Upaya PT Dirgantara Indonesia 
Bertahan di Industri Pesawat Terbang

Bangkit Lewat Ketiak Sayap 
Airbus

Dalam beberapa kesempatan, Prof Dr Ing 
Bacharuddin Jusuf Habibie mengaku sangat kecewa melihat nasib PT Dirgantara 
Indonesia. Sebab, industri pesawat terbang yang dirintisnya itu kini jalan di 
tempat. Bagaimana kondisinya sekarang?
---
" KITA 
pernah mengembangkan sendiri pesawat terbang CN-235 dan N-250 untuk membuktikan 
bahwa SDM Indonesia mampu menguasai dan mengembangkan teknologi secanggih apa 
pun. Di mana itu semua sekarang?" tegas B.J. Habibie, mantan presiden RI, di 
depan peserta kuliah umum bertema Filsafat dan Teknologi untuk Pembangunan di 
Balai Sidang Universitas Indonesia (UI), Depok, Jumat lalu 
(12/3).

Ya, PT Dirgantara Indonesia (PT DI) 
memang tidak bisa dibandingkan dengan ketika perusahaan itu masih bernama 
Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) dan Habibie masih menjabat presiden 
direktur. Saat itu IPTN memiliki 16 ribu karyawan. Kompleks gedung IPTN di 
kawasan Jalan Pajajaran, Bandung, berdiri megah, menempati lahan seluas 83 
hektare.

Yang paling laris adalah pesawat 
CN-235. Pesawat berkapasitas 35 sampai 40 orang itu paling banyak diorder dari 
dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu, ada pesawat C-212 (kapasitas 19-24 
orang). Produk chopper alias helikopter juga tak mau kalah. Ada NBO-105, 
NAS-332 
Super Puma, NBell-412, dan sebagainya. Semua produk burung besi tersebut begitu 
membanggakan bangsa saat itu.

Namun, persoalan muncul saat krisis 
ekonomi menggebuk Indonesia pada 1998. Ketika itu, PT DI yang bernama Industri 
Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) mendapat order membuat pesawat N-250 dari luar 
negeri. Pesawat terbang ini berkapasitas 50 hingga 64 orang. Sebuah kapasitas 
ideal untuk penerbangan komersial domestik. Umumnya pesawat domestik di tanah 
air saat ini menggunakan pesawat dari kelas yang tak jauh berbeda dari 
N-250.

PT DI menerima pesanan 120 pesawat. 
Ongkos proyek yang disepakati USD 1,2 milliar. PT DI langsung tancap gas. 
Ribuan 
karyawan direkrut. Mesin-mesin pembuat komponen didatangkan. ''Kami berupaya 
keras menyelesaikan proyek itu sesuai target,'' tutur Direktur Integrasi 
Pesawat 
PT DI Budiwuraskito saat ditemui Jawa Pos di Bandung pekan 
lalu.

Namun, PT DI harus menelan pil pahit. 
Pemulihan krisis ekonomi bersama International Monetary Fund alias IMF 
mengharuskan Indonesia menerima sejumlah kesepakatan. Salah satunya, Indonesia 
tak boleh lagi berdagang pesawat. ''Itu benar-benar memukul kami,'' kata 
Budiwuraskito, pria Semarang ini.

Padahal, kata Budi, PT DI telanjur 
merekrut banyak karyawan. Sejumlah teknologi dan peralatan sudah didatangkan. 
Semua siap produksi. Pesawat contoh bahkan sudah jadi, sudah bisa terbang, dan 
siap dijual. Tinggal menunggu proses sertifikasi penerbangan. ''Nggak tahu, 
mungkin ada negara yang takut tersaingi kalau Indonesia bikin pesawat,'' 
ujarnya 
mengingat sejarah kelam PT DI itu.

Bayangan menerima duit gede USD 1,2 
milliar menguap. Malah, PT DI harus memikirkan cara menghidupi karyawan yang 
telanjur direkrut. Proyek memang batal, tapi orang-orang yang hidup dari PT DI 
juga tetap harus dikasih makan. ''Akhirnya, mau tidak mau, kami mem-PHK 
karyawan 
secara baik-baik,'' katanya.

Pada 2003, PT DI memutus kerja 
sembilan ribu lebih karyawan. Jumlah itu terus bertambah. Dari 16 ribu pekerja, 
PT DI hanya menyisakan tiga ribu pekerja. Baik di bagian produksi maupun 
manajemen. Kondisi itu semakin membuat PT DI terpuruk. Apalagi, tak ada lagi 
order pesawat yang datang. Roda perusahaan pun tak berjalan.

Namun, PT DI berupaya mempertahankan 
diri. Semua pasar yang bisa menghasilkan duit disasar. Mulai pembuatan komponen 
pesawat hingga industri rumah tangga seperti pembuatan sendok, garpu, dan 
sejenisnya. Salah satunya membuat alat pencetak panci.

