Hampir setiap kendaraan beroda empat atau lebih biasanya dilengkapi dengan 
lampu hazard atau lampu tanda bahaya. Tombol untuk mengaktifkan lampu ini 
biasanya ditandai dengan gambar segitiga berwarna merah.

Adapun yang dimaksud dengan lampu hazard adalah berkedipnya lampu sinyal 
pemberi isyarat arah belok kanan dan belok kiri secara bersamaan.


Fungsi dari lampu ini, menurut aturan internasional, untuk menunjukkan adanya 
keadaan hazard atau situasi darurat sedang terjadi pada kendaraan yang 
menyalakan lampu tersebut.

Situasi dan kondisi yang dimaksudkan itu, antara lain apabila kendaraan yang 
bersangkutan itu karena mogok ataupun alasan lainnya menjadi terpaksa berhenti 
di tengah badan jalan atau di bahu jalan, pada saat keadaan lalu lintas di 
sekelilingnya sedang bergerak dengan cepat.

Kewajiban menghidupkan lampu hazard pada saat keadaan yang demikian itu 
dimaksudkan agar kendaraan lainnya dari jarak yang aman dan memadai menjadi 
mahfum sehingga dapat melakukan antisipasi untuk melakukan manuver menghindar.


Lampu hazard ini, secara aturan bakunya hanya boleh digunakan untuk keadaan 
kendaraan yang sedang tidak dalam keadaan bergerak.

Namun ada beberapa situasi dan kondisi tertentu sebagai pengeculiannya, 
sehingga diperbolehkan juga untuk digunakan pada kendaraan sedang dalam keadaan 
bergerak.


Situasi pengeculian itu antara lain apabila kendaraan yang bersangkutan 
membutuhkan prioritas, seperti adanya keadaan darurat lantaran ada penumpang 
yang sedang segera membutuhkan pertolongan medis. Atau, kendaraan itu sedang 
berada didalam satu kesatuan rangkaian iring-iringan kendaraan.

Bisa juga pada kendaraan yang terpaksa harus melaju dibawah batas kecepatan 
minimal yang diperbolehkan, lantaran terjadi malfunction pada komponen vital 
kendaraan itu yang bisa berpotensi menimbulkan bahaya pada kendaraan lainnya. 
Salah satu contoh pada kasus ini adalah kerusakan pada perangkat remnya.

Di beberapa negara tertentu, aturan penggunaan lampu hazard ini juga diwajibkan 
untuk kendaraan pengangkut barang dengan angkutan extra berat yang sedang 
mendaki tanjakan tajam dan menuruni turunan curam.


Penggunaan lampu hazard ini juga diperbolehkan untuk maksud dan tujuan 
memberikan peringatan adanya situasi bahaya kepada kendaraan lain yang berada 
dibelakangnya.

Lampu hazard juga diperbolehkan untuk digunakan sebagai sinyal pemberitahuan 
kepada kendaraan di belakangnya agar waspada.

Contohnya, seperti keadaan jalan penuh tikungan berkelok-kelok yang tidak tidak 
dilengkapi peringatan atau larangan menyalip berupa rambu atau garis marka 
jalan. Sehingga kendaraan dibelakangnya tidak menyalip secara sembarang pada 
suatu jalan yang sempit dan berbahaya lantaran jarak pandang yang terbatas.

Pada kasus yang hampir sama juga bisa diberlakukan. Contohnya jika terjadi 
kasus kecelakaan di jalur yang akan dilewati.


Hal yang serupa dimana hal ini justru sering diabaikan oleh para pengguna jalan 
adalah pemberian sinyal lampu hazard saat di jalur itu terjadi percepatan 
negatif atau perlambatan atau pengurangan kecepatan secara mendadak dan 
tiba-tiba.

Padahal pemberian sinyal pada kasus ini sangatlah penting untuk membantu 
menghindari tabarakan beruntun lantaran kendaraan dibelakangnya tak memiliki 
pandangan bebas terhadap adanya hambatan itu sehingga tak mempunyai kecukupan 
waktu untuk segera mengurangi kecepatannya.


