Refleksi : Rezim neo-Mojopahit di Nusantara sekarang tidak berbeda dengan rezim 
zaman bahula kegelapan. Kalau dulu zaman perbudakan, sekarang neo-perbudakan 
atas nama demonkrasi dan kebebasan memilih.  Rakyat tak boleh pintar dan oleh 
karena itu dibuat berbagai macam  halangan, antara lain dengan mempersulit 
anggota masyarakat lapisan bawah untuk mendapat pendidikan nan layak dan 
bermutu, cara yang umum dipakai ialah dibebankan biaya pendidikan.  

Rakyat pandai- negeri maju, bukan maksud penguasa rezim, karena kepandaian  
rakayat mempunyai segi negatif dan sangat berbahaya bagi kepentingan kaum 
berkuasa kleptokratik dan para elit yang berdansa dansi disekitar panggung 
kekuasaan negara. Falsafah kaum berkuasa ialah  bukan saja mengexploatasi 
kekayaan alam milik rakyat, tetapi juga keringat darahnya. Langakah umum yang 
dilakukan ialah dengan mempersulit kaum miskin untuk mendapat pendidikan, ini 
politik pembodohan.  

Bukankah sesuai berita media cetak beberapa waktu lalu makin  bertambah 
kekayaan para petinggi negara baik sipil dan militer, pada pihak lain jumlah 
rakyat miskin makin bertamah banyak, jumlah rakyat miskin diperkirakan ialah 
kurang lebih 40 juta orang, anak jalanan menurut salah seorang menteri terdapat 
4,5 juta. Trend ini akan terus naik dan sulit untuk dipatahkan, karena hakekat 
dari kekuasan rezim berkuasa.



http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=16204

2010-04-09 
Masuk SMA Negeri Bayar Rp 20 Juta


dok sp
Fasli Jalal

[JAKARTA] Uang masuk yang dipungut sejumlah sekolah menengah atas negeri (SMAN) 
berstatus sekolah bertaraf internasional (SBI) meningkat antara 50 persen 
sampai 100 persen, hingga ada yang mencapai Rp 20 juta. Hal itu terjadi karena 
pemerintah membebaskan SBI memungut uang masuk dari para calon siswa. 


Orangtua calon siswa sebuah SMAN di Jakarta menyatakan uang masuk SBI menjadi 
selangit. Hal itu terjadi karena sekolah lebih mementingkan besarnya sumbangan, 
dibanding nilai ujian siswa. "Tahun lalu nilai UN masih jadi patokan untuk 
menerima calon siswa. Kini, nilai UN hanya diberi porsi 30 persen, sisanya 
siswa harus mengikuti lagi ujian seleksi yang dibuat sekolah. Saya khawatir 
nanti ada 'permainan', sehingga yang diterima adalah siswa yang mampu membayar 
lebih dari Rp 20 juta, meski hasil seleksinya kurang memuaskan," katanya kepada 
SP di Jakarta, Jumat (9/4). 


Sedangkan di Malang, uang masuk SMAN bertaraf internasional untuk tahun ajaran 
2010/2011 diperkirakan naik minimal 50 persen, dari Rp 10 juta menjadi Rp 15 
juta. Khusus keluarga kaya, uang masuk yang sebelumnya dikenal dengan istilah 
"uang gedung" dan kini berganti nama menjadi "sumbangan pembangunan dan 
fasilitas pendidikan" bisa mencapai Rp 20 juta. "Kita masih menunggu hasil 
musyawarah antarkepala sekolah pelaksana program SBI, sekaligus berkonsultasi 
dengan Dinas Pendidikan dan wali kota," ujar seorang kepala sekolah yang 
meminta nama dan sekolahnya tak disebut kepada SP, Jumat (9/4).


Hingga kini kepala sekolah dari delapan SMAN bertaraf internasional di Malang 
belum bisa menentukan besaran sumbangan, tetapi bisa dipastikan di atas 10 
juta. "Uang gedung untuk sekolah umum saja pada tahun lalu Rp 7,5 juta. Itu 
sesuai arahan wali kota Malang," ujarnya. Selain uang masuk yang relatif mahal, 
lanjutnya, sumbangan pengembangan pendidikan (SPP) pun lebih mahal dari sekolah 
biasa. Rata-rata SPP sekolah umum Rp 200.000 per bulan, sedangkan SBI minimal 
Rp 300.000 per bulan.


Senada dengannya, Kepala SMAN I Kota Malang, HM Shulton menyatakan mahalnya 
uang masuk SBI disebabkan sekolah harus melengkapi banyak fasilitas. Untuk 
menjadi SBI, sekolah harus memiliki laboratorium bahasa Inggris, laboratorium 
IPA (Fisika, Kimia, Biologi), laboratorium komputer, laptop, jaringan internet, 
serta peralatan multimedia pembelajaran, seperti televisi, VCD, tape recorder, 
dan OHP. 

Bebas
Terkait hal itu, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Taufik Yudi 
Mulyanto mengaku SBI dan komite sekolah bebas menentukan besarnya dana yang 
boleh ditarik dari orangtua siswa. "Orangtua bebas memberikan bantuan dana 
untuk keperluan penyelenggaraan SBI. Kalau dia menyumbang, sifatnya demokratis. 
Kalau dia mau menyumbang lebih dari Rp 50 juta, juga tidak apa-apa," katanya. 


Meski demikian, lanjutnya, tidak boleh ada paksaan dari pihak sekolah untuk 
meminta sumbangan. Di SMAN 8 Jakarta yang bertaraf internasional, ada siswa 
yang tidak membayar uang sekolah sejak masuk sekolah sampai mengikuti ujian 
nasional. "Sekolah tidak boleh menolak atau mengeluarkan siswa karena masalah 
ekonomi. Kalau sampai ada atau dipersulit, misalnya ijazah ditahan sekolah 
karena tidak mampu, sampaikan ke Dinas Pendidikan," tegasnya. 


Lebih jauh dikatakan, besarnya sumbangan harus dibuat berdasarkan kesepakatan 
antara orangtua dengan sekolah. Khusus di Jakarta, Taufik menjamin tidak ada 
anak usia sekolah yang tidak bersekolah dan keberlanjutan pendidikannya juga 
dijamin. "Kalau siswa tidak mampu, tunjukkanlah bukti ketidakmampuannya secara 
ekonomi, kemudian bicarakan dengan komite sekolah," katanya. 


Sebelumnya, Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian 
Pendidikan Nasional, Suyanto menyatakan, berdasarkan Peraturan Mendiknas 
78/2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) Jenjang 
Pendidikan Dasar dan Menengah, sekolah berhak memungut biaya dengan tujuan 
meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi tidak boleh berorientasi komersial. 
Sekolah berhak menentukan uang sekolah yang ditarik atas kesepakatan dengan 
komite sekolah berdasarkan anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS). 


"Pengelolaan sekolah sekarang sudah desentralisasi. Pengelolaan sekolah dasar 
dan menengah menjadi kewenangan pemerintah daerah dan pemerintah kota. 
Pemerintah pusat hanya bertugas memastikan terlaksananya program pendidikan 
wajib belajar 9 tahun dan memenuhi standar pendidikan dengan memberikan dana 
bantuan operasional sekolah," katanya. 


Senada dengannya, Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal mengakui untuk 
pendidikan menengah, pemerintah masih memberikan izin untuk memungut uang 
pembangunan sekolah. Alasannya, pemerintah tidak menyalurkan bantuan 
operasional sekolah (BOS) kepada SMA, seperti yang diberikan kepada SD dan SMP. 
"SMAN dan SMKN diperbolehkan melakukan pungutan tambahan biaya atas persetujuan 
komite sekolah. Namun, tetap harus mendapat persetujuan dari pemerintah 
kabupaten/kota yang menetapkan kelayakan besaran biaya yang boleh dikenakan 
oleh sekolah negeri. Tanpa persetujuan, mereka tidak boleh memungut. Biaya yang 
dikenakan juga disesuaikan dengan kemampuan ekonomi orangtua. Kalau masyarakat 
tidak mampu, tidak boleh dibebani biaya tinggi," tegasnya. [R-15/070/D-11


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke