http://www.suarakarya-online.com/news.html?category_name=Opini
Jaminan Sosial Versi Bank Dunia Oleh Achmad Subianto Selasa, 25 Mei 2010 Ketika terjadi pemilihan presiden (pilpres) di Amerika Serikat (AS) tahun 2009, persoalan keuangan nasional menjadi tantangan utama bagi kandidat presiden terpilih. Selain itu, masalah jaminan sosial juga menjadi isu yang selalu menyita perhatian dalam debat publik calon presiden. Calon presiden (capres) Barack Obama dan John McCary sempat saling beradu argumen dan strategi tentang bagaimana mengatasi masalah ekonomi nasional dan memberikan jaminan sosial dalam suatu debat publik yang memanas. Ini juga terjadi pada pilpres-pilprers sebelumnya di AS. Namun, di Indonesia aneh. Tak ada satu pun caleg maupun capres mengetengahkan wacana jaminan sosial masyarakat secara utuh. Memang sempat digembar-gemborkan isu kemiskinan dan pengangguran, tetapi bagaimana cara mengatasinya dan solusi macam apa yang ditawarkan para capres, tidak ada sama sekali. Persoalan kemiskinan dan pengangguran, dalam pemikiran para kandidat, akan dapat diatasi melalui kebijakan pembangunan dengan pembiayaan melalui kebijakan fiskal dan moneter serta usaha kecil dan menengah (UKM). Padahal, kebijakan-kebijakan tersebut secara tradisional telah diberlakukan sejak bertahun-tahun, tetapi tetap saja tidak mampu menghapuskan atau mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Barangkali para politikus dan pakar sangat awam terhadap persoalan jaminan sosial? Dan, tampaknya memang demikian. Persoalan jaminan sosial dalam UUD 1945 pun baru diakomodasi dalam Perubahan UUD tahun 2002. Masalahnya, dalam UUD 1945 tidak secara jelas dicantumkan masalah jaminan sosial, baik dalam batang tubuh maupun penjelasannya. Michael Raper menulis buku mengenai negara tanpa jaminan sosial bertajuk Tiga Pilar Jaminan Sosial Versi Bank Dunia (Three Pilars of Social Security World Bank). Dalam tulisannya itu, ia mencontohkan negara tanpa jaminan sosial, antara lain Indonesia dan Australia. Pendekatan ketiga pilar jaminan sosial itu sendiri, kata Raper, telah direkomendasikan oleh Bank Dunia dan International Labour Organization (ILO). Dengan dikuatkan oleh Trade Union Rights Centre, ketiga pilar jaminan sosial itu menjadi dasar untuk membangun sistem penyediaan dana pensiun. Ketiga pilar utama jaminan sosial versi Bank Dunia dan ILO yang diperkenalkan kepada Indonesia meliputi bantuan sosial (social assistance), asuransi sosial (social insurance), dan jaminan sosial sukarela (voluntary). Anehnya, ketiga pilar jaminan sosial itu berbeda dengan ketiga pilar yang diterapkan di China meski sama-sama telah direkomendasikan oleh Bank Dunia dan ILO. Kepada Pemerintah China, Bank Dunia dan ILO memberikan rekomendasi pendekatan tiga pilar jaminan sosial dengan konsep berbeda. Pilar pertama, government run basic pension (state). Jaminan sosial ini diberikan kepada setiap penduduk (warga negara), baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Pilar kedua, individual account pension (occupational), jaminan sosial yang diberikan kepada individu-individu terkait pekerjaan atau profesi masing-masing (seperti anggota TNI dan pekerja). Pilar ketiga, voluntary employee/individual savings (private), jaminan sosial yang dikumpulkan dari tabungan pribadi sebagai pekerja atau sukarelawan. Di sini ada perbedaan mendasar mengenai model jaminan sosial yang diperkenalkan Bank Dunia dan ILO, antara lain di Indonesia dan China. Ada kesan jaminan sosial rekomendasi Bank Dunia dan ILO yang diterapkan di Indonesia telah direkayasa dan direkomendasikan oleh konsultan Indonesia kepada Tim SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) Indonesia dengan konsep orisinal Bank Dunia dan ILO. Ini sangat berbeda dengan apa yang kami dengar sendiri dari Pemerintah China. Rupanya telah terjadi versi modifikasi dan rekayasa dari tim konsultan Indonesia. Ini tentunya sangat membahayakan bagi keberlangsungan suatu metodologi. Untung, sampai saat ini rekomendasi tim Jerman belum sepenuhnya diterima oleh Indonesia. Bertahun-tahun Indonesia tampaknya selalu ditipu oleh konsultan luar negeri dan dalam kasus SJSN ini hampir terjadi lagi. Kesalahan IMF memberikan konsultansi kepada Indonesia bertahun-taun hampir terjadi lagi dalam penyusunan SJSN. Untungnya, para penyelenggara Lembaga Jaminan Sosial kala itu bersemangat tinggi dan senantiasa waspada terhadap setiap draf RUU SJSN. Malah sering dianggap oposan oleh Tim SJSN dan bahkan oleh anggota Pansus DPR. Kegigihan badan penyelenggara sejak saat ada konsep untuk merger dan penyusunan draf RUU ada hasilnya juga. Penolakan terhadap upaya merger badan penyelenggara memang membuahkan hasil, tetapi dalam penyusunan draf RUU jauh dari sempurna karena adanya deadline harus selesai pada saat presiden lengser. Dengan demikian, UU SJSN ditandatangani satu hari ketika Presiden Megawati menyerahkan kekuasaan kepada presiden berikut. UU SJSN akhirnya menjadi UU No 40 Tahun 2004 yang tentunya dengan berbagai kelebihan dan kelemahannya. Mengenai kelemahannya, akan dibahas tersendiri dalam bab berikutnya. Memang perlu hati-hati dan waspada dalam menerima rekomendasi jaminan sosial dari konsultan luar negeri. Indonesia bisa menjadi semacam "laboratorium" bagi konsultan asing asal negara penyandang dana. Selain ketiga pilar itu, Bank Dunia justru memberikan koreksi dan penyempurnaan dengan dua pilar tambahan, yaitu pilar keempat, informal sources of support including houses and health care dan pilar zero, noncontributory poverty alleviation. Dengan demikian, di China berlaku five pilar system of social security. Rupanya konsultan di Indonesia hanya memahami pendekatan tiga pilar dan tidak tahu mengenai pendekatan lima pilar Bank Dunia. Kami ketika mengikuti Asia Pension Roundtable III di Beijing pada 9-10 November 2005 mendengar sendiri penjelasan mengenai lima pilar Bank Dunia ini yang dipresentasikan oleh Ketua NSSF, yaitu mantan Menteri Keuangan China dan pejabat NSSF lainnya. Mendengar penjelasan mereka, sebenarnya waktu itu timbul pertanyaan bagi saya, yaitu mengapa Bank Dunia memberikan ssstem tersebut kepada China? Mengapa tidak juga ke Indonesia? Sebab, sampai saat ini tidak ada pejabat pemerintah atau lembaga di Indonesia yang mempromosikan baik tiga pilar maupun lima pilar jaminan sosial versi Bank Dunia. Ada dua hal yang kemungkinan terjadi. Pertama, Bank Dunia tidak menghendaki Indonesia memiliki metodologinya itu karena Indonesia hanya diperlukan sebagai ladang investasi Bank Dunia. Jika diberikan sistem, Indonesia akan makmur dan menjadi mandiri sehingga Bank Dunia kehilangan lahan investasi yang selama ini sangat menguntungkan bisnis mereka. Hal ini berarti Bank Dunia pilih kasih alias bertindak standar ganda. Kedua, Bank Dunia telah memberikan rekomendasi, tetapi pejabat Indonesia tidak mau bersusah payah. Pejabat Indonesia lagi-lagi lebih memerlukan uangnya daripada suatu sistem dengan dalih untuk pembiayaan pembangunan nasional. Ini tentunya menunjukkan kebodohan pejabat Indonesia. Dari dua kemungkinan itu, kami tidak tahu apa dan mana yang sebenarnya terjadi. RRC secara serius mulai membangun jaminan sosial untuk warga negaranya belum lama, yaitu tahun 1997 dengan mengikuti pola dari Bank Dunia dengan sistem tiga pilarnya. Selanjutnya tahun 2005 Bank Dunia merekomendasikan tambahan dua pilar: pilar zero yaitu noncontributory poverty alleviation dan informal sources of support including houses and health care. Dengan demikian, di China berlaku five pilar system of social security. *** Penulis adalah Ketua Fokkus Babinrohis Pusat -------------------------------------------------------------------------- [Non-text portions of this message have been removed]