Refleksi : Telah lebih dari 60 tahun  disebut merdeka  dan tiap tahun diadakan 
upacara Peringatan Hari Pendidikan Nasional, tetapi  sekalipun demikian 
pendidikan  tetap murat marit atau menurut penulis artikel dibawah ini 
dikatakan "pendidikan belum optimal". Sehubungan dengan masalah ini bisa timbul 
pertanyaan : Apakah mungkin pendidikan dioptimalkan apabila  kekuasaan negara 
tetap berada dalam tangan oknom-oknom tukang copet bin catut? 

http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

Senin, 03 Mei 2010 ] 


Refleksi Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2010 
Guru Kunci Pendidikan 

Oleh Ki Supriyoko


SIAPA pun akan sependapat bahwa kinerja pendidikan nasional kita masih jauh 
dari optimal. Kedisiplinan yang rendah, ketenggangrasaan yang meluntur, 
keramahan yang menipis, kepekertian yang memudar, keteladanan yang menghilang, 
dan prestasi belajar yang rendah merupakan aspek yang mudah diamati atas 
ketidakoptimalan kinerja pendidikan nasional kita tersebut.

Ketidakoptimalan pendidikan tidak pernah dapat tersolusikan secara memadai 
karena kita sering terjebak pada masalah-masalah teknis, seperti ujian 
nasional, ujian akhir sekolah bertaraf nasional, ujian masuk perguruan tinggi 
negeri, dan sebagainya. Energi kita habis untuk memikirkan masalah-masalah 
teknis yang sering membangkitkan polemik tak berkesudahan itu.

Kita lupa bahwa kunci pendidikan itu ada di tangan guru. Artinya, kalau guru 
kita tidak banyak terlilit masalah hingga dapat menjalankan tugasnya secara 
profesional, kinerja pendidikan nasional kita akan memadai. Sebaliknya, kalau 
guru kita banyak terlilit masalah, sulit merealisasikan kinerja pendidikan yang 
mantap.

Dua Masalah 

Guru kita sekarang tengah dililit banyak masalah yang secara langsung 
berpengaruh pada kinerja pendidikan. Dua di antaranya masalah gairah mengajar 
dan profesionalisme. 

Sebagian guru kita sekarang kurang bergairah dalam melaksanakan tugas di 
sekolah. Hal itu disebabkan munculnya kecemburuan terkait dengan tunjangan 
profesi yang "beredar" secara tidak merata. Ada sebagian guru yang telah 
menikmati tunjangan profesi yang jumlahnya relatif memadai, tetapi sebagian 
yang lain belum, dan sebagian lainnya lagi tidak dapat menikmatinya.

Seperti diketahui, dalam tiga empat tahun terakhir, pemerintah memberlakukan 
kebijakan sertifikasi pendidik sebagai bukti atas profesionalisme dalam 
menjalankan profesinya. Bagi para guru yang memenuhi kualifikasi, kepadanya 
diberikan sertifikat pendidik. Dengan sertifikat pendidik tersebut, dia berhak 
menerima tunjangan profesi yang jumlahnya memadai. Yang tidak memenuhi 
kualifikasi tidak diberi sertifikat pendidik dan tentu tidak berhak menerima 
tunjangan pendidik.

Kebijakan tersebut sangat realistis dan konstruktif. Masalah muncul ketika 
sebagian (kecil) guru menerima tunjangan profesi atas sertifikat pendidik yang 
dimilikinya dan sebagian (besar) guru yang lain tidak menerima tunjangan 
profesi tersebut.

Belum seluruh guru menerima tunjangan profesi atau diakui oleh pemerintah. 
Orang yang paling bertanggung jawab mengenai masalah itu, Achmad Dasuki selaku 
direktur Profesi Pendidik Kementerian Pendidikan Nasional, menyatakan, baru 600 
ribu di antara sekitar 2,6 juta guru yang menerima tunjangan profesi. Artinya, 
masih sekitar 2 juta guru yang belum menerima tunjangan profesi. Padahal, untuk 
setiap 100 ribu guru, diperlukan dana sekitar Rp 2,5 triliun untuk membayar 
tunjangan profesi tersebut.

Dari angka tersebut, terlihat baru satu di antara empat orang guru yang 
menerima tunjangan profesi. Tiga orang guru yang lain tidak menerima tunjangan 
profesi. Keadaan itu menimbulkan kecemburuan yang ujungnya telah menurunkan 
gairah mengajar di sekolah, khususnya terjadi pada guru yang tidak atau belum 
menerima tunjangan profesi.

Masalah gairah mengajar merupakan masalah yang kompleks dalam dunia pendidikan. 
Sulitnya membangkitkan, apalagi membangun kembali gairah mengajar guru, 
merupakan kompleksitas dalam dunia pendidikan nasional. Tanpa gairah mengajar 
yang memadai, jangan diharapkan hasil mengajarnya memadai. Kalau hasil mengajar 
para guru tidak memadai, tidak mungkin kinerja pendidikan nasional dapat 
memadai.

Kompleksitas tersebut semakin intensif karena tiga di antara setiap empat orang 
guru yang tidak menerima tunjangan profesi itu adalah guru swasta. Realitas 
tersebut memperkuat dugaan bahwa pemerintah memang sengaja menganakemaskan guru 
(sekolah) negeri dan menganaktirikan guru (sekolah) swasta. Kalau hal ini 
benar, pencapaian kinerja pendidikan yang memadai tidak akan semakin lancar, 
tetapi justru semakin sulit.

Masalah Profesionalisme 

Masalah kedua yang dihadapi para guru kita adalah profesionalisme. Banyak guru 
kita yang penguasaan materi mengajarnya sudah kedaluwarsa. Di sisi lain, banyak 
pula guru kita yang metode mengajarnya sudah ketinggalan zaman. Dengan 
penguasaan materi yang kedaluwarsa dan metode mengajar yang ketinggalan zaman, 
sangat sulit merealisasikan kinerja pendidikan yang memadai.

Bahwa meningkatkan profesionalisme guru tersebut menjadi tanggung jawab 
pemerintah kiranya memang benar; namun bukan berarti swasta dilarang untuk 
berpartisipasi. Salah satu kelemahan kita justru kurang mampu mengakomodasi 
peran swasta untuk berpartisipasi dalam upaya peningkatan profesionalisme guru.

Kalau kita mau jujur, sebenarnya banyak sekali swasta yang siap untuk 
berpartisipasi kalau pemerintah mau "mengorangkannya". Sebut saja Tupperware, 
misalnya, lembaga yang secara konsisten mengadakan program berkelanjutan dari 
serangkaian kegiatan yang berfokus kepada pendidikan, kebersihan, dan kesehatan 
anak sekolah.

Di negara-negara Barat, peran swasta dalam dunia pendidikan amatlah dihargai. 
Keadaan itu membuat swasta lebih terdorong untuk banyak berbuat bagi kemajuan 
pendidikan di negaranya. 

Kalau saja pemerintah mau lebih menghargai swasta dalam partisipasinya untuk 
memajukan pendidikan nasional, khususnya dalam upaya meningkatkan 
profesionalisme guru, akan lebih banyak lagi swasta yang berpartisipasi. Dengan 
demikian kinerja, pendidikan yang memadai akan lebih mudah dicapai.

Semogalah hal itu menjadi bahan renungan dalam memperingati Hari Pendidikan 
Nasional kali ini! (*)

*) Prof Dr Ki Supriyoko SDU MPd, direktur Pascasarjana Universitas 
Sarjanawiyata Tamansiswa Jogjakarta serta anggota Dewan Kehormatan Guru 
Indonesia

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke