI mendampingi Megawati Soekarnoputri yang menjadi
Calon Presiden waktu itu. Tetapi dalam cara bagaimana Hasyim Muzadi
'memaksakan' agar seluruh jajaran NU mendukung kemenangan pasangan calon itu
dengan menggunakan 'kekuasaan organisatoris' sebagai Ketua Umum Pengurus
Besar NU (Ketum PBNU). Ia melanggar semua aturan permainan yang sudah
ditetapkan oleh berbagai forum NU sejak dahulu yaitu sebagai organisasi, NU
tidak berpolitik.


Rais 'Aam PBNU sebagai otoritas tertinggi di lingkungan NU, ternyata hanya
berdiam diri saja dan tidak melakukan disiplin organisasi secara ketat. Hal
terjauh yang dilakukannya, adalah menyatakan Hasyim Muzadi non aktif, dan
mengangkat/menetapkan Masdar Farid Mas'udi sebagai PjS (Pejabat Sementara)
ketua umum PBNU. Ia tidak pernah mencoba 'mengerem' pengurus-pengurus daerah
dan panitia muktamar di tingkat pusat maupun daerah untuk tidak menggunakan
'kebutuhan politik' mendukung Ketua Umum PBNU dalam pencalonan, maupun dalam
kampanye. Akibatnya justru banyak pengurus NU di tingkat cabang (kabupaten
dan kota madya) dan wilayah (di tingkat propinsi), justru membentuk
solidaritas kelompok yang berdasarkan kebutuhan politik praktis itu. Inilah
yang sebenarnya dirisaukan oleh banyak kalangan kultural/budaya di
lingkungan NU sendiri, dan ini pula yang menjadi keprihatinan para kyai
sepuh.


Tetapi itu semua dianggap sepi oleh Hasyim Muzadi dan kawan-kawan. Rais 'Aam
KH. A.M Sahal, seperti sudah dapat diduga sebelumnya hanya bersikap pasif
saja. Demikianlah ketika tanggal 1 Desember 2004 penulis menanyakan
ketegasan sikap beliau dan hanya memperoleh jawaban pasif saja. Penulis
meminta baik secara tertulis maupun lisan, mereka yang ternyata melakukan
tindakan politik praktis tidak diperkenankan menjadi anggota PBNU hasil
Muktamar ke-31 itu, beliau hanya menjawab dengan air mata terurai bahwa
beliau tidak dapat melarang Hasyim Muzadi menjadi calon Ketua Umum PBNU.
Padahal beliau punya wewenang untuk itu menurut tata tertib Muktamar. Apa
motif sebenarnya dari sikap beliau tersebut tidaklah begitu penting bagi
penulis, karena segera penulis bersiap-siap untuk kembali ke Jakarta
keesokan harinya. Namun antara jam 7-8 malam penulis diminta oleh para
sesepuh NU, dan diberi tugas tertulis untuk membentuk sebuah organisasi
baru, karena yang lama sudah lepas kendali. Beberapa hari kemudian penulis
di panggil beliau-beliau itu, ke Pesantren Buntet, Astanajapura (Cirebon),
penulis mendapat "perintah pelaksanaan" dari apa yang menjadi gagasan
tersebut.


Perintah baru itu pada dasarnya meliputi tiga hal. Pertama, jangan ada
deklarasi dan upaya apapun untuk mendirikan secara formal organisasi baru
itu, di luar Muktamar Luar Biasa yang akan diselenggarakan bulan Juni 2005.
Kedua, untuk menghindarkan hal-hal konfrontatif dalam pembentukan organisasi
itu. Ketiga, mengulur waktu begitu rupa sehingga persiapan pembentukan wadah
baru itu akan berakibat sangat panjang, setelah kita dapat mengatasi krisis
multidimensial. Dengan demikian, kebutuhan untuk menggunakan sumber-sumber
dalam negeri kita, bagi kemakmuran sebesar-besarnya jumlah penduduk untuk
keadilan dapat tercapai


Sebuah analogi (qiyas) dapat dibangun dalam hal ini. Pada 2 Mei 1982 'para
sesepuh NU' bertemu di rumah KH. Maskur Jl. Imam Bonjol No. 22 (Jakarta
Pusat), kemudian mendatangi rumah DR. KH. Idham Chalid (jalan Mangunsarkoro)
untuk memintanya menggundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PBNU. Dua hari
kemudian, penulis bersama-sama dengan Dr. Fahmi Syaifudin (ipar penulis
sendiri) mendatanginya. Ketika penulis bertanya, mengapakah ia memenuhi
permintaan itu, padahal itu akan membawa perpecahan sangat dalam di tubuh NU
sendiri? Untuk menghindarkan hal itu, ia menyetujui penunjukan H. Chalid
Mawardi untuk menjadi 'manajer' kelompok Cipete. Penulis sendiri berhasil
ditunjuk menjadi 'manajer para kyai'. Dengan Dr. Fahmi Syaifudin menjadi
penghubung antar kedua orang 'manajer" itu. H. Chalid Mawardi dan penulis
melakukan hal itu utnuk dua tahun lebih lamanya.