Disamping beberapa hal yang sudah disebutkan diatas itu, dianjurkan juga untuk 
menggunakan lampu hazard saat kendaraan itu hendak berjalan lurus dengan 
kondisi memotong jalur utama pada sebuah perempatan yang tak dilengkapi lampu 
pengatur lalu lintas. Atau, memutar arah dengan memotong arus lalu lintas di 
jalur utama pada arah sebaliknya.


Ringkasnya, penggunaan lampu hazard pada situasi dan keadaan tertentu lainnya 
yang relevan dengan hal-hal tersebut diatas, tentunya juga diperbolehkan.


Namun menurut aturan internasional, dilarang keras mempergunakan lampu hazard 
diluar situasi dan keadaan dimana diwajibkan dan diperbolehkan seperti telah 
dipaparkan pada uraian diatas.

Pelarangan itu berkaitan dengan bahaya yang dapat ditimbulkan dari penggunaan 
lampu hazard yang tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukannya.

Potensi bahaya itu salah satunya adalah jika lampu hazard difungsikan maka 
berarti lampu sein atau lampu sinyal pemberi isyarat arah belok kanan dan belok 
kiri menjadi tidak berfungsi.


Berkait dengan potensi bahaya yang bisa ditimbulkan oleh penggunaan lampu 
hazard secara tidak semestinya ini, banyak dijumpai dalam budaya berlalu lintas 
di Indonesia.


Jika melewati jalan tol JORR di ruas antara Pondok Indah sampai Kampung 
Rambutan akan dijumpai salah satu terowongan yang cukup panjang, dimana di atas 
mulut terowongan itu dipasangi rambu yang memuat tulisan agar kendaraan yang 
memasuki terowongan itu untuk menghidupkan lampu.

Maksud dan tujuan dari dihidupkannya lampu itu dikarenakan terowongan cukup 
panjang sehingga situasi dan kondisi di dalam terowongan itu temaram walau di 
siang hari.

Maka dengan dihidupkannya lampu itu diharapkan kendaraan yang berada 
dibelakangnya dapat mengetahui keberadaan kendaraan yang bersangkutan melalui 
nyala lampu belakang yang berwarna merah.
Kendaraan yang berada didepannya pun dengan melihat dari kaca spionnya juga 
akan mengetahui keberadaan kendaraan yang bersangkutan melalui cahaya lampu 
senja dan/atau foglamp dan/atau lampu utamanya.


Namun yang terjadi, justru kendaraan yang melewati terowongan itu menyalakan 
lampu hazard.

Disamping menyalahi aturan dan berpotensi menimbulkan bahaya lantaran lampu 
sein tidak berfungsi sehingga arah pergerakan atau perpindahan lajur menjadi 
tidak diketahui, juga menimbulkan bahya dari silau yang ditimbulkan dari nyala 
lampu hazard tersebut.

Sebuah kesalah kaprahan yang dibiarkan saja tanpa ada sosialisasi dari pihak 
yang berwenang dan pemangku kepentingan di bidang pengaturan lalu lintas.

Dan, tak mendapatkan peringatan atau bahkan tilang pelanggaran dari aparat 
polisi PJR (Patroli Jalan Raya) yang seringkali berada di dekat lokasi 
terowongan itu.


Lebih salah kaprah lagi, jika melewati jalan tol di hampir semua ruas pada 
waktu turun hujan. Hampir semua kendaraan dapat dipastikan secara serempak akan 
segera menyalakan lampu hazard.

Ini sesungguhnya lebih berbahaya lagi, lantaran nyala lampu hazard di kala 
hujan itu menjadi lebih menyilaukan dibanding saat tidak keadaan hujan.

Lampu warna kuning menjadi lebih terang di saat situasi udara sekeliling banyak 
mengandung air. Oleh sebab itu, lampu keperluan khusus untuk menembus kabut 
biasanya cahaya lampunya berwarna kuning.

Keadaan silau akibat nyala lampu hazard itu bisa membuat pandangan mobil yang 
ada dibelakangnya atau disampingnya.

Ini yang mungkin tidak disadari oleh para pengendara yang menyalakan lampu 
hazard bahwa hal itu membuat silau pengendara lain dan membahayakan kendaraan 
lain karena lampu sein menjadi tidak berfungsi saat akan melakukan manuver 
berpindah lajur.