''Pabrik-pabrik pembuat panci itu kan perlu alat 
pencetak. Biasanya mereka impor dari luar negeri. Mengapa harus impor kalau 
bisa 
kita bikinin. Dan, itu lumayan untuk membuat roda perusahaan berjalan,'' kata 
Budi. Tapi, urusan panci itu tak banyak membantu. Pada 2007, BUMN yang 
didirikan 
pada 26 April 1976 itu dinyatakan pailit alias bangkrut.
*** 
PT DI 
tak lantas almarhum. Pemerintah masih punya keinginan mengembangkannya meski 
modal yang diberikan tak terlalu deras. Dan, kendati sudah dinyatakan pailit, 
masih ada rekanan dari mancanegara yang percaya akan kualitas produk PT 
DI.

Salah satunya British Aerospace (BAE). 
PT DI mendapat order sebagai subkontrak sayap pesawat Airbus A380 dari pabrik 
burung besi asal Inggris itu. Juga ada order dari dua negara Timur Tengah enam 
pesawat jenis N-2130. Apalagi, Indonesia sudah menceraikan IMF. Artinya, PT DI 
sudah leluasa berdagang pesawat.

Budi menuturkan, order enam pesawat 
itulah yang bisa dibilang ''menyelamatkan'' PT DI saat itu. Laba dari pesanan 
itu digunakan sebagai modal pengembangan. Selain itu, PT DI semakin fokus 
menggarap pasar komponen dan bagian-bagian pesawat dengan menjadi subkontrak 
atau offset program. Antara lain bagian inboard outer fixed leading edge 
(IOFLE) 
dan drive rib alias ''ketiak'' sayap milik Airbus A380.

Airbus A380 adalah pesawat bikinan 
Airbus SAS (Prancis) yang sudah kondang di jagat dirgantara. Pesawat ini 
biasanya digunakan untuk penerbangan internasional lintas benua dengan muatan 
500 hingga 800 penumpang. ''Kita mencoba meraih untung dengan menjadi 
subkontrak 
dari pemain besar,'' kata Budi.

Kondisi PT DI terus membaik. Dalam 
waktu dekat mereka akan memproduksi pesawat tempur dengan dana urunan bersama 
pemerintah Korea Selatan (Korsel) sebesar USD 8 milliar. Indonesia menyumbang 
USD 2 milliar, sedangkan pemerintah Korsel USD 6 milliar. ''Tapi, untuk 
Indonesia itu akan kita konversikan dalam bentuk tenaga, teknologi, dan 
pengembangan pesawat tersebut,'' katanya.

Kemampuannya tak jauh berbeda dengan 
F-16 Fightning Falcon, pesawat tempur kondang buatan Amerika Serikat yang 
digunakan 24 negara di dunia. Rinciannya, 200 unit untuk Korsel dan 50 untuk 
Indonesia. ''Proyek ini memakan waktu sampai tujuh tahun,'' kata 
Budi.

Selain itu, order dari Timur Tengah 
terus berdatangan. Sejumlah negara memesan CN-235 untuk pesawat pengawas 
pantai, 
pengangkut personel militer, dan pemantau perbatasan. Dari dalam negeri, 
Kementerian Pertahanan (Kemhan) juga memesan enam unit helikopter dan Badan SAR 
Nasional (Basarnas) empat unit.

Budi mengakui, tren industri 
dirgantara di Indonesia terus naik kendati perlahan. Paling tidak, tujuh tahun 
ke depan, PT DI bisa meraup laba yang lumayan dari membuat pesawat. Sebenarnya, 
kata Budi, keuntungan itu bisa didongkrak bila ada keberanian mencari pinjaman. 
Tapi, itu bakal sulit. ''Tidak banyak bank yang mau. Sebab, risikonya terlalu 
tinggi. Padahal, semakin tinggi risiko, janji revenue juga besar,'' kata Budi 
yang lulusan Teknik Penerbangan, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan 
menyelesaikan gelar MBA di Belanda itu.

Strategi pengembangan PT DI saat ini, kata Budi, tak 
bisa terlalu ekspansif. PT DI memilih berjalan perlahan dengan memanfaatkan 
margin keuntungan sebagai modal pengembangan. ''Begini saja, lebih aman,'' kata 
Budi lantas tersenyum. (aga/c2/iro)

(JawaPos)


http://defense-studies.blogspot.com/2010/03/pt-di-akan-membuat-50-pesawat-tempur.html


Satrio Arismunandar 
Executive ProducerNews Division, Trans TV, Lantai 3
Jl. Kapten P. Tendean Kav. 12 - 14 A, Jakarta 12790 
Phone: 7917-7000, 7918-4544 ext. 3542,  Fax: 79184558, 
79184627 http://satrioarismunandar6.blogspot.comhttp://satrioarismunandar.multiply.com   Verba
 volant scripta manent...(yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan abadi...)
.


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to