Kami berdua, bersama-sama Dr. Fahmi Syaifudin menggunakan kantor yang sama
di Kramat Raya No. 164 Jakarta-pusat. Demikianlah pula, kami berdua
sama-sama menggunakan staff PBNU yang itu-itu juga. Serta kertas kop surat
yang sama pula. Demikianlah, dengan menggunakan kecerdikan otak, pertikaian
dalam NU tidak berkembang menjadi perpecahan. Hal itu sangat diperlukan,
karena sekarang inipun NU masih diharapkan oleh siapapun di negeri kita.
Penulis masih ingat, bahwa sebenarnya sama-sama dapat dijaga keutuhan NU
asalkan benar-benar semua mengabdi kepada kepentingan orang banyak dan tidak
menguntungkan kepentingan pribadi. Jika ia mau 'membiarkan' NU sebagai
sesuatu yang terpecah belah, DR. Idham Chalid dapat saja 'berkeras' untuk
menjadi calon Ketua Umum PBNU kembali dalam Muktamar NU ke-26 di Pondok
Pesantren KH. As'ad Syamsul Arifin di Asembagus (Situbondo). Namun ia rela
berhenti, demi kesatuan dan 'nasib' NU.


Demikianlah sikap kesatria yang ditujukan DR. Idham Chalid. Apapun kata
orang tentang dirinya, ia telah menunjukkan bahwa kepentingan NU (termasuk
kepentingan politik dari organisasi keagamaan Islam terbesar di dunia itu)
adalah pegangannya. Mungkin hal itu telah dilakukannya, karena ia telah
lebih dari seperempat abad menjadi Ketua Umum PBNU. Sedangkan Hasyim Muzadi
baru lima tahun menjadi Ketua Umum PBNU, sedangkan ia merasa masih dapat
menjadi wakil presiden dalam pemilu tahun 2004 lalu. Tentu saja hal itu
adalah teka-teki atau perkiraan yang sulit untuk diperhitungkan kebenarannya
itu, sebelum berlangsungnya Muktamar NU ke-31 tersebut. Tetapi sekarang,
dengan 'larinya' para sesepuh dan umat NU dari tokoh tersebut, dapatlah
diperkirakan bahwa dukungan terhadap tokoh NU itu akan semakin menyusut,
jika ia berkeras menjadi calon dalam pemilu yang akan datang. Demikian pula
'ketegaran' sikapnya untuk 'memperbaiki' struktur dan kelembagaan NU, akan
"berhadapan" dengan budaya/kultur NU itu sendiri. Jika hal ini terjadi, maka
apa yang diinginkannya untuk membuat NU jaya dikemudian hari, apapun bentuk
kejayaan itu, akan mengalami kegagalan dalam pelaksanaanya. Dengan demikian
impian sementara kalangan untuk menjadikan NU 'maju' atas dasar perhitungan
mereka sendiri, jelas akan gagal dan tidak tercapai dalam bentuk kongkrit.
Inilah perhitungan rasional yang dapat dilakukan dalam hal ini, dengan hasil
perkembangan keadaan dalam tubuh NU.


Kita sudah tidak lagi dipimpin oleh tokoh-tokoh pelaksana yang memiliki
kemampuan menggabungkan yang struktural dan cultural. Tokoh-tokoh seperti
KH. Mahfud Sidik, Abdullah Ubaid, A. Wahid Hasyim, dan Ahmad Sidik.
Kemampuan mereka 'menggabungkan yang lama dan yang baru' sangat mengagumkan.
Pada tahun 1952, A. Wahid Hasyim dalam Muktamar Palembang 'terpaksa' membawa
NU ke kancah politik, tetapi unsur-unsur kulturalnya masih sangat besar.
Kemudian dengan susah payah NU 'kembali ke khitah 1926', yang berarti
melepaskan diri dari dunia politik praktis. Lalu, haruskah NU kembali ke
dunia politik praktis? Para sesepuh, yang didukung oleh kaum muda yang sadar
dan umat yang demikian besar, menyatakan tidak setuju. Nah, kalau PBNU tetap
berkeras untuk berada di lingkungan politik praktis, bukankah itu akan
berarti NU akan menjadi terpecah? Sebenarnya, hal seperti itu sudah menjadi
'biasa' dalam perkembangan sejarah manusia, bukan?


Beijing, 18 Desember 2004


-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke