http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=17776

2010-05-03 
"Kelinci Percobaan" Berguguran


Oleh : N Widi Wahyono

Guru mana yang tidak teriris-iris hatinya menyaksikan dengan mata kepalanya 
sendiri, anak-anak yang selama tiga tahun didampingi belajar, menangis, 
terisak, berteriak-teriak histeris, menggelepar lalu rebah pingsan karena tidak 
lulus ujian nasional utama. Mereka itu bagian dari 154.079 anak yang dinyatakan 
tidak lulus UN (Suara Pembaruan, 26/4). Bahkan, Sri Wahyuningsih (18), siswi 
SMKN Muarojambi, Provinsi Jambi, nekat mengakhiri hidupnya dengan menenggak 
pupuk beracun usai melihat hasil pengumuman UN (Suara Pembaruan, 27/4). 


Terlepas dari segala cengkarut yang melingkupi dan melatarbelakangi UN, hasil 
UN 2010 terpaksa harus diakui merupakan rapot guru, rapot sekolah, sekaligus 
rapot Diknas. Masyarakat langsung menilai dan mempertanyakan apa yang dilakukan 
guru di kelas kalau hasil UN sedemikian "jeblok". Guru langsung menjadi sasaran 
tembak, gurunya tidak becus mengajar. Guru seperti bebek lumpuh. Gugatan 
terhadap kinerja guru sekaligus gugatan terhadap sekolah, apakah sekolah sudah 
menyediakan fasilitas belajar yang memadai dan menyejahterakan guru-gurunya? 
Gugatan sekaligus juga ditujukan kepada Diknas, apakah Diknas sudah mengambil 
kebijakan yang sungguh bijak, sudah menyejahterakan guru, melatih guru-guru 
agar kompeten, sebagai pertanggungjawaban atas dana yang telah dikucurkan. 
Dengan kata lain, jebloknya hasil UN sekaligus menyiratkan jebloknya kinerja 
guru, sekolah, dan Diknas.


Sejumlah pertanyaan muncul mengapa sedemikian banyak anak tidak lulus UN kali 
ini? Apakah karena ada remedial UN 10-14 Mei mendatang lalu Diknas mengambil 
kebijakan tidak meluluskan 154.079 anak? Apakah benar UN kali ini lebih jujur 
daripada UN-UN sebelumnya? Apakah ada nilai proyek remedial yang cukup 
menggiurkan? Tidak ada yang tahu persis, semua hanya menduga-duga. Yang sangat 
jelas pertanyaan-pertanyaan itu semakin menguatkan bahwa peserta didik 
diperlakukan sebagai kelinci percobaan kebijakan Diknas. 


Pertama, mereka harus menempuh ujian satu bulan lebih awal. Pemajuan tidak 
diinformasikan dari awal tahun. Akibatnya, guru dan peserta didik diburu-buru 
dalam mempersiapkan UN. Pembelajaran yang sebenarnya merupakan proses 
tahap-demi tahap terpaksa diperlakukan seperti pabrik. Guru menggelontorkan 
materi pelajaran sebanyak mungkin dalam waktu singkat. Semua materi harus sudah 
selesai sebelum UN. Peserta didik terpaksa belajar menggunakan seluruh waktu, 
rasanya 24 jam sehari tidak cukup. 
Kedua, peserta didik di mana pun berada asal masih di Indonesia, mengalami 
pembelajaran, seperti apa pun, dalam keadaan apa pun harus mengerjakan soal 
yang sama atau setidaknya setara. Hasilnya sudah bisa ditebak, mereka yang di 
perkotaan dan mengalami pembelajaran relatif lebih baik akan lebih berhasil. 
Ketiga, diknas menerapkan dua tahap kelulusan. Tahap pertama mereka yang lulus 
UN utama. Tahap kedua mereka yang diharapkan lulus UN ulang 10-14 Mei 
mendatang. 


Pemerintah mencoba menerapkan 4 syarat kelulusan yang sebelumnya nilai UN 
sebagai satu-satunya syarat kelulusan. Sayangnya tiga syarat; (1) menyelesaikan 
semua program pendidikan di sekolah, (2) persyaratan akhlak, budi pekerti dan 
tata karma, dan (3) lulus mata pelajaran yang diujikan sekolah diveto syarat 
keempat, lulus UN. Keempat syarat kelulusan belum sepenuhnya dipahami oleh 
jajaran Diknas, guru sampai orang tua peserta didik. Terbukti tolok ukur 
keberhasilan suatu sekolah lebih diukur dengan perolehan angka pada UN, bukan 
yang lain. 


Kali ini juga coba diterapkan pengawasan yang ekstra ketat terhadap pelaksanaan 
UN. Bahkan terkesan berlebihan, malahan membuat peserta didik takut, 
seakan-akan peserta UN akan melakukan kecurangan. Standar operasional 
penanganan teroris diterapkan untuk pengamanan pelaksanaan UN. UN kali ini 
diklaim sebagai UN paling jujur selama ini. 


Bagaimana dengan tahun depan? Pemerintah belum-belum sudah menyatakan UN 2010 
berhasil maka UN tahun 2011 harus tetap digelar. Akan ada kebijakan percobaan 
apa lagi tidak ada orang yang tahu. Karena kebijakan-kebijakan diambil secara 
reaktif, belum didasarkan cetak biru pendidikan nasional, tergantung siapa yang 
duduk pada pucuk pimpinan. Tetap saja peserta didik dan guru-guru diperlakukan 
sebagai objek percobaan berbagai kebijakan. Setiap saat ada perubahan kebijakan.


Apa pun kebijakan yang diambil seyogianya disampaikan dari awal agar semua 
langkah yang diambil jajaran diknas, sekolah, guru, peserta didik direncanakan 
dengan matang. Tidak diambil secara reaktif dan asal-asalan. Jika tidak maka 
rapot merah pendidikan tahun ini bakal terulang tahun depan.Langkah perlu 
segera diambil, pertama, mereposisi UN. UN mau ditempatkan sebagai satu-satunya 
penentu kelulusan atau hanya sekadar sebagai pemetaan saja atau yang lain. 
Penempatan UN pada suatu posisi memaksa kebijakan yang mengikutinya, seperti 
angka kelulusan, standar kejujuran, bobot soal, dan biaya segera menyesuaikan. 
Kedua, pemberdayaan guru. Guru harus dibina, dididik, dibekali agar mampu 
memunculkan seluruh potensi peserta didik. Tolok ukur keberhasilan guru 
terletak pada apakah ia mampu melejitkan kemampuan peserta didik mengenal 
dirinya, kekurangan dan kelebihan serta mau ke mana, kemampuan mengenali cara 
belajarnya dan menerapkannya. Niscaya anak-anak akan juga mampu mengerjakan 
soal UN jika seluruh potensinya dioptimalkan. Guru bukan lagi sebagai 
penggelontor materi pelajaran. 


Pemerintah, yayasan, lembaga lain telah berupaya untuk memberdayakan guru. 
Sayangnya, nyaris seluruh materi seminar, lokakarya, workshop tertinggal di 
ruang seminar, ruang lokakarya maupun workshop dan tidak sampai ke kelas-kelas. 
Ini terjadi karena masing-masing bekerja sendiri-sendiri, belum ada tindak 
lanjut dan pantauan tingkat keberhasilannya suatu seminar, misalnya. Maka 
penentuan materi seminar didasarkan pada kebutuhan riil guru dalam melejitkan 
potensi peserta didik bukannya ditentukan pada keinginan pejabat belaka. Setiap 
kegiatan seminar harus diikuti dengan rencana kerja yang bisa dilaksanakan dan 
diukur tingkat keberhasilannya. Semua demi paserta didik bukan demi proyek. 


Tidak kalah pentingnya segera menyejahterakan guru agar mereka bisa melejitkan 
potensi peserta didik dengan tenang tidak diharu biru untuk mencari tambahan 
penghasilan guna menjaga ekonomi keluarganya tidak kolaps. Sekaligus juga 
sebagai senjata untuk merumahkan guru yang tidak lagi kompeten dalam bidangnya. 
Sebagai guru yang sehari-harinya bergulat menemani peserta didik menemukan 
dirinya, hanya bisa berharap agar mereka tidak lagi diperlakukan sebagai 
kelinci percobaan dan kalau pun masih diperlakukan demikian, masih berharap 
mereka lulus ujian nasional. 

Penulis adalah Guru SMA Kolese Kanisius Jakarta


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to