Sebenarnya penggunaan lampu belakang dengan warna merah itu sudah merupakan 
hasil riset, dimana hasilnya diketemukan bahwa lampu warna merah merupakan 
gelombang cahaya yang mampu menembus cuaca hujan hingga kabut.


Selanjutnya, untuk membantu memperbaiki jarak pandang ke arah depan di saat 
hujan lebat, jika lampu utama tidak mampu kendaraan tidak mampu menembus 
lebatnya hujan, maka lampu kabut atau foglamp yang berwarna kuning merupakan 
solusi untuk menghadapi situasi dan keadaan yang seperti itu.

Disamping itu, upaya menjaga jarak yang lebih dibandingkan jarak pada saat 
cuaca normal merupakan hal yang jauh lebih penting dalam menjaga keselamatan 
diri sendiri maupun juga keselamatan bersama, daripada upaya dengan menyalakan 
lampu hazard.


Akhirulkalam, tradisi salah kaprah penggunaan lampu hazard ini oleh pihak yang 
berwenang dan pemangku kepentingan di bidang pengaturan lalu lintas seolah 
dibiarkan saja oleh pihak polisi lalu lintas.

Bahkan kesalah kaprahan itu seakan malahan dibudayakan dan dilestarikan.

Apakah ada dasar pertimbangan dan alasan lain yang tidak diketahui oleh publik 
sebagai justifikasi atas pelestarian budaya kesalah kaprahan penggunaan lampu 
hazard itu ?.

Wallahulambishshawab.


*
Catatan Kaki :
        * Artikel dengan tema aturan lalu lintas yang membahas aturan belok 
kiri di persimpangan yang dilengkapi traffic light dapat dibaca di ‘Awas Kena 
Tilang, Belok Kiri Tak Boleh Langsung !’ .
        * Artikel dengan tema amnesia dan alzheimer yang membahas sakit lupa 
ingatan yang diderita saksi kunci kasus suap pemilihan DGS Bank Indonesia dapat 
dibaca di ‘Isri Pejabat PKS Sakit Ingatan’ .
        * Artikel dengan tema nyawa manusia yang membahas peran Susno sebagai 
whister blower yang membuatnya rawan terhadap rencana pembunuhan dapat dibaca 
di ‘Jangan Bunuh Susno’ .
        * Artikel dengan tema gaji pegawai negeri yang membahas kesenjangan 
antara gaji pegawai pajak dengan gaji pegawai lainnya dapat dibaca di 
‘Mencemburui Aparat Pajak’ .
        * Artikel dengan tema pemilu kepala daerah yang membahas duet antara 
saudara sepupu Presiden SBY dengan Julia Perez di pilkada kabupaten Pacitan 
dapat dibaca di ‘Sepupu SBY Lamar Jupe’ .
*
Salah Kaprah Lampu Hazard
http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/06/salah-kaprah-lampu-hazard/

*



Dahulu di persimpangan jalan yang ada lampu pengatur lalu lintasnya, sering 
kita jumpai rambu bertuliskan ‘Ke Kiri Jalan Terus’.

Rambu tersebut dapat diistilahkan sebagai rambu pengecualian atas aturan baku 
pengaturan lalu lintas di persimpangan jalan yang dilengkapi dengan lampu 
pengatur lalu lintas.

Lampu pengatur lalu lintas disebut juga dengan alat pemberi isyarat lalu 
lintas, atau ada yang menyebutnya dengan traffic light.

Beberapa masyarakat di daerah Jawa, ada yang menyebutnya lampu bangjo, yaitu 
akronim dari lampu abang ijo. Malahan ada yang menyebutnya dengan nama lampu 
gantung, lantaran dulu lampu pengatur lalu lintas itu ada yang diletakkan 
ditengah persimpangan dengan cara digantung.


Namun semenjak diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993, rambu 
pengeculian ‘Ke Kiri Jalan Terus’ atau ‘Belok Kiri Boleh Langsung’ tak lagi 
dijumpai karena tak diperlukan lagi

Hal itu dikarenakan didalam PP 43/1993 yang merupakan turunan dari Undang 
Undang Nomor 14 Tahun 1992, memberlakukan aturan baku yang berbeda dari aturan 
sebelumnya.

Di PP tersebut diberlakukan aturan baku ‘Belok Kiri Boleh Langsung’ untuk 
persimpangan dimana arus lalu lintasnya diatur dengan lampu pengatur lalu 
lintas.

Aturan ‘Ke Kiri Jalan Terus’ atau ‘Belok Kiri Boleh Langsung’ tersebut, 
maksudnya adalah memperbolehkan kendaraan berbelok ke kiri di persimpangan 
tersebut, walau lampu pengatur lalu lintas tersebut sedang menunjukkan lampu 
warna merah menyala.

Dan apabila itu dilarang, maka harus dinyatakan dengan rambu pengatur, atau ada 
lampu pengatur tersendiri bagi arus lalu lintas yang akan berbelok ke kiri.

‘Pengemudi dapat langsung belok ke kiri pada setiap persimpangan jalan, kecuali 
ditentukan lain oleh rambu-rambu atau alat pemberi isyarat lalu lintas pengatur 
belok kiri’, demikian aturan yang disebutkan di pasal 59 ayat 3 pada PP 43/1993.

Maka, dengan aturan baku di PP 43/1993 itu, semua persimpangan yang dilengkapi 
traffic light, secara otomatis boleh belok kiri walau traffic light menyala 
lampu warna merahnya. Dengan catatan, jika di persimpangan tersebut tak 
dilengkapi lampu khusus pengatur arus lalu lintas bagi kendaraan yang akan 
berbelok ke kiri.

Dengan demikian maka rambu dengan tulisan ‘Ke Kiri Jalan Terus’ atau ‘Belok 
Kiri Boleh langsung’ tak lagi diperlukan.

Justru rambu pengecualian ‘Ke Kiri Ikuti Lampu’ atau ‘Belok Kiri Ikuti Lampu’ 
menjadi diperlukan. Jika aturan baku tak diberlakukan di persimpangan yang 
dimaksudkan tersebut.


Konon menurut kabar, dibeberapa negara lain juga diterapkan aturan serupa 
dengan yang ada di PP 43/1993 tersebut.

Kanada sebagai salah satu misalnya. Di negara tersebut berlaku aturan lalu 
lintas berada di jalur sebelah kanan.

Maka kebalikannya Indonesia. Disana aturan baku pengaturan lalu lintas di 
persimpangan jalan yang dilengkapi dengan lampu pengatur lalu lintas 
diperuntukkan bagi kendaraan yang akan berbelok ke kanan.

Di negara itu, aturan baku ini hanya boleh dilakukan setelah kendaraan tersebut 
berhenti sejenak, dan baru diperbolehkan berbelok setelah terlebih dahulu 
mengutamakan kepada kendaraan yang dari arah sebelah kirinya.

Aturan serupa dengan itu juga diterapkan di Indonesia dengan beberapa alasan 
dan dasar pertimbangan yang didukung dan dibenarkan oleh teori textbook di ilmu 
teknik manajemen lalu lintas.

Dasar pertimbangan tersebut diantaranya adalah sebagai salah satu upaya untuk 
mengurangi penumpukan kendaraan yang akan berbelok ke kiri. Dengan demikian, 
diharapkan dapat lebih memperlancar arus lalu lintas di persimpangan tersebut. 
Sehingga secara otomatis akan meningkatkan kapasitas persimpangan tersebut.


Namun ternyata di kemudian hari, penerapan aturan tersebut dirasakan malahan 
menimbulkan beberapa persoalan dan permasalahan.

Hal yang kemungkinan besar dikarenakan oleh budaya dan karakter serta ciri 
khasnya masyarakat Indonesia dalam berlalu lintas,

Permasalahan tersebut diantaranya adalah menimbulkan kesulitan bagi pejalan 
kaki yang akan menyeberang di persimpangan tersebut.

Dan seringkali kendaraan yang langsung berbelok kiri tersebut, mengabaikan 
kendaraan dari arah lainnya yang mempunyai hak utama penggunaan jalan di 
persimpangan tersebut.

Dimana seharusnya kendaraan yang langsung berbelok kiri tersebut, harus tetap 
mendahulukan kendaraan dari arah lainnya yang mendapatkan lampu hijau dan/atau 
kendaraan lainnya yang dari arah sebelah kanannya.


Konon menurut kabar, penerapan aturan itu justru mengakibatkan kecelakaan lalu 
lintas yang terjadi di persimpangan jalan menjadi meningkat.


Hal itu pulalah yang kemudian menjadi salah satu dasar pertimbangan dicabutnya 
aturan baku belok kiri boleh langsung di persimpangan yang ada lampu pengatur 
lalu lintasnya.

Pencabutan aturan itu lalu diadopsi di UU Nomor 22 Tahun 2009, yang merupakan 
revisi dan penggantinya UU14/1992.

Dan oleh sebab UU 14/1992 sebagai payung hukumnya sudah diganti, maka secara 
otomatis aturan yang ada di PP 43/1993 pun menjadi tidak berlaku lagi.

‘Pada persimpangan jalan yang dilengkapi alat pemberi isyarat lalu lintas, 
pengemudi kendaraan dilarang langsung berbelok kiri, kecuali ditentukan lain 
oleh rambu lalu lintas atau alat pemberi isyarat lalu lintas’, demikian yang 
tercantum di pasal 112 ayat 3 pada UU 22/2009.

Aturan baru tersebut mulai efektif diberlakukan semenjak diundangkan dan 
disahkannya UU 22/2009, yaitu sejak tanggal 22 Juni 2009.


Oleh sebab itu, jika persimpangan jalan dilengkapi dengan traffic light, maka 
kendaraan hanya boleh langsung belok kiri apabila ada rambu lalu lintas yang 
memperbolehkannya dan/atau ada lampu khusus pengatur bagi yang akan belok kiri.

Dengan demikian, rambu ‘Ke Kiri Ikuti Lampu’ atau ‘Belok Kiri Ikuti Lampu’ 
menjadi tak diperlukan.

Sebaliknya justru rambu pengecualian ‘Belok Kiri Boleh Langsung’ atau ‘Ke Kiri 
Jalan Terus’ atau rambu sejenisnya yang maksud tujuannya memperbolehkan 
kendaraan boleh belok kiri walau lampu lalu lintas menyala warna merah, yang 
sudah lebih dari 17 tahun menghilang itu menjadi diperlukan lagi.

Dan, apabila tidak ada rambu pengecualian atas aturan baku itu, atau tidak ada 
lampu pengatur dengan tanda panah ke kiri, maka secara otomatis kendaraan yang 
akan berbelok ke kiri harus mengikuti lampu pengatur yang ada.


Maka, apabila lampu lalu lintas warna merah masih menyala, belum diperbolehkan 
untuk belok kiri. Jika melanggarnya, ancaman denda uang sebesar maksimal Rp. 
500.0000 atau pidana kurungan maksimal 2 bulan penjara.

Ketentuan tersebut diatur di pasal 287 ayat 2 : ‘Setiap orang yang mengemudikan 
kendaraan bermotor di jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang 
dinyatakan dengan alat pemberi isyarat lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam 
pasal 106 ayat (4) huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) 
bulan atau denda paling banyak Rp.500.000.00 (lima ratus ribu rupiah)’.


Akhirulkalam, demikianlah sekilas tentang aturan terbaru ‘Ke Kiri Tak Boleh 
langsung’ yang telah diterapkan semenjak lebih dari tujuh bulan lalu.

Dan, mungkin ada diantara kita, yang belum mengetahui aturan tersebut.

Namun, sebagaimana lazimnya sebuah undang undang negara, aturan tersebut 
berlaku sama, baik bagi mereka yang telah mengetahui maupun bagi mereka yang 
belum mengetahuinya.

Jika kemudian kita terpaksa melanggarnya, semoga ketemu polisi (andai masih 
ada) yang belum mengetahui adanya aturan tersebut.

Atau, semoga saja ketemu polisi baik hati yang mau mengerti dan memaklumi serta 
memaafkannya, sehingga uang sebesar lima ratus ribu rupiah tak harus melayang 
dari dompet kita.


Wallahualambishshawab.


*
Awas Kena Tilang, Belok Kiri Tak Boleh Langsung!
http://polhukam.kompasiana.com/2010/01/31/awas-kena-tilang-belok-kiri-tak-boleh-langsung/
*


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke